Selasa, 14 Mei 2013

Review Jurnal Aspek Hukum dalam Ekonomi

Review 1


MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN
Sugiatminingsih
STIH Sunan Giri Malang



Abstracts

Settlement of disputes, not always carried out with the trial court, but through
 peaceful means can be adopted and pursued more effectively and efficiently with peace institutions. The Government has made a very important breakthrough to encourage the development of mediation. Law No. 2 of 2004 on Settlement of industrial disputes, compulsory mediation (if necessary arbitration after mediation), to resolve labor disputes resolved through a decision before the court


PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini media massa selalu memberitakan kasus-kasus sengketa atau tindak pidana yang yang sangat marak di pengadilan. Belum selesai kasus Prita Mulyasari yang sampai sekarang belum terselesaikan, walaupun terdapat tekanan publik yang sangat gencar dengan pengumpulan koin untuk membebaskan Prita dari ancaman hukuman perdata dan pidana, media massa menyiarkan lagi kasus Luna Maya. Luna Maya dilaporkan ke Kepolisian Metro Jaya, karena dianggap mencemarkan nama baik wartawan infotainment melalui jejaring sosial Twitter. Mirip dengan kasus Pritta, sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik    (ITE), Luna Maya akan diancam dengan hukuman maksimal 6 tahun dan denda 1 milyar rupiah. Kasus ini menjadi lebih ramai karena tidak semua asosiasi wartawan setuju dengan pelaporan kasus ini ke Kepolisian, apalagi sampai ke Pengadilan. Beberapa tokoh wartawan bahkan mengusulkan lebih baik ditempuh melalui jalur mediasi saja (di luar pengadian). Begitu juga kasus-kasus pencurian oleh seseorang yang dianggap mewakili rakyat kecil, seperti : kasus seorang nenek yang mencuri buah kakao di Banyumas, kasus pencurian semangka di Kediri dan juga kasus pencurian sabun mandi dan kacang hijau di Cirebon. Kebetulan para pencuri itu adalah orang miskin yang tidak faham tentang hukum, bahkan selain nilai barang yang dicuri relative Volume 12 Nomor 2 Juli - Desember 2009 130 kecil, kasus ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan mediasi di luar pengadilan. Masyarakat luas menganggap keputusan hakim untuk menjerat mereka dengan pasal-pasal KUHP sangat berlebihan dan bertentangan dengan nilai keadilan. Pencuri-pencuri yang miskin itu berhadapan dengan saksi pelapor yang secara materi jauh lebih kaya. Nilai keadilan terusik, karena pengadilan selalu memenangkan pihak yang kaya. Hal ini makin dianggap serius, karena kepercayaan publik terhadap aparat hukum sangat menurun, sejak kasus Bibit Chandra, para Ketua KPK yang dinyatakan sebagai tersangka, padahal hal itu hanya merupakan kriminalisasi oleh pihak Kepolisian.Dari semua kasus itu yang menarik adalah dari satu sisi, sebagian masyarakat telah lebih sadar hukum sehingga setiap sengketa dilaporkan kepada pihak penegak hukum, tetapi sebagian yang lain juga kurang faham bahwa pengadilan bukan satu-satunya media untuk menyelesaikan perkara bagi para pihak yang bersengketa. Masih
ada cara lain di luar pengadilan yang sebenarnya lebih tepat dan cepat untuk menyelesaikan kasus sengketa dan atau kriminal, yaitu mediasi. Penyelesaian sengketa, tidak selalu dilaksanakan dengan persidangan pengadilan, akan tetapi cara-cara damai dapat ditempuh dan diupayakan secara lebih efektif dan efisien dengan lembaga damai (dading) yang di atur dalam pasal 130 HIR/ pasal 195 RBG. Pasal ini merupakan pasal yang lebih mengefektifkan serta meningkatkan manfaat dari kebijakan pembaharuan peradilan. Bahkan kebijakan ini diperluas, dengan mendorong pengembangan mediasi pada umumnya. Pengembangan pasal 130 HIR/Pasal 195 RBG dikonstruksikan sebagai mediasi oleh pengadilan yang akan menjadi dasar pengembangan Court Connected Mediation (Jacqueline, 1992:56). Hal ini juga dilakukan guna pengembangan mediasi di luar pengadilan. Masyarakat merespons dengan cukup bagus, sehingga kemudian dibentuk lembaga-lembaga mediasi seperti halnya mediasi nasional. Sebagai implementasinya, berbagai pelatihan dilaksanakan baik pada kalangan para hakim, pengajar pada fakultas hukum, maupun anggota masyarakat yang berminat. Mahkamah Agung menetapkan beberapa pengadilan sebagai proyek pilot (pilot project) seperti pengadilan Negeri Batu Sangkar. Pada sejumlah Pengadilan Negeri, seperti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pengadilan Negeri Muara Enim, telah menyelesaikan beberapa perkara melalui mediasi. Di Pengadilan Agama juga telah diperkenalkan dengan mediasi guna lebih meningkatkan upaya-upaya damai yang selama ini dijalankan untuk memperbaiki hubungan keluarga yang sedang retak (ingin berpisah/talaq).
Di samping penyelesaian perkara melalui mediasi, juga tidak menutup Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan 131 kemungkinan adanya penyelesaian perkara melalui arbitrase. Dalam hal ini, pengadilan harus lebih tegas menyatakan tidak berwenang mengadili suatu sengketa yang di dalam perjanjiannya berisi klausul arbitrase. Begitu pula alasan-alasan pembatalan arbitrase harus sesuai dengan bunyi ketentuan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase. Hakim harus menjauhkan diri dari penafsiran, apalagi melakukan konstruksi untuk membenarkan alasan pembatalan putusan arbitrase (Saleh, 1994:13). Dalam pembatalan arbitrase, hakim harus berpegang pada asas final award kecuali dapat dibuktikan keadaan yang sebaliknya sebagaimana bunyi Undang-undang atas dasar pendirian ini Mahkamah Agung hampir, bahkan mungkin dalam semua kasus selalu menolak gugatan pembatalan putusan arbitrase (Dimyati, 1994 : 23).

KEUNTUNGAN MEDIASI DAN BIAYA PERKARA
Jika dibandingkan berperkara melalui proses pengadilan, maka mediasi lebih mudah dan murah. Namun bukan hanya sekedar lebih mudah dan murah, tetapi juga memberikan keuntungan yang lain sebagaimana berikut:
1.      Adanya dua asas yang penting dalam mediasi, yakni: Pertama, terhindarnya dari posisi pihak yang kalah dan pihak yang menang, menjadi sama-sama menang (win-win solution). Sama-sama menang tidak saja dalam arti ekonomi atau keuangan, melainkan termasuk juga kemenangan moril, reputasi (nama baik dan kepercayaan).  Kedua,  putusan tidak mengutamakan pertimbangan dan alasan hukum, melainkan atas dasar kesejajaran kepatuhan dan rasa keadilan.
2.      Penyelesaian melalui mediasi akan lebih mempersingkat waktu penyelesaiannya, perpanjangan waktu dalam berperkara tidak semata-mata beban ekonomi keuangan. Tidak kalah penting, beban psikologis yang akan mempengaruhi berbagai sikap dan kegiatan pihak yang berperkara.
3.      Berperkara dapat menimbulkan efek sosial yaitu putusnya tali silaturrahmi (hubungan persaudaraan atau hubungan sosial). Bukan saja antar pihak yang berperkara, melainkan efek sosial dapat meluas sampai pada hubungan kekerabatan yang lebih luas. Dengan melalui cara mediasi hal-hal tersebutdapat dihindari. Hubungan silaturrahmi yang retak dapat direkat kembali.
4.      Mediasi sesuai dengan dasar pergaulan sosial masyarakat Indonesia yang mengutamakan dasar kekerabatan, paguyuban, kekeluargaan dan gotong-royong. Mediasi juga merupakan instrumen yang baik dalam menyelesaikan sengketa untuk menjaga dasar-dasar kekerabatan, paguyuban dan Volume 12 Nomor 2 Juli - Desember 2009 132 kekeluargaan tersebut.
5.      Mediasi adalah cara yang tepat menyelesaikan sengketa-sengketa perniagaan. Mediasi merupakan gejala global dengan berbagai peliknya keperkaraan (ongkos, waktu, hukum, yang makin kompleks, reputasi dan lain-lain), maka dengan mediasi sebagai alternatif, cara penyelesaian sengketa yang berkembang mengglobal, baik sebagai keluarga, bangsa-bangsa, maupun tata cara lembaga hukum secara internasional.
6.      Keuntungan mediasi bagi pengadilan adalah:
a.       Mengurangi jumlah perkara yang masuk ke pengadilan;
b.      mengurangi penundaan dalam penyelesaian perkara;
c.       Hakim berkesempatan lebih mendalami setiap perkara, sehingga akan meningkatkan mutu putusan demi kepentinganperkembangan hukum maupun kepentingan pihak yang bersangkutan.;
d.      Mediasi merupakan salah satu alat penangkal atas kepercayaan social yang rendah terhadap reputasi hakim. Karena penyelesaian meditasi ditentukan oleh pihak-pihak, bukan oleh hakim;
e.       (e) Secara berangsur-angsur berperkara di pengadilan dapat lebih diarahkan pada persoalan-persoalan hukum (bukan nilai perkara) yang kompleks dan mendasar yang akan mempengaruhi perkembangan hukum, bahkan ilmu hukum termasuk pula mediasi lebih menonjol pada sengketa-sengketa yang bersifat keperdataan. Namun tidak menutup kemungkinan dalam perkara pidana pula. Sebagaimana halnya perdamaian dalam sistem adat-istiadat maupun hukum adat kita, tidak terbatas pada sengketa perdata. Perdamaian juga lazim dalam perbuatan (perkara) yang bersifat kepidanaan. Tidak jarang suatu perbuatan yang dapat dipidana diselesaikan secara kekeluargaan (Goodpaster, 1993 : 7).

Dalam hal terjadi kematian akibat perkelahian atau pertengkaran, misalnya, perdamaian terjadi melalui kompensasi terhadap keluarga korban. Kompensasi ini tidak semata bersifat materiil. Dapat juga bersifat immateriil seperti denda adat, kewajiban melakukan sesuatu untuk memulihkan keseimbangan magis. Bahkan pernyataan penyesalan dan permohonan maaf yang tulus dan diterima oleh keluarga korban tidak jarang menjadi dasar perdamaian yang penting. Di masa dahulu, peran penting mendamaikan dilakukan oleh ketua adat atau kepala adat, kepala kaum atau kepala-kepala kerabat. Sekarang, dalam praktek perdamaian dilakukan oleh atau dihadapan kepolisian atau pejabat pemerintah lainnya. Praktek semacam ini tidaklah bertentangan dengan tujuan atau fungsi hukum seperti fungsi memulihkan ketenteraman, memelihara perdamaian dalam masyarakat. Karena itu sangat baik atau tetap dijalankan. Lebih dari itu, upaya Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan 133 damai semacam ini harus membawa konsekuensi hukum yaitu menutup perkara begitu dicapai perdamaian. Doktrin yang mengatakan: sifat pidana tidak hapus sehingga perkara akan tetap diteruskan walaupun ada perdamaian, mestinya harus dihapuskan. Dapat saja, sifat pidana tidak hapus, tetapi perdamaian menghilangkan atau menghapus hak menuntut (memperkarakan). Perdamaian untuk sesuatu perbuatan pidana dapat disebut sebagai abolisi sosial seperti abolisi yang ada pada Presiden (lazim dimasukkan sebagai hak preogratif Presiden). Tentu saja ada perbuatan-perbuatan pidana tertentu yang tertutup untuk diselesaikan secara damai yaitu perbuatan pidana yang berkaitan dengan keamanan negara (national security) atau kepentingan nasional (national interest), atau kejahatan terhadap pejabat negara. Meminjam ajaran Rescoe Pound, (walaupun dalam konteks yang berbeda), kejahatan semacam ini dapat disebut sebagai kejahatan yang menyangkut public interest, berbeda dengan  social interest (Harahap, 1997: 20).
Bagaimana dengan korupsi yang merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar? Barangkali ada baiknya mempergunakan  seperti telah disebutkan diatas pendekatan Roscoe Pound. Selain public interest, Roscoe Pound membedakan juga antara social interest dan  individual interest. Korupsi yang merugikan negara dapat ditinjau dari public interest dan social interest. Telah dikemukakan, publik interest menyangkut kepentingan negara. Korupsi sangat nyata merugikan keuangan negara sehingga mempunyai sifat kepentingan nasional (national interest). Bahkan korupsi yang merajalela, dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan dan keamanan negara (national security). Namun, korupsi juga berkaitan dengan social interest, yaitu kepentingan rakyat banyak terhadap uang yang di korupsi. Yang disebut uang negara tidak lain dari uang rakyat. Dari segi kepentingan sosial (rakyat), bukanlah pemidanaan badan yang menjadi kepentingan utama. Ditinjau dari kepentingan sosial, pengembalian uang yang dikorupsi akan lebih bermanfaat untuk menjalankan program yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Disini ada semacam overlapping  bahkan tension antara public interest dan social interest. Roscoe Pound sendiri mengakui kemungkinan overlapping  atau tension  tersebut. Dalam keadaan seperti ini, betapa penting pilihan sentencing policy baik yang bersifat umum atau khusus. Tanpa ada kepastian pilihan, maka pemberantasan korupsi akan selalu terombang-ambing dengan polemik yang berkepanjangan. Dalam praktek peradilan   sepanjang terbukti putusan akan sekaligus meraih dua aspek kepentingan dengan menjatuhi pidana badan dan kewajiban membayar uang pengganti. Pertanyaannya : Apakah hasil yang dicapai cukup efektif?. Paling Volume 12 Nomor 2 Juli - Desember 2009 134 tidak ada dua hal menyangkut efektivitas ini. Pertama, sejauh mana putusan uang pengganti telah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ketidakefektifan pelaksanaan putusan uang pengganti terjadi karena kelambanan, maupun kekayaan terpidana telah sangat berkurang karena telah dialihkan ke pihak atau tempat lain. Kedua, seberapa banyak, perkara-perkara korupsi yang telah berhasil di bawa ke pengadilan, untuk mengembalikan kerugian negara. Pengamatan sekilas memberi kesan kasus-kasus korupsi yang sudah diungkapkan adalah korupsi yang secara langsung dilakukan oleh kalangan birokrasi. Dari berbagai kasus yang populer, korupsi yang terungkap dan banyak dibicarakan adalah korupsi yang terjadi setelah reformasi. Kasus-kasus dugaan korupsi sebelum reformasi nampak makin sulit diungkap dan seperti disebutkan diatas  kebanyakan dari kalangan birokrasi, sedangkan mereka yang secara nyata menerima uang yang merugikan negara masih sangat terbatas di Indonesia (Christoper, 1995 : 9). Bagaimana dengan perbuatan pidana yang semakin menyangkut social interest (kepentingan orang banyak). Contoh yang menarik adalah perbuatan pidana pencemaran lingkungan. Kepentingan sosial perkara semacam ini lebih nyata dibandingkan dengan kepentingan sosial perkara korupsi. Karena itu, dalam praktek di berbagai negara, tuntutan pencemaran lingkungan tidak diarahkan pada pemidanaan melainkan pada ganti rugi untuk memulihkan lingkungan dan memulihkan korban pencemaran. Dalam sistem hukum Indonesia hal ini dapat digugat berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) atau upaya perdamaian melalui mediasi. Meskipun pemidanaan dapat disertai tuntutan ganti rugi atau uang penggantian, tetapi kecenderungan yang lebih kuat adalah tuntutan ganti rugi. Pemidanaan dilakukan, apabila pencemaran itu berkaitan dengan national interest yang tidak dapat dipulihkan melalui ganti rugi. Dalam kaitan mediasi pidana ini, perlu perhatian terhadap konsep pemidanaan
restorative (restorative justice) yang secara konseptual dicoba dikembangkan di beberapa negara seperti Canada dan Australia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar