MEDIASI
SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN
Sugiatminingsih
STIH Sunan Giri Malang
Abstracts
Settlement
of disputes, not always carried out with the trial court, but through
peaceful means can be adopted and pursued more
effectively and efficiently with peace institutions. The Government has made a
very important breakthrough to encourage the development of mediation. Law No.
2 of 2004 on Settlement of industrial disputes, compulsory mediation (if
necessary arbitration after mediation), to resolve labor disputes resolved
through a decision before the court
PENDAHULUAN
Akhir-akhir
ini media massa selalu memberitakan kasus-kasus sengketa atau tindak pidana
yang yang sangat marak di pengadilan. Belum selesai kasus Prita Mulyasari yang
sampai sekarang belum terselesaikan, walaupun terdapat tekanan publik yang
sangat gencar dengan pengumpulan koin untuk membebaskan Prita dari ancaman
hukuman perdata dan pidana, media massa menyiarkan lagi kasus Luna Maya. Luna
Maya dilaporkan ke Kepolisian Metro Jaya, karena dianggap mencemarkan nama baik
wartawan infotainment melalui jejaring sosial Twitter. Mirip dengan kasus
Pritta, sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Luna Maya akan diancam dengan hukuman
maksimal 6 tahun dan denda 1 milyar rupiah. Kasus ini menjadi lebih ramai
karena tidak semua asosiasi wartawan setuju dengan pelaporan kasus ini ke
Kepolisian, apalagi sampai ke Pengadilan. Beberapa tokoh wartawan bahkan
mengusulkan lebih baik ditempuh melalui jalur mediasi saja (di luar pengadian).
Begitu juga kasus-kasus pencurian oleh seseorang yang dianggap mewakili rakyat
kecil, seperti : kasus seorang nenek yang mencuri buah kakao di Banyumas, kasus
pencurian semangka di Kediri dan juga kasus pencurian sabun mandi dan kacang
hijau di Cirebon. Kebetulan para pencuri itu adalah orang miskin yang tidak
faham tentang hukum, bahkan selain nilai barang yang dicuri relative Volume 12
Nomor 2 Juli - Desember 2009 130 kecil, kasus ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan
mediasi di luar pengadilan. Masyarakat luas menganggap keputusan hakim untuk
menjerat mereka dengan pasal-pasal KUHP sangat berlebihan dan bertentangan
dengan nilai keadilan. Pencuri-pencuri yang miskin itu berhadapan dengan saksi
pelapor yang secara materi jauh lebih kaya. Nilai keadilan terusik, karena
pengadilan selalu memenangkan pihak yang kaya. Hal ini makin dianggap serius,
karena kepercayaan publik terhadap aparat hukum sangat menurun, sejak kasus
Bibit Chandra, para Ketua KPK yang dinyatakan sebagai tersangka, padahal hal
itu hanya merupakan kriminalisasi oleh pihak Kepolisian.Dari semua kasus itu yang
menarik adalah dari satu sisi, sebagian masyarakat telah lebih sadar hukum sehingga
setiap sengketa dilaporkan kepada pihak penegak hukum, tetapi sebagian yang
lain juga kurang faham bahwa pengadilan bukan satu-satunya media untuk
menyelesaikan perkara bagi para pihak yang bersengketa. Masih
ada
cara lain di luar pengadilan yang sebenarnya lebih tepat dan cepat untuk menyelesaikan
kasus sengketa dan atau kriminal, yaitu mediasi. Penyelesaian sengketa, tidak
selalu dilaksanakan dengan persidangan pengadilan, akan tetapi cara-cara damai
dapat ditempuh dan diupayakan secara lebih efektif dan efisien dengan lembaga
damai (dading) yang di atur dalam pasal 130 HIR/ pasal 195 RBG. Pasal ini
merupakan pasal yang lebih mengefektifkan serta meningkatkan manfaat dari
kebijakan pembaharuan peradilan. Bahkan kebijakan ini diperluas, dengan
mendorong pengembangan mediasi pada umumnya. Pengembangan pasal 130 HIR/Pasal
195 RBG dikonstruksikan sebagai mediasi oleh pengadilan yang akan menjadi dasar
pengembangan Court Connected Mediation (Jacqueline, 1992:56). Hal ini juga
dilakukan guna pengembangan mediasi di luar pengadilan. Masyarakat merespons
dengan cukup bagus, sehingga kemudian dibentuk lembaga-lembaga mediasi seperti halnya
mediasi nasional. Sebagai implementasinya, berbagai pelatihan dilaksanakan baik
pada kalangan para hakim, pengajar pada fakultas hukum, maupun anggota
masyarakat yang berminat. Mahkamah Agung menetapkan beberapa pengadilan sebagai
proyek pilot (pilot project) seperti pengadilan Negeri Batu Sangkar. Pada
sejumlah Pengadilan Negeri, seperti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
Pengadilan Negeri Muara Enim, telah menyelesaikan beberapa perkara melalui
mediasi. Di Pengadilan Agama juga telah diperkenalkan dengan mediasi guna lebih
meningkatkan upaya-upaya damai yang selama ini dijalankan untuk memperbaiki
hubungan keluarga yang sedang retak (ingin berpisah/talaq).
Di
samping penyelesaian perkara melalui mediasi, juga tidak menutup Mediasi
Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan 131 kemungkinan
adanya penyelesaian perkara melalui arbitrase. Dalam hal ini, pengadilan harus
lebih tegas menyatakan tidak berwenang mengadili suatu sengketa yang di dalam
perjanjiannya berisi klausul arbitrase. Begitu pula alasan-alasan pembatalan
arbitrase harus sesuai dengan bunyi ketentuan Undang-undang No. 30 Tahun 1999
tentang arbitrase. Hakim harus menjauhkan diri dari penafsiran, apalagi melakukan
konstruksi untuk membenarkan alasan pembatalan putusan arbitrase (Saleh,
1994:13). Dalam pembatalan arbitrase, hakim harus berpegang pada asas final
award kecuali dapat dibuktikan keadaan yang sebaliknya sebagaimana bunyi
Undang-undang atas dasar pendirian ini Mahkamah Agung hampir, bahkan mungkin
dalam semua kasus selalu menolak gugatan pembatalan putusan arbitrase (Dimyati,
1994 : 23).
KEUNTUNGAN
MEDIASI DAN BIAYA PERKARA
Jika
dibandingkan berperkara melalui proses pengadilan, maka mediasi lebih mudah dan
murah. Namun bukan hanya sekedar lebih mudah dan murah, tetapi juga memberikan
keuntungan yang lain sebagaimana berikut:
1. Adanya
dua asas yang penting dalam mediasi, yakni: Pertama, terhindarnya dari posisi
pihak yang kalah dan pihak yang menang, menjadi sama-sama menang (win-win
solution). Sama-sama menang tidak saja dalam arti ekonomi atau keuangan,
melainkan termasuk juga kemenangan moril, reputasi (nama baik dan
kepercayaan). Kedua, putusan tidak mengutamakan pertimbangan dan
alasan hukum, melainkan atas dasar kesejajaran kepatuhan dan rasa keadilan.
2. Penyelesaian
melalui mediasi akan lebih mempersingkat waktu penyelesaiannya, perpanjangan
waktu dalam berperkara tidak semata-mata beban ekonomi keuangan. Tidak kalah
penting, beban psikologis yang akan mempengaruhi berbagai sikap dan kegiatan
pihak yang berperkara.
3. Berperkara
dapat menimbulkan efek sosial yaitu putusnya tali silaturrahmi (hubungan
persaudaraan atau hubungan sosial). Bukan saja antar pihak yang berperkara,
melainkan efek sosial dapat meluas sampai pada hubungan kekerabatan yang lebih
luas. Dengan melalui cara mediasi hal-hal tersebutdapat dihindari. Hubungan
silaturrahmi yang retak dapat direkat kembali.
4. Mediasi
sesuai dengan dasar pergaulan sosial masyarakat Indonesia yang mengutamakan
dasar kekerabatan, paguyuban, kekeluargaan dan gotong-royong. Mediasi juga
merupakan instrumen yang baik dalam menyelesaikan sengketa untuk menjaga
dasar-dasar kekerabatan, paguyuban dan Volume 12 Nomor 2 Juli - Desember 2009 132
kekeluargaan tersebut.
5. Mediasi
adalah cara yang tepat menyelesaikan sengketa-sengketa perniagaan. Mediasi
merupakan gejala global dengan berbagai peliknya keperkaraan (ongkos, waktu,
hukum, yang makin kompleks, reputasi dan lain-lain), maka dengan mediasi
sebagai alternatif, cara penyelesaian sengketa yang berkembang mengglobal, baik
sebagai keluarga, bangsa-bangsa, maupun tata cara lembaga hukum secara
internasional.
6. Keuntungan
mediasi bagi pengadilan adalah:
a. Mengurangi
jumlah perkara yang masuk ke pengadilan;
b. mengurangi
penundaan dalam penyelesaian perkara;
c. Hakim
berkesempatan lebih mendalami setiap perkara, sehingga akan meningkatkan mutu
putusan demi kepentinganperkembangan hukum maupun kepentingan pihak yang
bersangkutan.;
d. Mediasi
merupakan salah satu alat penangkal atas kepercayaan social yang rendah
terhadap reputasi hakim. Karena penyelesaian meditasi ditentukan oleh
pihak-pihak, bukan oleh hakim;
e. (e)
Secara berangsur-angsur berperkara di pengadilan dapat lebih diarahkan pada
persoalan-persoalan hukum (bukan nilai perkara) yang kompleks dan mendasar yang
akan mempengaruhi perkembangan hukum, bahkan ilmu hukum termasuk pula mediasi
lebih menonjol pada sengketa-sengketa yang bersifat keperdataan. Namun tidak
menutup kemungkinan dalam perkara pidana pula. Sebagaimana halnya perdamaian
dalam sistem adat-istiadat maupun hukum adat kita, tidak terbatas pada sengketa
perdata. Perdamaian juga lazim dalam perbuatan (perkara) yang bersifat
kepidanaan. Tidak jarang suatu perbuatan yang dapat dipidana diselesaikan
secara kekeluargaan (Goodpaster, 1993 : 7).
Dalam
hal terjadi kematian akibat perkelahian atau pertengkaran, misalnya, perdamaian
terjadi melalui kompensasi terhadap keluarga korban. Kompensasi ini tidak
semata bersifat materiil. Dapat juga bersifat immateriil seperti denda adat, kewajiban
melakukan sesuatu untuk memulihkan keseimbangan magis. Bahkan pernyataan
penyesalan dan permohonan maaf yang tulus dan diterima oleh keluarga korban
tidak jarang menjadi dasar perdamaian yang penting. Di masa dahulu, peran
penting mendamaikan dilakukan oleh ketua adat atau kepala adat, kepala kaum
atau kepala-kepala kerabat. Sekarang, dalam praktek perdamaian dilakukan oleh
atau dihadapan kepolisian atau pejabat pemerintah lainnya. Praktek semacam ini tidaklah
bertentangan dengan tujuan atau fungsi hukum seperti fungsi memulihkan
ketenteraman, memelihara perdamaian dalam masyarakat. Karena itu sangat baik
atau tetap dijalankan. Lebih dari itu, upaya Mediasi Sebagai Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan 133 damai semacam ini harus membawa
konsekuensi hukum yaitu menutup perkara begitu dicapai perdamaian. Doktrin yang
mengatakan: sifat pidana tidak hapus sehingga perkara akan tetap diteruskan
walaupun ada perdamaian, mestinya harus dihapuskan. Dapat saja, sifat pidana
tidak hapus, tetapi perdamaian menghilangkan atau menghapus hak menuntut
(memperkarakan). Perdamaian untuk sesuatu perbuatan pidana dapat disebut
sebagai abolisi sosial seperti abolisi yang ada pada Presiden (lazim dimasukkan
sebagai hak preogratif Presiden). Tentu saja ada perbuatan-perbuatan pidana
tertentu yang tertutup untuk diselesaikan secara damai yaitu perbuatan pidana
yang berkaitan dengan keamanan negara (national security) atau kepentingan
nasional (national interest), atau kejahatan terhadap pejabat negara. Meminjam
ajaran Rescoe Pound, (walaupun dalam konteks yang berbeda), kejahatan semacam
ini dapat disebut sebagai kejahatan yang menyangkut public interest, berbeda
dengan social interest (Harahap, 1997:
20).
Bagaimana
dengan korupsi yang merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar? Barangkali
ada baiknya mempergunakan seperti telah
disebutkan diatas pendekatan Roscoe Pound. Selain public interest, Roscoe Pound
membedakan juga antara social interest dan
individual interest. Korupsi yang merugikan negara dapat ditinjau dari
public interest dan social interest. Telah dikemukakan, publik interest
menyangkut kepentingan negara. Korupsi sangat nyata merugikan keuangan negara
sehingga mempunyai sifat kepentingan nasional (national interest). Bahkan
korupsi yang merajalela, dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan dan keamanan
negara (national security). Namun, korupsi juga berkaitan dengan social
interest, yaitu kepentingan rakyat banyak terhadap uang yang di korupsi. Yang
disebut uang negara tidak lain dari uang rakyat. Dari segi kepentingan sosial
(rakyat), bukanlah pemidanaan badan yang menjadi kepentingan utama. Ditinjau
dari kepentingan sosial, pengembalian uang yang dikorupsi akan lebih bermanfaat
untuk menjalankan program yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Disini ada
semacam overlapping bahkan tension antara
public interest dan social interest. Roscoe Pound sendiri mengakui kemungkinan
overlapping atau tension tersebut. Dalam keadaan seperti ini, betapa
penting pilihan sentencing policy baik yang bersifat umum atau khusus. Tanpa
ada kepastian pilihan, maka pemberantasan korupsi akan selalu terombang-ambing
dengan polemik yang berkepanjangan. Dalam praktek peradilan sepanjang terbukti putusan akan sekaligus
meraih dua aspek kepentingan dengan menjatuhi pidana badan dan kewajiban
membayar uang pengganti. Pertanyaannya : Apakah hasil yang dicapai cukup
efektif?. Paling Volume 12 Nomor 2 Juli - Desember 2009 134 tidak ada dua hal
menyangkut efektivitas ini. Pertama, sejauh mana putusan uang pengganti telah
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ketidakefektifan pelaksanaan putusan uang
pengganti terjadi karena kelambanan, maupun kekayaan terpidana telah sangat
berkurang karena telah dialihkan ke pihak atau tempat lain. Kedua, seberapa
banyak, perkara-perkara korupsi yang telah berhasil di bawa ke pengadilan,
untuk mengembalikan kerugian negara. Pengamatan sekilas memberi kesan
kasus-kasus korupsi yang sudah diungkapkan adalah korupsi yang secara langsung
dilakukan oleh kalangan birokrasi. Dari berbagai kasus yang populer, korupsi
yang terungkap dan banyak dibicarakan adalah korupsi yang terjadi setelah
reformasi. Kasus-kasus dugaan korupsi sebelum reformasi nampak makin sulit
diungkap dan seperti disebutkan diatas
kebanyakan dari kalangan birokrasi, sedangkan mereka yang secara nyata
menerima uang yang merugikan negara masih sangat terbatas di Indonesia
(Christoper, 1995 : 9). Bagaimana dengan perbuatan pidana yang semakin
menyangkut social interest (kepentingan orang banyak). Contoh yang menarik
adalah perbuatan pidana pencemaran lingkungan. Kepentingan sosial perkara
semacam ini lebih nyata dibandingkan dengan kepentingan sosial perkara korupsi.
Karena itu, dalam praktek di berbagai negara, tuntutan pencemaran lingkungan
tidak diarahkan pada pemidanaan melainkan pada ganti rugi untuk memulihkan
lingkungan dan memulihkan korban pencemaran. Dalam sistem hukum Indonesia hal
ini dapat digugat berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) atau upaya
perdamaian melalui mediasi. Meskipun pemidanaan dapat disertai tuntutan ganti
rugi atau uang penggantian, tetapi kecenderungan yang lebih kuat adalah
tuntutan ganti rugi. Pemidanaan dilakukan, apabila pencemaran itu berkaitan
dengan national interest yang tidak dapat dipulihkan melalui ganti rugi. Dalam
kaitan mediasi pidana ini, perlu perhatian terhadap konsep pemidanaan
restorative
(restorative justice) yang secara konseptual dicoba dikembangkan di beberapa
negara seperti Canada dan Australia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar