MEDIASI
SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN
Sugiatminingsih
STIH Sunan Giri Malang
PERANAN MASYARAKAT
Telah
diketahui, pemeran utama dalam mediasi adalah pihak-pihak yang bersengketa atau
yang mewakili mereka. Mediator dan hakim semata-mata sebagai fasilitator dan
penghubung untuk menemukan kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa.
Mediator atau hakim sama sekali tidak dibenarkan menentukan arah, apa lagi
menetapkan bentuk maupun isi penyelesaian yang Mediasi Sebagai Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan 135 harus diterima para pihak. Namun mediator atau hakim
diperbolehkan, menawarkan pilihan-pilihan berdasarkan usul-usul pihak-pihak
yang bersengketa sekedar mendekatkan perbedaan-perbedaan untuk menemukan
kesepakatan antara pihak yang bersengketa (Goodpaster, 1999 : 25). Mengingat
keharusan peran pihak-pihak yang bersangkutan dan pembatasan peran mediator
atau hakim, secara sosiologis penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat
disebut penyelesaian sengketa dari dan oleh masyarakat sendiri. Masyarakat
berperan menyelesaikan sengketa mereka sendiri. Dengan cara-cara tersebut diharapkan penyelesaian akan lebih memuaskan
setiap pihak yang bersengketa. Kalaupun
ada kemungkinan unsur mengalah, yang lahir dari prinsip take and give, hal itu
lahir dari kemauan atau kehendak sendiri. Inilah yang membedakan mediasi dengan
penyelesaian melalui arbitrase. Selain tetap menggunakan cara-cara beracara
yang lebih zakelijk, arbiter lah yang memutuskan dan menentukan isi putusan
arbitrase. Prosedur arbitrase dapat disebut sebagai peradilan semu (quasi
rechtspraak). Sebagai suatu bentuk penyelesaian sengketa dari dan oleh
masyarakat, mediasi dapat dipandang sebagai pranata sosial (social
institution), bukan pranata hukum (legal institution). Dengan demikian
perkembangan atau keberhasilan mediasi sangat tergantung pada sikap sosial
masyarakat yang bersengketa. Aturan-aturan hukum yang bersifat mengatur
(relegenrecht) dapat dikesampingkan demi mencapai kesepakatan mediasi. Tentu
saja aturan yang bersifat memaksa (dwingenrecht) tidak dapat dikesampingkan.
Kesepakatan mediasi juga tidak dibenarkan kalau bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan kepentingan umum. Ongkos perkara yang mahal, ditambah
berbagai pertimbangan praktis lain (waktu, reputasi, kekhawatiran kalah), telah
mendorong perkembangan mediasi. Tetapi, selain pertimbangan-pertimbangan
praktis tersebut, dalam masyarakat tertentu, mediasi dapat juga berkembang atas
dasar tata kehidupan masyarakat itu sendiri. Di Indonesia, mediasi memiliki
landasan spiritual yang kuat untuk berkembang. Ikatan-ikatan kemasyarakatan,
seperti (keanggotaan) masyarakat hukum (rechtas-gemeenschap), paham
kekeluargaan, dan lain-lain, semestinya menjadi dasar penyelesaian sengketa
secara kekeluargaan daripada berperkara di pengadilan. Demikian pula paham
keagamaan (Islam), seperti persaudaraan seagama, permusyawaratan, agama sebagai
rahmat bagi semua orang (semua makhluk), kewajiban saling menyantuni, kewajiban
melindungi dan menghormati keyakinan yang berbeda, semestinya mendorong
menyelesaikan secara kekeluargaan setiap sengketa. Volume 12 Nomor 2 Juli -
Desember 2009 136 Tentu dapat dipertanyakan: Apakah dasar-dasar spiritual
tersebut dapat menopang penyelesaian damai sengketa-sengketa bisnis, dan
lain-lain semacam itu? Selain kemungkinan melibatkan jumlah yang besar,
persoalan yang kompleks, sengketa-sengketa bisnis atau sengketa lain, dapat
berlintas lingkungan sosial budaya yang berbeda, lintas saku, bahkan lintas
bangsa. Kesadaran yang tumbuh dari nilai-nilai sosial dan keagamaan mengenai
akibat suatu perkara, ditambah berbagai pertimbangan praktis sebagaimana dikemukakan
di atas, akan menjadi pendorong kuat menyelesaikan sengketa di luar proses
peradilan khususnya melalui mediasi. Menyelesaikan sengketa melalui pengadilan
bukan sesuatu yang buruk. Pengadilan adalah pranata menyelesaikan perkara
secara damai (sebagai lawan dari tindakan kekerasan). Menyerahkan sengketa ke
pengadilan, selain memilih jalan damai, juga sebagai penolakan penyelesaian
dengan menghakimi sendiri (eigenrichting). Penyelesaian sengketa melalui
pengadilan sebagai bentuk penyelesaian secara hukum yang bersifat netral (tidak
memihak). Namun, pengalaman nyata menunjukkan, penyelesaian melalui pengadilan
tidak selalu memberi kepuasan. Selain ongkos, waktu, reputasi dan lain-lain,
tidak jarang dijumpai begitu banyak rintangan yang dihadapi menyelesaikan
sengketa melalui pengadilan. Bukan saja kemungkinan putusan tidak memuaskan,
tetapi suatu kemenangan yang telah ditetapkan itupun belum tentu secara cepat
dapat dinikmati karena berbagai hambatan seperti hambatan eksekusi. Bahkan kemungkinan
pada perkara baru, baik dari yang kalah atau dari pihak berkepentingan lainnya. Dalam keadaan seperti itu, putusan
pengadilan sekedar sebagai putusan, tetapi tidak berhasil menyelesaikan
sengketa. Berbeda dengan penyelesaian sengketa di luar proses peradilan seperti
mediasi, bukan semata-mata mencapai putusan, tetapi putusan yang menyelesaikan
sengketa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar