Rabu, 06 Mei 2015

Industri Keuangan Regional - Global

A.                Perkembangan Industri Keuangan Indonesia dalam Menghadapi Pasar Bebas
Indonesia sejak dahulu telah banyak mengalami permasalahan-permasalahan yang tentunya bertambah banyak dari hari ke hari. Selain permasalahan di bidang politik-pemerintah, sosial kemasyarakatan, hukum dan perundangan, pendidikan dan layanan kesehatan, Indonesia pun mengalami problematika perekonomian.
Pada tahun 2015 dapat menjadi tahun yang penuh tantangan bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Bagaimana tidak? ASEAN, organisasi regional yang menyatukan negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini mengumumkan bahwa Asean Economic Community (AEC) akan diberlakukan pada tahun 2015, ini menjadikan kawasan ASEAN sebagai pasar tunggal dan kesatuan yang berbasis produksi, dimana mobilitas arus barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil akan bergerak bebas antar negara-negara yang tergabung dalam negara ASEAN. Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN memiliki tingkat integritas yang tinggi di bidang elektronik dan keunggulan komparatif pada sektor yang berbasis sumber daya alam. Permasalahan yang muncul adalah masih lemahnya kesiapan Indonesia, antara lain dalam bidang infrastruktur, daya saing barang dan jasa, belum optimalnya diplomasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan dan kebijakan dalam perdagangan yang belum mendukung. Untuk mendukung peningkatan iklim investasi dan perdagangan serta meningkatkan daya saing nasional, berbagai upaya telah dilakukan baik secara internal Indonesia dengan diterbitkannya Inpres No. 11 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, maupun eksternal berkoordinasi dengan negara ASEAN. Namun hal ini masih memerlukan suatu mekanisme pengawasan untuk mengawal implementasi dari pada Inpres tersebut dalam rangka mendukung kesiapan Indonesia secara optimal dalam menghadapi AEC 2015 dan menjamin kepastian hukum. Dengan kondisi ini maka antisipasi kesiapan Indonesia menghadapi Asean Economic Community 2015 diharapkan dapat dilaksanakan.
Inti dari AEC adalah membuka luas pasar arus ekspor-import barang dan jasa ataupun investasi antarnegara ASEAN dimana permasalahan tarif dan non tarif sudah tidak diberlakukan kembali. Dengan diberikannya kemudahan untuk bertransaksi antar negara di Asia Tenggara, diyakini dapat menjadi peluang ataupun tantangan bagi perekenonomian masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya mengapa dengan diberlakukannya MEA ini akan mempengaruhi perekonomian Indonesia.
Asean Economic Community (AEC) merupakan kesepakatan yang dibangun oleh sepuluh negara anggota ASEAN. Terutama di bidang ekonomi dalam upaya meningkatkan perekonomian di kawasan dengan meningkatkan daya saing di kancah internasional agar ekonomi bisa tumbuh merata, juga meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan yang paling utama adalah mengurangi kemiskinan. Konsekuensi dari kesepakatan itu membuka lebar pasar ekonomi di kawasan regional Asean karenanya, jika ingin terlibat dan diperhitungkan, Indonesia harus berbenah. Semua sector industry harus dilengkapi kemampuan untuk bisa bersaing dengan negara ASEAN lainya.
AEC merupakan realisasi dari Visi ASEAN 2020 yaitu untuk melakukan integrasi terhadap ekonomi negara-negara ASEAN dengan membentuk pasar tunggal dan basis produksi bersama. Menurut Prof Hermanto Siregar terdapat beberapa konsep dalam AEC yaitu ASEAN Economic Community, ASEAN Political Security Community, dan ASEAN Socio-Culture Community.
Ketiga hal tersebut akan direalisasikan di antara negara-negara anggota ASEAN secara bertahap. Untuk langkah pertama yang akan direalisasikan adalah AEC pada 2015 mendatang, setidaknya terdapat 5 hal yang akan diimplementasikan yaitu arus bebas barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus bebas modal, dan arus bebas tenaga kerja terampil.
Pada 2015 di antara 10 Negara ASEAN yang terdiri dari Indonesia, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Philipina, Laos, dan Kamboja, dan Vietnam harus membebaskan 5 hal di atas untuk menerapkan aturan dari kesepakatan tersebut. Sebelumnya pada 2004, Indonesia bersama ASEAN telah menyepakati perjanjian dengan China yang dikenal sebagai ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Dengan perjanjian itu, negara-negara ASEAN dan China harus membebaskan barang-barang masuk.
Dalam pelaksanaan AEC, negara-negara ASEAN harus memegang teguh prinsip pasar terbuka dan ekonomi yang digerakkan oleh pasar. Dengan kata lain, konsekuensi diberlakukannya AEC adalah liberalisasi perdagangan barang, jasa, dan tenaga terampil secara bebas dan tanpa hambatan tarif dan nontarif.
Rencana pemberlakuan AEC tersebut dicantumkan dalam Piagam ASEAN yang disahkan pada 2007. Pada tahun tersebut pula disepakati bahwa pencapaian AEC akan dipercepat dari 2020 menjadi 2015. Pengesahan AEC sendiri dicantumkan pada pasal 1 ayat 5 Piagam ASEAN dan diperkuat dengan pembentukan Dewan Area Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Council) yang tercantum dalam lampiran I Piagam ASEAN. Itulah dasar hukum yang mengesahkan terbentuknya ASEAN Economic Community.
Tujuan yang ingin dicapai melalui MEA, adalah adanya aliran bebas barang, jasa, dan tenaga kerja terlatih, serta aliran investasi yang lebih bebas. Dalam penerapanya pada 2015, MEA akan menerapkan 12 sektor prioritas yang disebut free flow of skilled labor (arus bebas tenaga kerja terampil).
Ke-12 sektor terampil itu adalah untuk perawatan kesehatan (health care), turisme (tourism), jasa logistic (logistic services), e-ASEAN, jasa angkutan udara (air travel transport), produk berbasis agro (agrobased products), barang-barang electronic (electronics), perikanan (fisheris), produk berbasis karet (rubber based products), tetkil dan pakaian (textiles and appareles), otomotif (otomotive) dan produk berbasis kayu (wood based products).
Kesiapan Indonesia dalam menghadapi AEC 2015, antara peluang dan ancaman. Siap atau tidak siap sudah tidak perlu diperdebatkan lagi karena AEC sudah menjadi keputusan dan ketetapan politik yang harus dihadapi semua negara ASEAN.
Jika dilihat dari beberapa data tentang kondisi Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, dalam banyak hal Indonesia kalah oleh Thailand dan Philipina, apalagi Brunei, Malaysia, dan Singapura masih tertinggal jauh. Indonesia hanya menang dari luas negara yang begitu besar, jumlah penduduk yang banyak, dan sumberdaya yang melimpah.
Padahal, Peluang Indonesia untuk bersaing di pasar bebas Asean 2015 nanti, sebenarnya cukup besar. Paling tidak bagi Indonesia ada beberapa faktor yang mendukung seperti peringkat Indonesia yang berada pada rangking 16 dunia dalam besaran skala ekonomi dengan 108 juta penduduk. Dimana, jumlah penduduk ini merupakan kelompok menengah yang sedang tumbuh. Sehingga berpotensi sebagai pembeli barang-barang impor (sekitar 43 juta penduduk).
Kemudian perbaikan peringkat investasi Indonesia oleh lembaga pemeringkat dunia, dan masuknya Indonesia sebagai peringkat ke 4 prospective destination berdasarkan UNCTAD world investement report. Dan, pemerintah sendiri telah menerbitkan aturan (keputusan Presiden) No.37/2014 yang memuat banyak indicator yang harus dicapai dalam upaya untuk meningkatkan daya saing nasional dan kesiapan menghadapi MEA yang akan dimulai 2015 itu.
Dan awal September lalu diterbitkan juga inpres No.6/2014, tentang peningkatan daya saing menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan pengembangan sector industry, agar bisa bersaing di pasar bebas ASEAN itu. Sebut saja upaya pengembangan industry perbankan yang masuk dalam 10 pengembangan industry yang harus diantar kegerbang pasar bebas dengan semua keunggulanya .
Setelah diberlakukannya AEC, Indonesia akan “diserbu” barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil dari negara ASEAN lainnya sehingga hal ini akan menjadi ancaman yang serius. Atau sebaliknya Indonesia dapat “menyerbu” negara ASEAN lainnya dengan barang, jasa, investasi dan tenaga kerja terampil sehingga hal ini menjadi peluang yang besar bagi kita.

1.1.            Permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam menghadapi MEA
Berikut ini adalah beberapa permasalah yang menyebabkan Indonesia belum optimal dalam menghadapi MEA, yaitu :
1.      Belum Padunya Beberapa Peraturan Dalam Mendukung AEC (Regulasi):
a.       Adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang belum harmonis, antara lain UU kehutanan dan UU pertambangan ( masih tumpang tindih). Ketidak harmonisan UU Kehutanan dan UU Pertambangan menimbulkan ketidak pastian hukum dan usaha, sehingga para investor enggan untuk melakukan investasi di Indonesia.
b.      Masih terjadinya ketidakharmonisan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat dalam hal perijinan. Pemerintah Daerah Kabupaten belum seluruhnya membuat peraturan daerah tentang Wilayah Pertambangan sebagaimana diamanatkan Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sehingga setiap perijinan yang telah dikeluarkan baik oleh Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah selalu terjadi tubrukan dan tidak sinkron.
c.       Belum adanya kepastian hukum yang dapat menjamin pelaksanaan kegiatan AEC. Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Inpres No. 11 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, namun masih memerlukan suatu mekanisme pengawasan untuk mengawal implementasi Inpres tersebut dalam rangka mendukung kesiapan Indonesia guna menghadapi AEC 2015 dan menjamin kepastian hukum. Kecenderungan regulasi antar negara akan mengarah kepada Universal, sehingga dapat berimplikasi pada timbulnya ancaman dan peluang terhadap kepentingan nasional.
d.      UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, memperluas kesempatan pihak asing untuk menguasai sektor pertambangan. Dari tahun 1998 sampai 2009 kurang leboh terdapat 474 UU telah disahkan. Namun dari sekian banyaknya UU, yang dirasakan paling menyedihkan adalah UU terkait dengan bidang Ekonomi dan Sumber Daya Alam yang dicirikan sebagai berikut:
1)      Hilangnya campur tangan negara dalam perekonomian diserahkan pada mekanisme pasar.
2)      Penyerahan kekuasaan pada modal besar/asing berkaitan dengan ekspansi dan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia.
3)      Perlakuan diskriminatif terhadap mayoritas usaha rakyat .
2.      Belum Tercapainya Pasar Tunggal dan Basis Produksi
a.       Peningkatan daya saing dan pemanfaatan komitmen AEC. Masih lemahnya daya saing produk dan jasa dalam rangka menghadapi AEC 2015.
b.      Komitmen AEC untuk Arus barang. Kesiapan Indonesia belum optimal antara lain regulasi dan pelayanan ( masih dalam penataan) yang disiapkan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai.
c.       Komitmen AEC untuk arus jasa. Kesiapan Indonesia belum optimal antara lain Regulasi dan SDM-nya khususnya dibidang jasa keuangan dan perbankan serta jasa non keuangan dan perbankan (Jasa Profesi Akuntan, Jasa Profesi Penilai, Jasa Profesi Kontruksi, Jasa Profesi Dokter, Jasa Profesi Hukum Dll).
d.      Komitmen AEC untuk Arus Investasi. Kesiapan Indonesia belum optimal antara lain Regulasi dibidang investasi (sektor riil) masih ada yang membatasi kepemilikan asing pada sektor-sektor tertentu.Selain itu kebijakan dalam penanaman modal belum didukung dengan kebijakan di bidang pembangunan infrastruktur, keamanan dan perburuhan yang memadai. Dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand yang belomba-lomba menarik investasi asing dengan menyediakan berbagai infrastruktur industri, jaminan keamanan dan tingkat upah buruh yang lebih murah, kesiapan Indonesia masih kurang.
e.       Komitmen AEC untuk Arus Modal. Liberalisasi arus modal di ASEAN dapat mendorong arus investasi dan perdagangan internasional, penempatan modal yang lebih tepat dan lebih efisien dan mengembangakan pasar keuangan. Kesiapan Indonesia masih belum optimal, karena proses regulasi maupun pengawasan masih dalam tahap persiapan (misalnya pembentukan Otoritas Jasa Keuangan/OJK)
f.       Priority Integration Sectors. 12 Sektor prioritas Integrasi ASEAN meliputi: agro-based product, air travel, Automotives, e-ASEAN, electronics, fisheries, healthcare, rubber-based product, textile & apparels, tourism, wood-based products, logistics. Peranan Indonesia dalam hal ini adalah sebagai koordinator bidang automotive dan wood-based products.
g.      Komitmen AEC untuk Perdagangan Makanan, Pertanian, dan Kehutanan. Kesiapan Indonesia belum optimal antara lain belum adanya swasembada pangan yang menyebabkan Indonesia masih tergantung dengan negara Asean lainnya, padahal dari segi SDA, luas lahan maupun tenaga kerja, Indonesia sebenarnya lebih unggul.
3.      Belum Tercapainya Wilayah Ekonomi Yang Berdaya Saing Tinggi.
a.       Hak atas kekayaan intelektual. Memperluas ruang lingkup kerjasama hak kekayaan intelektual ASEAN, selain merek dagang dan paten, termasuk kerjasama pertukaran informasi dan penegakan hak cipta. Masing-masing anggota ASEAN masih tertinggal dalam pengembangan intellectual property dibandingkan dengan kawasan lainnya, hanya Singapura yang Intellectual propertynya paling menonjol. Sedangkan untuk pengembangan sendiri-sendiri membutuhkan biaya riset yang tinggi dan teknologi khusus. ASEAN akan bekerjasama dalam bidang ini dengan melindunginya melalui HAKI. Dengan adanya kerjasama dalam pengembangan hak atas kekayaan intelektual diharapkan biaya lebih murah sehingga mampu bersaing dengan negara-negara di belahan dunia lain. Kerjasama dalam pengembangan IPTEK selain merek dagang dan paten, yaitu know how (metode baru yang belum dikenal publik dan dipatenkan).
1)      Kerjasama di bidang industri pertahanan
2)      Kerjasama di bidang industri farmasi dan fitofarmaka
3)      Kerjasama di bidang industri kimia
4)      Kerjasama di bidang industri logam
5)      Kerjasama di bidang energi
b.      Pengembangan infrastruktur. Kesiapan infrastruktur pendukung sesama negara ASEAN yang belum seimbang. Negara-negara ASEAN, kecuali Singapura pada umumnya belum sepenuhnya siap secara infrastruktur
c.       Perpajakan. Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan mengurangi ekonomi biaya tinggi. Melakukan reformasi di berbagai bidang, seperti perpajakan, kepabeanan dan birokrasi. Masing-masing anggota ASEAN memiliki kebijakan perpajakan yang berbeda-beda sehingga tidak harmonis dan dapat mengganggu iklim usaha yang kondusif. Hal ini dapat menyebabkan double taxation. Saat ini Indonesia telah memiliki Tax treaty dengan 6 negara ASEAN, sedangkan sisanya belum (Laos, Myanmar dan Kamboja).
d.      Perdagangan secara elektronik (e-commerce). Kesiapan dan ketersediaan infrastruktur negara anggota belum mendukung. Negara-negara ASEAN, kecuali Singapura pada umumnya belum sepenuhnya siap secara infrastruktur.
4.      Belum Tercapainya Kawasan dengan Pembangunan Ekonomi yang Seimbang, yang fokus kepada Pengembangan Sektor Usaha Kecil dan Menengah. Pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah. Sektor UKM sebagai tulang punggung perekonomian di negara-negara ASEAN, namun belum sepenuhnya mendapatkan prioritas dalam kegiatan perekonomian negara, antara lain minimnya akses ke perbankan untuk mendapatkan kredit modal kerja, Kualitas SDM yang masih rendah. Kondisi UKM di masing-masing negara anggota umumnya hampir sama.

Dari beberapa permasalahan tersebut, maka dapat diberikan solusi yang dapat membantu Indonesia dalam menghadapi MEA, yaitu dantaranya :
1.      Memperkuat dan melakukan harmonisasi regulasi antar sektor; perkebunan dengan badan pertanahan, Kehutanan dengan pertambangan, Pajak pusat dengan pajak daerah (Double Taxation), dan yang terkait dengan masalah perijinan.
2.      Membuat peraturan perundang-undangan guna mengawal Inpres tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dapat menjamin pelaksanaan kegiatan AEC.
3.      Mengubah ‘mindset’ konsumtif menjadi produktif sehingga kita bisa mengurangi pengeluaran dan memperbesar pemasukan bagi negara kita.
4.      Meningkatkan ‘Competitiveness’ produk yang akan berpengaruh pada ketertarikan konsumen akan produk yang kita hasilkan dengan kualitas terjamin dan harga yang terjangkau.
5.      Diversifikasi dan peningkatan nilai tambah bahan baku dari sumber daya alam yang melimpah menjadi produk berorientasi ekspor.
6.      ‘Competitiveness’ sumber daya manusia karena kunci dari kemajuan bangsa adalah bukan karena kekayaan alamnya melainkan SDM yang ada di dalamnya.
7.      Mempersiapkan lulusan perguruan tinggi yang mampu berkompetisi minimal di tingkat ASEAN (kedepan semua profesi harus memiliki sertifikasi tingkat ASEAN) dan tiap tenaga profesional memiliki semangat yang tinggi.
8.      Mengubah ‘mindset’ pegawai menjadi entrepreneur (pengusaha) sehingga diharapkan akan muncul pengusaha-pengusaha baru yang dapat menciptakan lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan masyarakat indonesia secara mandiri sehingga tidak bergantung terhadap negara lain.

Perlu diketahui bahwa pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 bukanlah sebuah proyek ”mercusuar” tanpa roadmap yang jelas. MEA 2015 adalah proyek yang telah lama disiapkan seluruh anggota ASEAN dengan visi yang kuat.
MEA 2015 hanyalah salah satu pilar dari 10 visi mewujudkan ASEAN Community. Kesepuluh pilar visi ASEAN Community tersebut adalah outward looking, economic integration, harmonious environment, prosperity, caring societies, common regional identity, living in peace, stability, democratic, dan shared cultural heritage (Kementerian Luar Negeri, 2014). Dengan kata lain, keliru bila ada anggapan bahwa MEA 2015 adalah ambisi Indonesia dari pemerintah yang tidak jelas arahnya. Sejak dulu Indonesia memang sangat aktif memperjuangkan ASEAN sebagai masyarakat yang ”satu”. Ini antara lain dapat diidentifikasi dari pidato Presiden Soeharto pada pembukaan Sidang Umum MPR, 16 Agustus 1966 yang mengatakan, ”Indonesia perlu memperluas kerja sama Maphilindo untuk menciptakan Asia Tenggara menjadi kawasan yang memiliki kerja sama multisektor seperti ekonomi, teknologi, dan budaya. Dengan terintegrasinya kawasan Asia Tenggara, kawasan ini akan mampu menghadapi tantangan dan intervensi dari luar, baik secara ekonomi maupun militer,” CPF Luhulima, Jakarta Post, 7 Februari 2013. Dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah inisiator dari terbentuk integrasi kawasan ASEAN. Hanya, perjalanan setiap negara dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi ASEAN yang terintegrasi ini berbeda- beda. Ada negara yang dengan cepat bisa mempersiapkan diri, namun ada juga negara yang terlambat. Karakteristik, ukuran ekonomi, dan permasalahan yang dihadapi setiap negara yang berbeda juga turut memengaruhi kecepatan setiap negara dalam mempersiapkan diri menghadap MEA 2015. Singapura adalah negara ASEAN yang dapat dikatakan paling siap menghadapi MEA 2015. Meski tidak yang paling tertinggal, Indonesia masih perlu kerja ekstra untuk menghadapi MEA 2015 ini. Ini mengingat dalam beberapa hal strategis, Indonesia relatif tertinggal.


Jika melihat daya saing Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainnya, negara kita termasuk tertinggal. Walaupun Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN yang dilihat dari segi wilayahnya, jumlah penduduk, maupun ukuran ekonominya. Akan tetapi dari segi kualitas, terutama daya saing Indonesia tertinggal jauh khususnya dengan negara Singapura, Malaysia dan Thailand. Contohnya adalah dalam bidang ekspor, Indonesia relative tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lainnya, terutama kaitannya dengan nilai tambah produk ekspor. Komposisi ekspor kita terbesar didominasi komoditas (resource based) dan barang primer (primary product). Kondisi ini menyebabkan ekspor Indonesia rentan dengan gejolak harga. Hal ini pula yang saat ini kita rasakan, ekspor kita melemah akibat pelemahan perekonomian dunia yang menyebabkan harga komoditas dunia juga ikut menurun. Berbeda dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand, sebagian besar ekspornya didominasi oleh produk-produk yang telah disentuh teknologi (medium and high tech product). Kondisi infrastruktur kita juga relatif tertinggal.
Posisi dan daya saing industri logistik Indonesia bahkan kalah dibanding Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina dan hanya unggul terhadap Myanmar dan Kamboja. Indonesia pasar ekonomi yang besar. Kelas menengah Indonesia semakin bertambah. PDB per kapita Indonesia sudah mendekati USD5.000, yang berarti daya beli masyarakat kita yang cukup tinggi. Tingginya daya beli ini akan menjadi bumerang bagi ”neraca ekonomi” kita bila daya saing dan kesiapan infrastruktur kita tidak segera dibenahi dalam menghadapi MEA 2015 ini. Ekspor kita menjadi kurang bersaing karena nilai tambahnya rendah. Di sisi lain, Indonesia akan menjadi pasar barang dan jasa impor yang empuk, sementara nilai tambah dari barang dan jasa impor tersebut bagi kita sangat kecil. Saat ini dampak dari rendahnya daya saing kita tersebut sudah terasa. Sejak 2012 neraca perdagangan kita telah defisit. Sementara neraca jasa kita sejak dulu tidak mengalami perbaikan, dalam arti selalu defisit. Tingginya pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia dalam satu dekade ini menyebabkan demand masyarakat kita meningkat. Sayangnya, karena lemah struktur industri kita, demand masyarakat tersebut tidak bisa dipenuhi industri domestik, melainkan harus diimpor. Ketika ekspor booming, kita juga tidak bisa memaksimalkan nilai tambahnya. Ekspor komoditas dan barang primer harus diangkut melalui pelabuhan dan menggunakan kapal. Sayangnya, karena ketidaksiapan infrastruktur pelabuhan dan kapal kita, terpaksa ekspor tersebut harus dilakukan di pelabuhan negara tetangga dan diangkut dengan kapal berbendera asing. Tidak hanya itu, asuransi angkutannya pun harus dengan perusahaan asuransi asing sehingga neraca jasa kita mengalami defisit. Indonesia negara dengan penduduk yang besar. Kebutuhan energinya juga besar seiring pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Pada 2012 kebutuhan minyak kita mencapai 73 juta ton, terbesar kelima di Asia. Sayangnya, karena kapasitas infrastruktur kilang minyak yang tidak cukup, setiap tahun impor BBM kita terus meningkat. Indonesia kini telah menjadi importir premium (gasoline) terbesar di dunia. Sekitar 30 persen kebutuhan BBM domestik harus dipenuhi dari impor. Negara yang memiliki infrastruktur kilang minyak diuntungkan dengan posisi Indonesia ini. Siapa itu? Salah satunya Singapura karena memiliki kilang minyak dengan kapasitas yang besar sehingga bisa mengekspor BBM-nya, termasuk ke Indonesia.
Saat ini kebijakan yang telah diambil oleh Indonesia adalah dengan menghilangkan subsidi BBM dialihkan ke anggaran investasi, infrastruktur, dan penguatan industri manufaktur. Semoga dengan langkah tersebut dapat engejar ketertinggalan daya saing kita. Walaupun saat ini kita telah memasuki MEA 2015, kita tidak tertinggal dan dapat bersaing dalam MEA ini.
Pertanyaannya, apakah Indonesia akan diuntungkan atau semakin dirugikan dengan kesepakatan dalam MEA? Mengapa menguntungkan dan faktor apa saja yang menyebabkan Indonesia berpeluang mendapat keuntungan? Apa dampak negatifnya dan bagaimana strategi untuk meminimalkan dampak negatifnya? Tentunya hal ini penting untuk dijawab sebelum Indonesia membuat berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi yang sampai saat ini bahkan jauh lebih agresif dibanding negara-negara lain. Data menunjukkan paska liberalisasi ASEAN dalam AFTA, ASEAN dengan China, maupun kerjasama bilateral lainnya, Indonesia mengalami banyak kerugian. Dalam kesepakatan ASEAN China FTA dan bilateral dengan Jepang misalnya, produk impor dari kedua negara tersebut segera membanjiri pasar Indonesia sehingga terjadi pelebaran defisit neraca perdagangan. Seharusnya hal tersebut dapat menjadi pengalaman berharga bagi Indonesia dalam berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi, termasuk MEA.
Pemerintah telah menyatakan bahwa Indonesia sudah 82 persen siap menghadapi MEA. Namun, klaim persentase kesiapan tersebut ternyata hanya sebatas check list sejauh mana Indonesia telah menjalankan kesepakatan-kesepakatanMEA. Padahal untuk memenangkan persaingan di ASEAN yang makin kompetitif semestinya pemerintah menyiapkan strategi komprehensif yang menjadi agenda bersama antara pemerintah (Pusat dan Daerah) dengan dunia usaha. Negara ASEAN lain, Thailand misalnya, telah mempersiapkan strategi komprehensif untuk meraih peluang saat ASEAN menjadi basis pasar dan produksi. Namun, sampai saat ini persiapan Indonesia masih minimal. Sosialisasi dilakukan tetapi baru sekadar“apa itu MEA”, bukan tentang “strategi bersama menghadapi MEA”.
Implementasi MEA memang bukan liberalisasi ekonomi yang pertama di kawasan ASEAN. Setelah tahun 1992 ASEAN sepakat melakukan AFTA (Asean Free Trade Agreement), ASEAN juga membuat berbagai kesepakatan dengan negara lain seperti India, Jepang dan Korea. Indonesia pun banyak melakukan liberalisasi ekonomi secara bilateral misal dengan Jepang atau Australia dan New Zealand. Meskipun implementasi MEA sebenarnya implementasi liberalisasi di tengah lingkungan ekonomi ASEAN dan ekonomi Indonesia yang sudah cukup liberal, namun CORE berkeyakinan bahwa implementasi MEA justru sangat penting bagi Indonesia sebagai momentum untuk menata ulang berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi yang telah disepakati, agar potensi manfaat yang diperoleh maksimal dan potensi kerugian yang ditimbulkan dapat diminimalkan. Dari kajian awal ini CORE berkesimpulan paling tidak ada empat isu penting yang perlu kerja keras untuk segera diantisipasi:
1)      Implementasi MEA berpotensi menjadikan Indonesia sekadar pemasok energi dan bahan baku bagi industrialisasi di kawasan ASEAN, sehingga manfaat yang diperoleh dari kekayaan sumber daya alam minimal, tetapi beban defisit neraca perdagangan barang Indonesia yang saat ini paling besar diantara negara-negara ASEAN semakin bertambah. Salah satu yang harus dilakukan Indonesia adalah menyusun strategi industri, perdagangan dan investasi secara terintegrasi, paling tidak dalam konteks kerjasama MEA.
2)      Implementasi MEA akan semakin melebarkan defisit neraca perdagangan jasa seiring peningkatan perdagangan barang. Indonesia harus segera mengimplementasikan rencana untuk membangun dan mendukung industri transportasi yang menjadi sumber defisit terbesar. Langkah lainnya, menetapkan sektor pariwisata sebagai prioritas dengan menyusun strategi dan kebijakan baru, karena selama ini pariwisata telah menjadi penyumbang surplus dalam neraca perdagangan jasa.
3)      Implementasi MEA akan membebaskan aliran tenaga kerja sehingga Indonesia harus mengantisipasi dengan menyiapkan strategi karena potensi membanjirnya TKA akan berdampak pada naiknya remitansi TKA yang saat ini pertumbuhannya lebih tinggi daripada peningkatan remitansi TKI, akibatnya berpotensi menjadi tambahan beban bagi Indonesia dalam menjaga neraca transaksi berjalan dan mengatasi masalah pengangguran.
4)      Implementasi MEA akan mendorong masuknya investasi ke Indonesia dari dalam dan luar ASEAN. Indonesia harus bergegas menyiapkan strategi dan kebijakan yang dapat memberi insentif bagi partner ekonominya untuk ikut membangun industri hulu pengolah sumber daya alam, sehingga manfaat ekonomi dari investasi lebih besar, baik dari sisi nilai tambah, penciptaan lapangan kerja maupun terbangunnya industri hulu. Tidak ada pilihan bagi Indonesia kecuali segera menyusun rencana strategi, serta mensosialisasikan dan meng-implementasikan bersama dengan pelaku usaha.

Peran Indonesia di ASEAN
Posisi Tawar yang Terabaikan Indonesia adalah the ASEAN giant yang lupa pada kekuatan yang dimilikinya, sehingga belum mampu memanfaatkan posisi tawarnya yang sangat besar untuk kepentingan nasional. Jika dilihat dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB), Indonesia merupakan penyumbang terbesar (lebih dari sepertiga) PDB ASEAN yang mencapai1,2 triliun US$ (PPP). Dari jumlah populasi ASEAN (600 juta orang), Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar, yang pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 250 juta. Sekitar 60persen di antaranya adalah kelas menengah dengan pertumbuhan relatif tinggi. Selain potensi sumber daya manusia, ekonomi Indonesia juga didukung oleh sumber daya alam yang kaya dan beragam, serta wilayah yang sangat luas baik wilayah daratan maupun lautan. Berbagai faktor tersebut semestinya dapat dijadikan sebagai modal untuk meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam berbagai kerjasama ekonomi.
Demikian juga dalam kerjasama MEA, seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan posisi tawarnya untuk mendapatkan keuntungan maksimal saat ASEAN dijadikan sebagai pasar yang terintegrasi dan basis produksi yang kompetitif. Namun ada keraguan besar Indonesia akan dapat mewujudkan hal tersebut. Untuk kasus industri otomotif misalnya, Malaysia mampu membuat kesepakatan dengan industri otomotif Jepang, sehingga produk otomotif Jepang boleh masuk ke pasar Malaysia, tetapi dengan syarat menggunakan merek nasional Malaysia dan perencanaan jelas untuk pengalihan teknologi. Dengan kesepakatan kerjasama dan strategi industrialisasi yang jelas, akhirnya Malaysia mampu membangun industri otomotif nasional dan bahkan dapat memasarkan produknya ke luar negeri. Sedangkan Indonesia, meskipun posisi tawar lebih besar dibanding Malaysia, baik dari potensi pasar maupun faktor produksi, hingga saat ini Indonesia belum juga memiliki industri otomotif nasional. Di sektor jasa perbankan, Indonesia juga belum mampu memanfaatkan daya tarik pasar domestik dengan kebijakan yang dapat menguntungkan kepentingan nasional.
Indonesia telah membuka kepemilikan asing di bank lokal hingga 99 persen, aturan pembukaan cabang dan ATM tidak terbatas, serta segmen pasar bank asing yang tidak dibatasi. Sementara Singapura yang memiliki sektor jasa keuangan dan perbankan yang jauh lebih kompetitif tetap membatasi kepemilikan asing di bank lokal maksimal hanya 20 persen, ijin operasional diberikan berjenjang dan pembukaan cabang dan ATM sangat terbatas. Demikian juga Malaysia dan Thailand yang memiliki kebijakan jelas dalam mendukung daya saing sektor perbankan dalam memanfaatkan pasar domestiknya.
Lemahnya posisi tawar Indonesia terutama disebabkan oleh tidak adanya strategi dan kebijakan industri yang komprehensif yang akan menjadi referensi bagi pemerintah. Bila ada acuan yang jelas maka pada setiap perundingan kerjasama ekonomi baik regional seperti MEA, kerjasama global seperti WTO maupun kerjasama-kerjasama bilateral, Indonesia akan memiliki langkah yang jelas dan konsisten. Strategi dan kebijakan industrialisasi nasional ini pula yang kemudian akan menjadi acuan bagi kesepakatan pemangkasan tarif bea masuk, membuka atau membatasi impor suatu produk, termasuk mempercepat atau menunda liberalisasi sektor tertentu.
Saya kira, sektor perbankan Indonesia harus siap untuk itu. Karenanya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu merancang peta jalan atau roadmapperbankan Indonesia. Adapun pembuatan roadmap tersebut secara terperinci dapat berupa arah yang lebih jelas dalam hal konsolidasi perbankan dalam negeri, guna memperbesar Size suatu bank, baik secara alami maupun secara market driven. Perbankan nasional, khususnya bank BUMN juga harus berperan aktif mengantisipasi pemberlakuan MEA 2015.
Era bebas pasar ini, dipastikan akan membuka alur lalu lintas barang dan jasa serta pasar semakin lebar. Karenanya, pertumbuhan ekonomi regional harus terintegrasi dengan ekonomi global. Dengan demikian, perbankan nasional memerlukan kesamaan pandang dalam melihat pertumbuhan ekonomi regional. Dengan kesamaan pandang regional itu, diharapkan perbankan Indonesia akan dapat menyelesaikan planning (rencana), strategi, sasaran yang tepat bagi kemajuan ekonomi Indonesia.
Jika ingin terlibat aktif dan tidak terlindas dalam era bebas pasar ASEAN, peran institusi seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga penting guna meningkatkan Good corporate government (GCG) pada industri perbankan di Indonesia. Selain itu perbankan nasional juga perlu mengajak stake holder, seperti perhimpunan bank-bank nasional (PERBANAS)dan institute bangkir Indonesia (IBI) untuk menstimulasi semakin baiknya GCG bank menghadapi pasar bebas ekonomi ASEAN.
Bagaimanapun beratnya tanatangan industry perbankan regional, upaya mendorong efisiensi sector perbankan yang berdaya saing tinggi harus terus dilakukan. Hingga kini perbankan di Indonesia masih dinilai boros di di biaya operasional. Audit terhadap tingkat efisiensi bank terutama bank BUMN yang memimpin pasar di Industri keuangan nasional ini, juga menjadi indicator keberhasilan perbankan dalam mengelola rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO)nya. Semakin rendah maka kekuatan daya saingnya akan semakin tinggi.
Sebaliknya, semakin tinggi efektivitas perbankan, semakin kuat juga perbankan nasional untuk menciptakan lingkungan bisnis yang sehat, sehingga akan menambah kuat kemampuan diri dalam menyongsong era pasar bebas ASEAN . kompetisi bisnis perbankan sangat ketat. Tidak hanya di industry domestic, industri perbankan regional dan global jauh lebih menantang. Perbankan di regional ASEAN memilki tingkat kesehatan yang sangat tinggi.
Dari sisi efisiensi, tingkat prudentialnya, Indonesia masih jauh lebih rendah disbanding negara ASEAN lainya. Untuk bisa mensejajarkan diri dengan kemampuan perbankan dilingkup regional ASEAN, perbankan nasional harus bisa mengejar ketinggalanya mulai dari sisi efisiensi dan efektifitas tadi hingga kemampuan berekspansi. Meskipun saat ini sudah ada perbankan nasional yang beroprasi di negara ASEAN lainya, tidak sepadan dengan jumlah bank asing (dari sama negara ASEAN lain) .
Untuk itu pemerintah yang baru nanti harus bisa menyeimbankan kedudukan industry perbankan nasional dengan perbankan regional dikawasan ini. dasr prinsip perbankan yang mengacu aturan terkini dalam basel III sudah menjadi konsekuensi untuk diikuti semua industry perbankan global. Dan, aturan itu harus sudah di adaptasi untuk bisa ikut berkecimpung di kancah pasar global.

Kesiapan di Industri Perbankan
Adapun CEO Bank BNI Gatot M Suwondo menyampaikan Strategi Industri Perbankan Indonesia dalam Menghadapi MEA. Menurutnya, industri perbankan Indonesia di bawah regulasi Bank Indonesia dan OJK telah menyiapkan diri untuk menghadapi persaingan global termasuk MEA. Dari sisi regulasi, sejatinya perbankan Indonesia termasuk terbuka, hal ini ditandai dengan banyaknya bank-bank besar dunia yang beroperasi di Indonesia.
BNI sendiri mengambil posisioning sebagai bank yang menjembatani masyarakat Indonesia dengan komunitas internasional. Hal ini tampak dari komitmen BNI untuk terus memperluas bisnisnya di luar negeri. “BNI adalah bank lokal yang paling luas jaringan internasionalnya. Dengan lima cabang di luar negari yakni di Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan Hongkong. Dalam waktu dekat BNI juga sedang memproses untuk mendirikan cabang di Myanmar, Jeddah, dan Korea Selatan,” ujarnya.
Kini, bersama 15 BUMN seperti PT. Timah, PT, Bukit Asam, PLN, Semen Indonesia, PT. Pupuk Indonesia, Bulog, Garuda Maintenance Facilities, dan PT. Telkom, BNI akan memasuki pasar Myanmar. Dengan berbagai ekspansi yang dilakukan, BNI berharap dapat terus berkembang seiring diberlakukannya MEA akhir tahun ini.
Selain para pembicara di atas, narasumber dari BUMN yang hadir dan menyampaikan presentasinya adalah Honesti Basyir Chief Marketing Officer Wholesale & International Business PT. Telkom Indonesia Tbk dan Benny Andrianto A Vice President Director PT Adhya Tirta Batam. Mereka menyampaikan cerita sukses pengembangan bisnis masing-masing perusahaannya.

Branchless Banking
Dalam menghadapi persaingan didalam tingkat regional yaitu dengan adanya MEA dan juga dalam tingkat persaingan pasar secara global maka perlu adanya langkah-langkah yang dapat membantu peningkatan kualitas kita dalam daya saing. Salah satunya adalah membuat suatu sistem yang membantu proses kelangsungan pasar global tersebut, salah satu diantaranya adalah Branchless Banking.
Branchless Banking (BB) adalah layanan perbankan tanpa perlu membuka kantor cabang. Tujuannya adalah untuk mengurangi biaya layanan perbankan. Perluasan  jaringan perbankan, memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk menjangkau lokasi yang terpencil di tanah air. BB menjadi salah satu pendekatan yang potensial yang bersifat non-konvensional, hal ini disebabkan perbankan kita saat ini masih bersifat konvensional. Masalah permodalan dalam sistem bank konvensional merupakan hambatan utama dalam meningkatkan layanan jasa keuangan. Pendekatan non-konvensional seperti perkembangan e-banking, SMS banking atau mobile banking sudah diterapkan pada bank-bank besar namun terkendala pada saat pembukaan rekening (diharapkan kedepannya bisa dilakukan secara elektronik). BB merupakan terobosan yang bersifat non-konvensional dimana di beberapa negara seperti Kenya-Afrika dan Meksiko sudah berhasil menerapkannya. Terobosan yang harus dilakukan oleh  perbankan melalui pemanfaatan teknologi, khususnya telekomunikasi. Perkembangan industri telekomunikasi yang baru berkembang 20 tahun terakhir di Indonesia ternyata sudah memiliki penetrasi mencapai 250 juta pelanggan, apabila dibandingkan dengan  jumlah rekening tabungan yang hanya 70 juta (tahun 2011).
Elemen yang terkait dengan BB adalah:
1.      Banking agent yang berfungsi sebagai unit terdepan Bentuk banking agent juga sangat beragam bisa berbentuk koperasi, toko, dll atau lembaga keuangan selain bank. Namun yang paling penting adalah dapat menimbulkan efek multiplier bagi perekonomian masyarakat.
2.      Provider telekomunikasi dalam hal ini mobile banking ada di dalam teknologi ini.
3.      Masyarakat di luar nasabah perbankan melalui Financial Identity Number (FIN) yang kedepannya akan disinergikan dengan Kartu Identitas Penduduk yang dikeluarkan oleh Kemendagri.

 Kebutuhan akan kas dalam masyarakat pedesaan khususnya kebutuhan untuk transaksi sehari-hari dan kas untuk berjaga-jaga, harus dipenuhi, sehingga  pergerakan barang juga akan berputar lebih cepat. Masyarakat di daerah umumnya memiliki willingness to save lebih tinggi ketimbang willingness to get credit. Terutama di daerah yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah.
Studi-studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah, swasta, asosiasi, perusahaan keuangan maupun lembaga donor menyimpulkan beberapa hal kenapa perlunya Branchless Banking. Berikut kami sampaikan kenapa Branchless Banking :

1.      Seperti halnya dinegara negara berkembang Indonesia termasuk didalamnya, akses layanan perbankan masyarakat bawah masih kurang bahkan beberapa negara dapat dikatakan kurang sekali. Indonesia sendiri berdasarkan survey Bank Dunia tahun 2010 berkisar 49% dari populasi belum terlayani. Negara-negara lain seperti Pakistan 85%, Filipina 75%, China 60% dan India 55%. Thailand dan Malaysia justru lebih rendah dari Indonesia.
2.      Pembukaan kantor bank yang memerlukan investasi dan biaya operasional yang mahal. Sebagai gambaran rata-rata biaya investasi yang dibutuhkan bisa sekitar 1,5 milyar dengan biaya operasional tahunan sekitar 900 juta per kantor
3.      Konsentrasi lokasi perbankan banyak didaerah perkotaan atau urban yang padat. Hal ini dikarenakan potensi bisnis yang secara kasat mata sudah jelas terlihat menguntungkan bagi bank. Kalaupun ada di rural area, dapat dipastikan merupakan area yang padat aktifitas ekonomi, berkembang sehingga secara ekonomis bank melihat feasibility membuka bank didaerah tersebut menguntungkan.
4.      Persepsi masyarakat bawah terhadap layanan bank. Mereka melihat bank sebagai sesuatu yang tidak untuk mereka (bank is not for me). Sejatinya mereka justru dalam keseharian bersentuhan secara tidak langsung dengan layanan keuangan (financial service) yang juga dilakukan bank. Namun karena persepsi, mereka cenderung melakukannya dengan lembaga yang bukan bank antara lain koperasi dan perorangan. Persepsi yang mereka miliki bahwa :
a.       Berhubungan dengan bank harus punya uang banyak dan hanya untuk orang kelas atas berduit
b.      Harus meluangkan waktu khusus ke bank karena jarak yang jauh dari tempat aktifitasnya sehari hari
c.       Prosedur berhubungan dengan bank berbelit belit, banyak aturan dan wajib diikuti
d.      Harus antre untuk  bertransaksi yang hanya untuk kebutuhan sederhana seperti setor atrau tarik dengan jumlah kecil misalnya Rp. 10.000,--
e.       Biaya transaksi yang mahal, misalnya kirim uang kena biaya Rp. 25.000,--
f.       Produk atau layanan bank tidak dirancang untuk mereka dengan kondisi keuangan yang tidak tetap
g.      Ada kecenderungan diskriminasi dalam pelayanan terhadap mereka, menganggap mereka tidak punya uang sehingga layanan yang diterima berbeda.

5.      Potensi besar segmen bawah yang belum tergarap. Jujur kita akui bahwa aktifitas ekonomi sebagian besar digerakkan oleh sektor ekonomi kelas bawah seperti usaha-usaha mikro yang masih dilaksanakan melalui mekanisme tunai. Berdasarkan data kurang lebih sebesar Rp. 300 triliun uang tunai ditransaksikan lewat segment ini. Apabila jumlah tersebut masuk ke sistem perbankan dan disalurkan bank kembali dalam bentuk kredit ke meraka, tentunya akan menjadi stimulus penggerak perekonomian yang sangat besar. Efisiensi dalam pengeloaan uang tunai oleh BI pun akan dapat ditingkatkan dengan adanya penggunaan transaksi melalui branchless banking.
6.      Kemajuan teknologi khusus dalam berkomunikasi. Adanya tingkat penetrasi yang tinggi perusahaan telco ke masyarakat bawah melalui penggunaan telepon seluler, menyebabkan timbulnya pemikiran bagaimana memanfatkan kemajuan cara berkomunikasi ini untuk menembus layanan keuangan ke segmen dimaksud dengan memanfatkan keunggulan - keunggulan yang dimiliki perusahaan telco.

Hal-hal tersebut diatas, mengkondisikan perlunya BB dan saat ini sedang berkembang di negara-negara Asia Pasific, Africa dan Amerika Latin. Asia merupakan emerging market termasuk Indonesia yang baru mulai memasuki era ini, meskipun aturan terkait penerapannya masih dalam persiapan oleh BI.
Dari berbagai penjelasan diatas, maka kita sudah dapat menyimpulkan bahwa masih banyak yang perlu kita lakukan dalam meghadapi pasar bebas khususnya dalam wilayah regional kita yaitu di ASEAN. Saat ini memang kita masih tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya, tapi dengan kesungguhan kita,yaitu dengan mendukung segala program pemerintahan saat ini yang berusaha untuk meningkatkan kualitas kita agar mampu bersaing salah satunya dengan mengurangi pola pikir kita yang konsumtif menjadi produktif. Kita harus memulai untuk menciptakan sesuatu yang memiliki nilai jual, selain itu kita dapat meingkatkan produk-produk dalam negeri dengan bangga untuk menggunakannya. Selain itu kita juga harus meningkatkan kemampuan teknologi, agar dapat bersaing dengan negara-negara lain yang sudah banyak menggunakan teknologi-teknologi yang terkomputerisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Sumber :