Sabtu, 19 Oktober 2013

3EB09-TUGAS 2-BAHASA INDONESIA 2

CHANNEL

Disudut pinggir jalan sekitar bundaran HI sedang duduk seorang pria yang berperawakan kurus dengan wajah yang lesu. Pria itu berkemeja biru langit membawa sebuah map cokelat. Wajahnya berkeringat, menandakan kelelahan yang teramat mendalam. Dia juga memegang sebuah plastik yang berisi es teh manis yang sudah hampir habis. Pria itu bernama Ibra.

Ibra
Hari ini aku bersiap-siap untuk wawancara disebuah perusahaan akuntan publik yang sudah terkenal di Indonesia. Aku mepersiapkan diriku semaksimal mungkin agar lebih terlihat menarik. Telah kupersiapkan kemeja biru ini dengan sepatu pantofel. Aku semir sepatu ini sampai mengkilat. Hari ini aku siap untuk menghadapi wawancara kali ini.

Wawancara ini bukan pertama kalinya bagiku. Penolakkan pertama itu sudah menajadikan pelajaran yang teramat berharga. Aku terlalu menyepelakan sehingga aku ditolak. Penolakkan itu membuat aku sangat sakit hati, apalagi dengan perkataan pihak HRD-nya. Saat itu ia mengatakan, “apa yang kau punya? Apa latar pendidikkan anda? Siapakah yang membawa anda kesini?”. Pertanyaannya yang terakhir itu yang membuat aku sakit hati. Aku hanya menjawab dengan tenang “tidak ada pak, saya melamar kerja disini karena keinginan saya sendiri. Karena saya merasa saya memiliki kemampuan untuk bergabung di perusahaan ini”.  Pihak HRD hanya mempersilakan saya untuk keluar sambil menunggu kabar pengumuman penerimaan.

Aku duduk di kursi pajang dengan beberapa orang pelamar. Disana aku berkenalan dengan seorang pria. Dia menanyakan hal yang sama dengan pihak HRD, siapa yng membawa saya kesini. Tapi dengan penuh percaya diri yang tinggi saya mengatakan tidak ada yang membawa saya. Lalu dia mengatakan bahwa diterima di perusahaan ini tanpa ada “channel” itu hal yang sangat tidak mungkin. Kemungkinan besar saya tidak akan  diterima. Saya tidak terlalu memperdulikan hal itu, bagi saya bekal pendidikan yang saya dapatkan sudah cukup dan saya optimis pasti saya akan diterima.

Seorang wanita paruh baya keluar dari ruangan HRD, dia keluar dengan membawa map berwarna biru. Dia keluar dengan wajah yang sedikit agak menyeramkan, bagiku. Tapi batin ku  tetap optimis aku pasti akan diterima. Dia mengatakan bahwa dari 50 orang pelamar hanya 10 orang yang hanya diterima. Aku tetap yakin dalam hati pasti akan diterima. Tetapi sampai nama ke-9 nama ku belum disebut juga. Nama yang terakhir disebut, kali ini rasa percaya diriku runtuh, jantung ku berdebar kencang, keringatku mengalir deras, kaki ku semakin kaku. Tibalah nama ke-10 disebutkan, tapi nama ku tak juga disebut. Kali aku serasa dunia seakan runtuh, petir serasa menyambar ku di siang hari bolong. Aku duduk terkulai lemas. Tapi aku sangat terkejut saat mengetahui teman yang tadi berkenalan denganku diterima. Dia memang punya “channel” di perusahaan ini. Padahal latar pendidikkan dia jauh dari diriku. Aku merasa hidup ini tak adil, kenapa dunia ini sangat tidak berpihak kepadaku. Tapi aku masih tidak putus asa, pasti masih ada perusahaan yang memiliki keadilan. Lain kali aku pasti bisa membuat mereka kagum dengan kemampuan yang aku miliki.

Dengan setelan kemeja biru dan sepatu pantofel yang telah aku semir, aku mantap memasuki kantor akuntan publik ini. Aku tetap melamar pekerjaan walaupun tak memliki “channel” lagi. Aku tidak setuju dengan pola penerimaan kerja di Indonesia, yang masih saja menerapkan pola KKN. Didalam hati aku selalu berpikir kenapa di zaman yang modern ini masih saja menerapkan praktek kecurangan. Untuk apa kita bersekolah setinggi-tingginya kalau ternyata saat melamar pekerjaan kita harus juga ditentukan oleh “orang dalam”.

Gedung akuntan publik ini berada disekitar kawasan bundaran Hotel Indonosia. Sebuah kawasan yang tergolong elite di kawasan Jakarta. Gedung ini berlantai 25, tempat pelamaran bagi karyawan baru berada di lantai 5. Tempatnya berada di ujung lorong lantai 5 ini. Di sekitar lorong terdapat beberapa lukisan yang terlihat sangat artistik dan pohon- pohon hias yang disusun rapi sepanjang koridor. Saat memasuki ruangan tersebut ada meja dan kursi yang ditempati oleh seorang wanita cantik yang mengenakan kemeja berwana merah dilengkapi dengan blazer dan rok hitam. Wanita itu terlihat sangat ramah, dia mempersilakan kami untuk duduk mengantri di bangku panjang tersebut sambil menunggu giliran untuk dipanggil. Aku saat itu mendapat giliran ke 8. Mengetahui mendapat urutan ke-8 aku sangat senang, karena terus terang sangat senang mendengarnya. Karena nomor itu adalah angka hoki bagiku, walaupun sebenarnya aku tidak terlalu mempercayai mengenai mitos-mitos. Tapi selama ini aku selalu beruntung dengan angka tersebut.

Aku kembali mendapat kenalan disana. Seorang wanita yang berpenampilan menarik, kami berbincang-bincang mengenai pengalaman yang telah kami miliki. Ternyata dia adalah seorang akuntan lulusan universitas negeri dengan lulus sebagai Cum Laude. Pegalaman yang kami miliki hampir sama, aku pun juga lulusan dari universitas negeri ternama di Indonesia,  juga Cum Laude. Aku adalah mahasiswa dengan lulusan terbaik di unversitas ku. Hal itu yang membuat kepercayaan diriku semakin tinggi. Dia lalu bertanya padaku, hal yang sama pernah ditanyakan oleh pihak HRD dan lelaki yang aku temui pada saat wawancara pertama ku, “siapa yang mebawa anda kesini?”. Aku sudah terlalu muak dengan pertanyaan itu, rasanya aku ingin menutup telingaku saat mendengar pertanyaan itu. Tapi dengan mantap aku mengatakan “aku membawa latar pendidikkan ku kesini”. Wanita itu hanya tersenyum mendengar ucapanku. Dia lalu beranjak pergi, karena nama nya sudah dipanggil untuk di wawancara. Aku duduk sambil membolak-balik berkas yang aku masukkan ke amplop cokelat ini. Aku tersenyum sendiri dan berkata dalam hati “aku bisa membuat kalian terkagum-kagum padaku”.

Kini tiba giliranku dipanggil untuk wawancara. Aku berdiri tegak memegang amplop cokelat ini dengan erat. Aku tersenyum kepada wanita berkemeja merah yang memanggilku. Saat memasuki ruangan aku mengetuk pintu, lalu membuka perlahan sambil memberikan salam kepada dua orang yang duduk di  kursi dan meja panjang dihadapannya. Mereka berpenampilan rapi, sambil memegang sebuah kertas dan pulpen. Salah satu dari mereka adalah seorang lelaki paruh baya yang memiliki wajah teduh dan sangat berwibawa, beliau mengenakan kacamata yang sepertinya sengaja ditaruh dibawah hidungnya. Dengan melihat sambil menundukkan kepala dia tersenyum dan mepersilakan aku masuk. Tahap pertama beliau menanyakan nama dan latar belakang pendidikkan ku. Dia sangat terkesan dengan prestasi yang aku raih. Beliau juga terkagum-kagum dengan nilai Indeks Prestasi yang aku miliki dan berkata, “ternyata kau sangat jenius”. Mendengar ucapan itu aku sangat merasa tinggi, aku percaya pasti aku akan diterima. Lalu dia bertanya “ apakah kau punya kenalan disini? Maksud saya apa ada yang membawa anda kesini? Lalu apa kemampuan yang anda miliki?”. Lagi dan lagi aku harus mendengar ucapan itu untuk kesekian kalinya, akhirnya aku geram dan berkata, “saya disini datang dengan membawa latar pendidikkan yang saya miliki, saya hanya membawa otak yang saya miliki dan segudang prestasi”, bentakku. Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, lelaki tua itu menyela pembicaraanku, “baik saya sudah dapat mengambil kesimpulan dari sedikit pertanyaan yang saya ajukan. Sebenarnya saya hanya ingin mengetes anda. Tidak ada maksud apa-apa dari pertanyaan ‘siapa yang membawa anda’ saya ingin mengetes kepribadian anda, sopan santun anda. Saya sangat tertarik dengan prestasi anda dibidang pendidikkan. Awalnya saya merasa kalau anda adalah orang yang tepat ntuk mengisi jabatan di kantor kami. Akan tetapi yang kami perlukan bukanlah sekedar orang yang pintar, melainkan orang yang juga pintar dalam memposisikan dirinya dan memiliki kepribadian yang baik. Apalah arti pendidikkan yang tinggi, nilai yang mengagumkan, prestasi yang banyak, jika kepribadian kurang, apalagi tidak dapat mengontrol emosi. Baik saya rasa cukup wawancara anda kali ini, silakan tinggalkan ruangan ini, terima kasih.” Lelaki paruh baya itu mempersilakan saya keluar sambil menyunggingkan senyum tipisnya yang terasa agak sinis bagiku.


Aku keluar dari ruangan itu, perasaanku sangat campur aduk saat itu. Rasa emosi lebih mempengaruhi pikiranku saat itu. Aku tidak habis pikir kenapa dia berkata seperti itu. Apa yang salah dengan ucapanku, toh benar untuk apa memiliki ‘orang dalam’ kalau ternyata aku memiliki otak diatas rata-rata. Sumpah serapah keluar dari bibirku, “perusahaan macam apa ini? Apa ini yang disebut perusahaan terbaik? Kalian pikir aku tida bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari tempat ini. Aku punya otak diatas rata-rata, prestasiku banyak”, aku sedikit berteriak. Dan tak terasa. Bruuk. Aku menabrak wanita tua yang sedang membawa tas lumayan agak besar. Karena sedang dipengaruhi rasa emosi aku memarahi wanita tua itu. Tapi apa yang aku dapatkan, wanita itu balik menasehatiku, “Hei anak muda yang pintar, yang memliki prestasi yang tinggi, begini cara kau memperlakukan orang yang lebih tua, walaupun aku tau bukan sepenuhnya diriku yang bersalah tapi aku meminta maaf. Pantas saja sampai sekarang kau sulit mendapat pekerjaan, bahkan pekerjaanpun tak mau menerima kau. Sopan santun kau tidak ada, kepribadian kau minus. Kau pertahankan saja sikapmu angkuhmu itu anak muda”. Wanita itu berlalu begitu saja, aku hanya berdiri diam menatap nya pergi dan hanya melihat punggungya yang semakin jauh pergi menyusuri jalan. Kakiku lemas, seperti ada tamparan keras dipipiku saat ini. Aku berjalan lemas menuju pedagang di ujung jalan dekat halte Trans Jakarta. Disana aku duduk sambil sedikit menyeruput minuman yang baru saja aku beli, kata-kata wanita tua seperti sebuah tamparan yang teramat keras dan menyadarkan diriku atas kesalahan yang telah aku perbuat. Tak terasa aku hampir menghabiskan minumanku, mungkin karena terlalu terkejut sehingga aku merasa sangat dehidrasi. Aku tertegun menatap orang-orang yang berlalu lalang dihadapanku. Perkataan wanita tadi menyadarkan ku akan sebuah arti kesabaran, menyadarkan aku mengenai sopan santun. Kali ini aku sadar pendidikkan yang tinggi dan prestasi yang banyak bukanlah satu-satunya hal yang penting atau tolak ukur kau didalam masyarakat. Hal itu hanyalah sebuah status, harusnya aku yang mengaku orang yang berpendidikkan lebih dapat mengontrol emosiku, menjaga tutur kataku. Mungkin mereka yang mudah mendapat pekerjaan, bukan karena pendidikkan mereka yang tinggi atau hanya karena mereka memiliki ‘channel’ di perusahaan itu. Tapi mereka memiliki sebuah faktor keberuntungan dan juga memiliki kepribadian yang menarik. Aku menyadari jika kita memiliki kepribadian yang menarik msyarakat pun akan menerima kita dengan baik pula, diriku terlalu dipenuhi dengan kesombongan. Aku tersadar dan sangat berterima kasih pada Tuhan karena lewat wanita itu aku menyadari akan pentingnya rendah hati dan kesabaran. Tekadku kembali bulat, aku akan kembali melamar pekerjaan, kali ini aku memperbaiki diriku kembali.