Selasa, 14 Mei 2013

Review Jurnal Aspek Hukum dalam Ekonomi

Review 2


MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN
Sugiatminingsih
STIH Sunan Giri Malang


PERANAN MASYARAKAT
Telah diketahui, pemeran utama dalam mediasi adalah pihak-pihak yang bersengketa atau yang mewakili mereka. Mediator dan hakim semata-mata sebagai fasilitator dan penghubung untuk menemukan kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa. Mediator atau hakim sama sekali tidak dibenarkan menentukan arah, apa lagi menetapkan bentuk maupun isi penyelesaian yang Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan 135 harus diterima para  pihak. Namun mediator atau hakim diperbolehkan, menawarkan pilihan-pilihan berdasarkan usul-usul pihak-pihak yang bersengketa sekedar mendekatkan perbedaan-perbedaan untuk menemukan kesepakatan antara pihak yang bersengketa (Goodpaster, 1999 : 25). Mengingat keharusan peran pihak-pihak yang bersangkutan dan pembatasan peran mediator atau hakim, secara sosiologis penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat disebut penyelesaian sengketa dari dan oleh masyarakat sendiri. Masyarakat berperan menyelesaikan sengketa mereka sendiri. Dengan cara-cara tersebut  diharapkan penyelesaian akan lebih memuaskan setiap pihak yang  bersengketa. Kalaupun ada kemungkinan unsur mengalah, yang lahir dari prinsip take and give, hal itu lahir dari kemauan atau kehendak sendiri. Inilah yang membedakan mediasi dengan penyelesaian melalui arbitrase. Selain tetap menggunakan cara-cara beracara yang lebih zakelijk, arbiter lah yang memutuskan dan menentukan isi putusan arbitrase. Prosedur arbitrase dapat disebut sebagai peradilan semu (quasi rechtspraak). Sebagai suatu bentuk penyelesaian sengketa dari dan oleh masyarakat, mediasi dapat dipandang sebagai pranata sosial (social institution), bukan pranata hukum (legal institution). Dengan demikian perkembangan atau keberhasilan mediasi sangat tergantung pada sikap sosial masyarakat yang bersengketa. Aturan-aturan hukum yang bersifat mengatur (relegenrecht) dapat dikesampingkan demi mencapai kesepakatan mediasi. Tentu saja aturan yang bersifat memaksa (dwingenrecht) tidak dapat dikesampingkan. Kesepakatan mediasi juga tidak dibenarkan kalau bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan kepentingan umum. Ongkos perkara yang mahal, ditambah berbagai pertimbangan praktis lain (waktu, reputasi, kekhawatiran kalah), telah mendorong perkembangan mediasi. Tetapi, selain pertimbangan-pertimbangan praktis tersebut, dalam masyarakat tertentu, mediasi dapat juga berkembang atas dasar tata kehidupan masyarakat itu sendiri. Di Indonesia, mediasi memiliki landasan spiritual yang kuat untuk berkembang. Ikatan-ikatan kemasyarakatan, seperti (keanggotaan) masyarakat hukum (rechtas-gemeenschap), paham kekeluargaan, dan lain-lain, semestinya menjadi dasar penyelesaian sengketa secara kekeluargaan daripada berperkara di pengadilan. Demikian pula paham keagamaan (Islam), seperti persaudaraan seagama, permusyawaratan, agama sebagai rahmat bagi semua orang (semua makhluk), kewajiban saling menyantuni, kewajiban melindungi dan menghormati keyakinan yang berbeda, semestinya mendorong menyelesaikan secara kekeluargaan setiap sengketa. Volume 12 Nomor 2 Juli - Desember 2009 136 Tentu dapat dipertanyakan: Apakah dasar-dasar spiritual tersebut dapat menopang penyelesaian damai sengketa-sengketa bisnis, dan lain-lain semacam itu? Selain kemungkinan melibatkan jumlah yang besar, persoalan yang kompleks, sengketa-sengketa bisnis atau sengketa lain, dapat berlintas lingkungan sosial budaya yang berbeda, lintas saku, bahkan lintas bangsa. Kesadaran yang tumbuh dari nilai-nilai sosial dan keagamaan mengenai akibat suatu perkara, ditambah berbagai pertimbangan praktis sebagaimana dikemukakan di atas, akan menjadi pendorong kuat menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan khususnya melalui mediasi. Menyelesaikan sengketa melalui pengadilan bukan sesuatu yang buruk. Pengadilan adalah pranata menyelesaikan perkara secara damai (sebagai lawan dari tindakan kekerasan). Menyerahkan sengketa ke pengadilan, selain memilih jalan damai, juga sebagai penolakan penyelesaian dengan menghakimi sendiri (eigenrichting). Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebagai bentuk penyelesaian secara hukum yang bersifat netral (tidak memihak). Namun, pengalaman nyata menunjukkan, penyelesaian melalui pengadilan tidak selalu memberi kepuasan. Selain ongkos, waktu, reputasi dan lain-lain, tidak jarang dijumpai begitu banyak rintangan yang dihadapi menyelesaikan sengketa melalui pengadilan. Bukan saja kemungkinan putusan tidak memuaskan, tetapi suatu kemenangan yang telah ditetapkan itupun belum tentu secara cepat dapat dinikmati karena berbagai hambatan seperti hambatan eksekusi. Bahkan kemungkinan pada perkara baru, baik dari yang kalah atau dari pihak berkepentingan  lainnya. Dalam keadaan seperti itu, putusan pengadilan sekedar sebagai putusan, tetapi tidak berhasil menyelesaikan sengketa. Berbeda dengan penyelesaian sengketa di luar proses peradilan seperti mediasi, bukan semata-mata mencapai putusan, tetapi putusan yang menyelesaikan sengketa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar