I. Pengertian
Etika Profesi Akuntansi
Etika
dalam bahasa Yunani Kuno disebut sebagai ethikos,
yang berarti bahwa timbul dari kebiasaan. Menurut pengertiannya etika merupakan
sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari
nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standard an penilaian moral. Etika
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan
tanggung jawab. Sedangkan secara metodologi, tidak setiap hal menilai perbuatan
dapat dikatakan sebagai etika. Dalam penerapannya etika memerlukan sikap
kritis, metodis dan sistematis dalam melakukan refleksi, sehingga etika dapat
dikatakan sebagai suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah
tingkah laku manusia. Akan tetapi, berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti
juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Arttinya bahwa,
etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia. Profesi akuntansi
yaitu suatu ilmu yang membahas perilaku manusia terhadap pekerjaan yang
membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus sebagi
Akuntan.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa Etika Profesi Akuntansi adalah suatu ilmu yang membahas
perilaku perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh
pikiran manusia terhadap pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap
suatu pengetahuan khusus sebagai Akuntan.
II.
Perkembangan Etika Profesi Akuntansi
Menurut
Billy, perkebangan Profesi Akuntansi terbagi menjadi empat fase, yang akan
dijelaskan sebagai berikut.
1. Pra
Revolusi Industri
2. Masa
Revolusi Industri tahun 1900
3. Tahun
1900-1930
4. Tahun
1930-sekarang.
1.
Pra
Revolusi Industri
Sebelum revolusi industri, profesi
akuntan belum dikenal secara resmi di Amerika ataupun di Inggris. Namun
terdapat beberapa fungsi dalam manajemen perusahaan yang dapat disamakan dengan
fungsi pemeriksaan.
Misalnya di zaman dahulu dikenal
adanya dua juru tulis yang bekerja terpisah dan independen. Mereka bekerja
untuk menyakinkan bahwa peraturan tidak dilanggar dan merupakan dasar untuk
menilai pertanggungjawaban pegawainya atas penyajian laporan keuangan.
Hasil kerja kedua juru tulis ini
kemudian dibandingkan, dari hasil perbandingan tersebut jelas sudah terdapat
fungsi audit dimana pemeriksaan dilakukan 100%. Tujuan audit pada masa ini
adalah untuk membuat dasar pertanggungjawaban dan pencarian kemungkinan
terjadinya penyelewengan. Pemakai jasa audit pada masa ini adalah hanya pemilik
dana.
2.
Masa
Revolusi Industri Tahun 1900
Sebagaimana pada periode sebelumnya
pendekatan audit masih bersifat 100% dan fungsinya untuk menemukan kesalahan
dan penyelewengan yang terjadi. Namun karena munculnya perkembangan ekonomi
setelah revolusi industri yang banyak melibatkan modal, faktor produksi, serta
organisasi maka kegiatan produksi menjadi bersifat massal.
Sistem akuntansi dan pembukuan pada
masa ini semakin rapi. Pemisahan antara hak dan tanggung jawab manajer dengan
pemilik semakin kentara dan pemilik umumnya tidak banyak terlibat lagi dalam
kegiatan bisnis sehari-hari dan muncullah kepentingan terhadap pemeriksaan yang
mulai mengenal pengujian untuk mendeteksi kemungkinan penyelewengan.
Umumnya pihak yang ditunjuk adalah
pihak yang bebas dari pengaruh kedua belah pihak yaitu pihak ketiga atau
sekarang dikenal dengan sebutan auditor eksternal. Kepentingan akan pemeriksaan
pada masa ini adalah pemilik dan kreditur.
Secara resmi di Inggris telah
dikeluarkan undang-undang Perusahaan tahun 1882, dalam peraturan ini diperlukan
adanya pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksan independen untuk perusahaan
yang menjual saham. Inilah asal mula profesi akuntan secara resmi (formal).
3.
Tahun 1900 – 1930
Sejak tahun 1900 mulai muncul
perusahaan-perusahaan besar baru dan pihak-pihak lain yang mempunyai kaitan
kepentingan terhadap perusahaan tersebut. Keadaan ini menimbulkan perubahan
dalam pelaksanaan tujuan audit. Pelaksanaan audit mulai menggunakan pemeriksaan
secara testing/ pengujian karena semakin baiknya sistem akuntansi/ administrasi
pembukuan perusahaan, dan tujuan audit bukan hanya untuk menemukan
penyelewengan terhadap kebenaran laporan Neraca dan laporan Laba Rugi tetapi
juga untuk menentukan kewajaran laporan keuangan.
Pada masa ini yang membutuhkan jasa
pemeriksaan bukan hanya pemilik dan kreditor, tetapi juga pemerintah dalam
menentukan besarnya pajak.
4.
Tahun
1930 – Sekarang
Sejak tahun 1930 perkembangan
bisnis terus merajalela, demikian juga perkembangan sistem akuntansi yang
menerapkan sistem pengawasan intern yang baik. Pelaksanaan auditpun menjadi
berubah dari pengujian dengan persentase yang masih tinggi menjadi persentase
yang lebih kecil (sistem statistik sampling). Tujuan auditpun bukan lagi
menyatakan kebenaran tetapi menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan
yang terdiri dari Neraca dan Laba Rugi serta Laporan Perubahan Dana. Yang
membutuhkan laporan akuntanpun menjadi bertambah yaitu: pemilik, kreditor,
pemerintah, serikat buruh, konsumen, dan kelompok-kelompok lainnya seperti
peneliti, akademisi dan lain-lain.
Peran besar akuntan dalam dunia
usaha sangat membantu pihak yang membutuhkan laporan keuangan perusahaan dalam
menilai keadaan perusahaan tersebut. Hal ini menyebabkan pemerintah AS mengeluarkan
hukum tentang perusahaan Amerika yang menyatakan bahwa setiap perusahaan
terbuka Amerika harus diperiksa pembukuannya oleh auditor independen dari
Certified Public Accounting Firm (kantor akuntan bersertifikat).
Namun pada tahun 2001 dunia akuntan
dikejutkan dengan berita terungkapnya kondisi keuangan Enron Co. yang
dilaporkannya yang terutama didukung oleh penipuan akuntansi yang sistematis,
terlembaga, dan direncanakan secara kreatif. Para analis pasar mengira bahwa
sukses kinerja keuangan Enron di masa lalu hanyalah hasil rekayasa keuangan
Andersen sebagai auditornya.
Kepercayaan terhadap akuntan mulai
merosot tajam pada awal tahun 2002, hal ini membuat dampak yang sangat besar
terhadap kantor akuntan lain. Untuk mencegah hal yang lebih parah, pemerintah
AS pada saat itu segera mengevaluasi hampir semua kantor akuntan termasuk “the
big four auditors”. Walaupun masih mendapat cacian dari berbagai kalangan, para
akuntan berusaha untuk memulihkan nama mereka, salah satu caranya adalah dengan
mematuhi kode etik akuntan.
III.
Perkembangan
Etika Profesi Akuntansi di Indonesia
Perkembangan
profesi akuntan di Indonesia menurut Olson dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:
1. Periode
Kolonial
2. Periode
Sesudah Kemerdekaan
1.
Periode
Kolonial
Selama masa penjajahan kolonial
Belanda yang menjadi anggota profesi akuntan adalah akuntan-akuntan Belanda dan
beberapa akuntan Indonesia. Pada waktu itu pendidikan yang ada bagi rakyat
pribumi adalah pendidikan tata buku diberikan secara formal pada sekolah
menengah atas sedangkan secara non formal pendidikan akuntansi diberikan pada
kursus tata buku untuk memperoleh ijazah.
2.
Periode
Sesudah Kemerdekaan
Pembahasan mengenai perkembangan
akuntan sesudah kemerdekaan di bagi ke dalam enam periode yaitu:
a.
Periode
I [sebelum tahun 1954]
Pada periode I telah ada jasa
pekerjaan akuntan yang bermanfaat bagi masyarakat bisnis. Hal ini disebabkan
oleh hubungan ekonomi yang makin sulit, meruncingnya persaingan, dan naiknya
pajak-pajak para pengusaha sehingga makin sangat dirasakan kebutuhan akan
penerangan serta nasehat para ahli untuk mencapai perbaikan dalam sistem
administrasi perusahaan. Sudah tentu mereka hendak menggunakan jasa orang-orang
yang ahli dalam bidang akuntansi. Kebutuhan akan bantuan akuntan yang makin
besar itu menjadi alasan bagi khalayak umum yang tidak berpengetahuan dan
berpengalaman dalam lapangan akuntansi untuk bekerja sebagai akuntan.
Padahal, pengetahuan yang dimiliki
akuntan harus sederajat dengan syarat yang ditetapkan oleh pemerintah dan juga
mereka harus mengikuti pelajaran pada perguruan tinggi negeri dengan hasil
baik. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan peraturan dengan undang-undang
untuk melindungi ijazah akuntan agar pengusaha dan badan yang lain tidak
tertipu oleh pemakaian gelar “akuntan” yang tidak sah.
b.
Periode II [tahun 1954 – 1973]
Setelah adanya Undang-Undang No. 34
tahun 1954 tentang pemakaian gelar akuntan, ternyata perkembangan profesi
akuntan dan auditor di Indonesia berjalan lamban karena perekonomian Indonesia
pada saat itu kurang menguntungkan namun perkembangan ekonomi mulai pesat pada
saat dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Mengingat
terbatasnya tenaga akuntan dan ajun akuntan yang menjadi auditor pada waktu
itu, Direktorat Akuntan Negara meminta bantuan kantor akuntan publik untuk
melakukan audit atas nama Direktorat Akuntan Negara.
Perluasan pasar profesi akuntan
publik semakin bertambah yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Undang-undang
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMND) tahun
1967/1968. Meskipun pada waktu itu para pemodal “membawa” akuntan publik
sendiri dari luar negeri kebutuhan terhadap jasa akuntan publik dalam negeri
tetap ada.
Profesi akuntan publik mengalami
perkembangan yang berarti sejak awal tahun 70-an dengan adanya perluasan
kredit-kredit perbankan kepada perusahaan. Bank-bank ini mewajibkan nasabah
yang akan menerima kredit dalam jumlah tertentu untuk menyerahkan secara
periodik laporan keuangan yang telah diperiksa akuntan publik. Pada umumnya,
perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia baru memerlukan jasa akuntan publik
jika kreditur mewajibkan mereka menyerahkan laporan keuangan yang telah
diperiksa oleh akuntan publik.
c.
Periode
III [tahun 1973 – 1979]
M. Sutojo pada Konvensi Nasional
Akuntansi I di Surabaya Desember 1989 menyampaikan hasil penelitiannya
mengenai: Pengembangan Pengawasan Profesi Akuntan Publik di Indonesia, bahwa
profesi akuntan publik ditandai dengan satu kemajuan besar yang dicapai Ikatan
Akuntan Indonesia dengan diterbitkannya buku Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI)
dan Norma Pemeriksaan Akuntan (NPA) dalam kongres Ikatan Akuntan Indonesia di
Jakarta tanggal 30 November – 2 Desember 1973. Dengan adanya prinsip dan norma
ini, profesi akuntan publik telah maju selangkah lagi karena memiliki standar
kerja dalam menganalisa laporan keuangan badan-badan usaha di Indonesia. Dalam
kongres tersebut disahkan pula Kode Etik Akuntan Indonesia sehingga lengkaplah
profesi akuntan publik memiliki perangkatnya sebagai suatu profesi. Dengan
kelengkapan perangkat ini, pemerintah berharap profesi akuntan publik akan
menjadi lembaga penunjang yang handal dan dapat dipercaya bagi pasar modal dan
pasar uang di Indonesia.
Pada akhir tahun 1976 Presiden
Republik Indonesia dalam surat keputusannya nomor 52/1976, menetapkan pasar
modal yang pertama kali sejak memasuki masa Orde Baru. Dengan adanya pasar
modal di Indonesia, kebutuhan akan profesi akuntan publik meningkat pesat.
Keputusan ini jika dilihat dari segi ekonomi memang ditujukan untuk pengumpulan
modal dari masyarakat, tetapi tindakan ini juga menunjukkan perhatian
pemerintah yang begitu besar terhadap profesi akuntan publik.
Menurut Katjep dalam “The
Perception of Accountant and Accounting Profession in Indonesia” yang
dipertahankan tahun 1982 di Texas, A&M University menyatakan bahwa profesi
akuntan publik dibutuhkan untuk mengaudit dan memberikan pendapat tanpa catatan
(unqualified opinion) pada laporan keuangan yang go public atau memperdagangkan
sahamnya di pasar modal.
Untuk lebih mengefektifkan
pengawasan terhadap akuntan publik, pada tanggal 1 Mei 1978 dibentuk Seksi
Akuntan Publik (IAI-SAP) yang bernaung di bawah IAI. Sampai sekarang seksi yang
ada di IAI, selain seksi akuntan publik, adalah seksi akuntan manajemen dan
seksi akuntan pendidik.
Sophar Lumban Toruan pada tahun
1989 mengatakan bahwa pertambahan jumlah akuntan yang berpraktek terus
meningkat sehingga Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan dengan IAI
membuat pernyataan bersama yang mengatur hal-hal berikut:
1) Kesepakatan
untuk pemakaian PAI dan NPA sebagai suatu landasan objektif yang diterima oleh
semua pihak.
2) Kepada
wajib pajak badan dianjurkan agar laporan keuangan diperiksa terlebih dahulu
oleh akuntan publik sebelum diserahkan kepada Kantor Inspeksi Pajak (sekaran
Kantor Pelayanan Pajak). Laporan tersebut akan dipergunakan sebagai dasar
penetapan pajak.
3) Kalau
terjadi penyimpangan etika profesi (professional conduct) oleh seorang akuntan
publik, akan dilaporkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada IAI untuk
diselidiki yang berguna dalam memutuskan pengenaan sanksi.
Kesepakatan ini kemudian dikuatkan
oleh Instruksi Presiden No. 6 tahun 1979 dan Keputusan Menteri Keuangan No.
108/1979 tanggal 27 Maret 1979 yang menggariskan bahwa laporan keuangan harus
didasarkan pada pemeriksaan akuntan publik dan mengikuti PAI. Maksud instruksi
dan surat keputusan tersebut adalah untuk merangsang wajib pajak menggunakan
laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik, dengan memberikan
keringanan pembayaran pajak perseroan dan memperoleh pelayanan yang lebih baik
di bidang perpajakan. Keputusan ini dikenal dengan nama 27 Maret 1979. Ini
merupakan keputusan yang penting dalam sejarah perkembangan profesi akuntan
publik dan sekaligus sebagai batu ujian bagi akuntan publik dan masyarakat
pemakainya.
d.
Periode
IV [tahun 1979 – 1983]
Periode ini merupakan periode suram
bagi profesi akuntan publik dalam pelaksanaan paket 27 Maret. Tiga tahun
setelah kemudahan diberikan pemerintah masih ada akuntan publik tidak
memanfaatkan maksud baik pemerintah tersebut. Beberapa akuntan publik melakukan
malpraktik yang sangat merugikan penerimaan pajak yaitu dengan cara bekerjasama
dengan pihak manajemen perusahaan melakukan penggelapan pajak. Ada pula akuntan
publik yang tidak memeriksa kembali laporan keuangan yang diserahkan oleh
perusahaan atau opini akuntan tidak disertakan dalam laporan keuangan yang
diserahkan ke kantor inspeksi pajak.
e.
Periode
V [tahun 1983 – 1989]
Periode ini dapat dilihat sebagai
periode yang berisi upaya konsolidasi profesi akuntan termasuk akuntan publik.
PAI 1973 disempurnakan dalam tahun 1985, disusul dengan penyempurnaan NPA pada
tahun 1985, dan penyempurnaan kode etik dalam kongres ke V tahun 1986.
Setelah melewati masa-masa suram,
pemerintah perlu memberikan perlindungan terhadap masyarakat pemakai jasa
akuntan publik dan untuk mendukung pertumbuhan profesi tersebut. Pada tahun
1986 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 763/KMK.001/1986
tentang Akuntan Publik. Keputusan ini mengatur bidang pekerjaan akuntan publik,
prosedur dan persyaratan untuk memperoleh izin praktik akuntan publik dan
pendirian kantor akuntan publik beserta sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan
kepada kauntan publik yang melanggar persyaratan praktik akuntan publik.
Dengan keputusan Menteri Keuangan
tersebut dibuktikan pula sekali lagi komitmen pemerintah yang konsisten kepada
pengembangan profesi akuntan publik yaitu dengan mendengar pendapat Ikatan
profesi pada kongres ke VI IAI antara lain mengenai: pengalaman kerja yang
perlu dimiliki sebelum praktik; keharusan akuntan publik fultimer (kecuali
mengajar); izin berlaku tanpa batas waktu; kewajiban pelaporan berkala
(tahunan) mengenai kegiatan praktik kepada pemberi izin; pembukaan cabang harus
memenuhi syarat tertentu; izin diberikan kepada individu bukan kepada kantor;
pencabutan izin perlu mendengar pendapat dewan kehormatan IAI; pemohon harus
anggota IAI; pengawasan yang lebih ketat kepada akuntan asing.
Pada tahun 1988 diterbitkan
petunjuk pelaksaan keputusan Menteri Keuangan melalui Keputusan Direktur
Jenderal Moneter No. Kep.2894/M/1988 tanggal 21 Maret 1988. Suatu hal yang
mendasar dari keputusan tersebut adalah pembinaan para akuntan publik yang
bertujuan:
1. Membantu
perkembangan profesi akuntan publik di Indonesia
2. Memberikan
masukan kepada IAI atau seksi akuntan publik mengenai liputan yang dikehendaki
Departemen Keuangan dalam program pendidikan
3. Melaksanakan
penataran bersama IAI atau IAI-seksi akuntan publik mengenai hal-hal yang
dianggap perlu diketahui publik (KAP), termasuk mengenai manajemen KAP.
4. Mengusahakan
agar staf KAP asing yang diperbantukan di Indonesia untuk memberi penataran
bagi KAP lainnya melalui IAI atau IAI-Seksi Akuntan Publik dan membantu
pelaksanaannya
5. Memantau
laporan berkala kegiatan tahunan KAP
Sebelum diterbitkan Keputusan
Direktur Jenderal Moneter tersebut, pada tahun 1987 profesi akuntan publik
telah mendapatkan tempat terhormat dan strategis dari pemerintah yaitu dengan
dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
859/KMK.01/1987 tentang Emisi Efek melalui Bursa yang telah menentukan bahwa:
1. Untuk
melakukan emisi efek, emiten harus memenuhi persyaratan, antara lain: mempunyai
laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan public / akuntan negara
untuk dua tahun buku terakhir secara berturut-turut dengan pernyataan pendapat
“wajar tanpa syarat” untuk tahun terakhir.
2. Laporan
keuangan emiten untuk dua tahun terakhir tersebut harus disusun sesuai dengan
PABU di Indonesia disertai dengan laporan akuntan publik/ akuntan negara.
3. Jangka
waktu antara laporan keuangan dan tanggal pemberian izin emisi efek tidak boleh
melebihi 180 hari. (M. Sutojo, 1989: 10)
f.
Periode
VI [tahun 1990 – sekarang]
Dalam periode ini profesi akuntan
publik terus berkembang seiring dengan berkembangnya dunia usaha dan pasar
modal di Indonesia. Walaupun demikian, masih banyak kritikan-kritikan yang
dilontarkan oleh para usahawan dan akademisi.
Namun, keberadaan profesi akuntan
tetap diakui oleh pemerintah sebagai sebuah profesi kepercayaan masyarakat. Di
samping adanya dukungan dari pemerintah, perkembangan profesi akuntan publik
juga sangat ditentukan ditentukan oleh perkembangan ekonomi dan kesadaran
masyarakat akan manfaat jasa akuntan publik. Beberapa faktor yang dinilai
banyak mendorong berkembangnya profesi adalah:
1. Tumbuhnya
pasar modal
2. Pesatnya
pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun non-bank.
3. Adanya
kerjasama IAI dengan Dirjen Pajak dalam rangka menegaskan peran akuntan publik
dalam pelaksanaan peraturan perpajakan di Indonesia
4. Berkembangnya
penanaman modal asing dan globalisasi kegiatan perekonomian
Pada awal 1992 profesi akuntan
publik kembali diberi kepercayaan oleh pemerintah (Dirjen Pajak) untuk
melakukan verifikasi pembayaran PPN dan PPn BM yang dilakukan oleh pengusaha
kena pajak. Sejalan dengan perkembangan dunia usaha tersebut, Olson pada tahun
1979 di dalam Journal Accountanty mengemukakan empat perkembangan yang harus
diperhatikan oleh profesi akuntan yaitu:
1. Makin
banyaknya jenis dan jumlah informasi yang tersedia bagi masyarakat
2. Makin
baiknya transportasi dan komunikasi
3. Makin
disadarinya kebutuhan akan kualitas hidup yang lebih baik
4. Tumbuhnya
perusahaan-perusahaan multinasional sebagai akibat dari fenomena pertama dan
kedua.
Konsekuensi perkembangan tersebut
akan mempunyai dampak terhadap perkembangan akuntansi dan menimbulkan:
1. Kebutuhan
akan upaya memperluas peranan akuntan, ruang lingkup pekerjaan akuntan publik
semakin luas sehingga tidak hanya meliputi pemeriksaan akuntan dan penyusunan
laporan keuangan.
2. Kebutuhan
akan tenaga spesialisasi dalam profesi, makin besarnya tanggung jawab dan ruang
lingkup kegiatan klien, mengharuskan akuntan publik untuk selalu menambah
pengetahuan.
3. Kebutuhan
akan standar teknis yang makin tinggi dan rumit, dengan berkembangnya teknologi
informasi, laporan keuangan akan menjadi makin beragam dan rumit.
Pendapat
yang dikemukakan Olson tersebut di atas cukup sesuai dan relevan dengan fungsi
akuntan yang pada dasarnya berhubungan dengan sistem informasi akuntansi. Dari
pemaparan yang telah dikemukakan, profesi akuntan diharapkan dapat
mengantisipasi keadaan untuk pengembangan profesi akuntan di masa yang akan
datang
IV.
Prinsip-Prinsip Etika Profesi Akuntasi
Prinsip perilaku profesional seorang
akuntan, yang tidak secara khusus dirumuskan oleh Ikatan Akuntan Indonesia
tetapi dapat dianggap menjiwai kode perilaku IAI, berkaitan dengan
karakteristik tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang akuntan.
Prinsip
etika yang tercantum dalam kode etik akuntan Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
Tanggung
Jawab profesi
Dalam
melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus
senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan
yang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam
masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab
kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu
bertanggungjawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan
profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung
jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota
diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.
2.
Kepentingan
Publik
Setiap anggota
berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik,
menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme.
Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada
publik. Profesi akuntan memegang peran yang penting di masyarakat, dimana
publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit,
pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan
pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam
memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini
menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan
publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani
anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah
laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi
masyarakat dan negara. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat
pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi
tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai
tingkat prestasi tersebut. Dan semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati
kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota
harus secara terus menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai
profesionalisme yang tinggi.
3.
Integritas
Untuk memelihara
dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung
jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
Integritas adalah
suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional.
Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan
patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya.
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan
berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan
kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas
dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang
jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
4.
Objektivitas
Setiap anggota
harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam
pemenuhan kewajiban profesionalnya. Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang
memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas
mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual,
tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau
dibawah pengaruh pihak lain. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang
berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi.
Anggota dalam praktek publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta
konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai
seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas
keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan, dan pemerintah. Mereka juga
mendidik dan melatih orang orang yang ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa
dan kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan
memelihara obyektivitas.
5.
Kompetensi
dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota
harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan
ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan
ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa
klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik
yang paling mutakhir. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban
untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung
jawab profesi kepada publik. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan
pengalaman. Anggota seharusnya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian
atau pengalaman yang tidak mereka miliki. Kompetensi menunjukkan terdapatnya
pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang
memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan
kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau
perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada
pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung jawab untuk menentukan
kompetensi masing masing atau menilai apakah pendidikan, pedoman dan
pertimbangan yang diperlukan memadai untuk bertanggung jawab yang harus
dipenuhinya.
6.
Kerahasiaan
Setiap anggota
harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa
profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa
persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk
mengungkapkannya. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi
yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan bahwa terdapat panduan
mengenai sifat sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai
keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional
dapat atau perlu diungkapkan. Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati
kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui
jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan
setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.
7.
Perilaku
Profesional
Setiap anggota
harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi
tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah
laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai
perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang
lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.
8.
Standar
Teknis
Setiap anggota
harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar
profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati,
anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa
selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
Standar teknis
dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang
dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of
Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.
V.
Basis Teori Etika
1.
Etika
Teleologi
Teleologi
berasal dari bahasa Yunani yaitu telos yang memiliki arti tujuan. Dalam hal mengukur baik buruknya
suatu tindakan yaitu berdasarkan tujuan yang akan dicapai atau berdasarkan
akibat yang ditimbulkan dari tindakan yang telah dilakukan.
2. Deontolog
Deontologi
berasal dari bahasa Yunani yaitu deon yang memiliki arti kewajiban. Jika
terdapat pertanyaan “Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak
karena buruk?”. Maka Deontologi akan menjawab “karena perbuatan pertama menjadi
kewajiban kita dank arena perbuatan kedua dilarang”. Pendekatan deontologi
sudah diterima oleh agama dan merupakan salah satu teori etika yang penting.
3.
Teori
Hak
Dalam
pemikiran moral saat ini, teori hak merupakan pendekatan yang paling banyak
dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori
hak ini merupaka suatu aspek dari teori deontologi karena berkaitan dengan
kewajiban. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia
adalah sama. Oleh karena itu, hak sangat cocok dengan suasana pemikiran
demokratis.
4.
Teori
Keutamaan ( Virtue )
Dalam
teori keutamaan memandang sikap atau akhlak seseorang. Keutamaan bisa
didefinisikan sebagai disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan
memungkinkan seseorang untuk bertingkah laku baik secara moral. Contoh sifat
yang dilandaskan oleh teori keutamaan yaitu kebijaksanaan, keadilan, suka
bekerja keras dan hidup yang baik.
VI.
Perbedaan
Etika Profesi Akuntansi dengan Etika Profesi Lain
Etika Profesi Akuntan Public dan Akuntansi Lainnya
ETIKA PROFESI Profesi akuntansi merupakan sebuah profesi yang menyediakan jasa
atestasi maupun non atestasi kepada masyarakat dengan dibatasi kode etik yang
ada. Jenis Profesi yang ada antara lain:
1. Akuntan
Publik Akuntan publik merupakan satu-satunya profesi akuntansi yang menyediakan
jasa audit yang bersifat independen. Yaitu memberikan jasa untuk memeriksa,
menganalisis, kemudian memberikan pendapat / asersi atas laporan keuangan
perusahaan sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.
2. Akuntan
Manajemen Akuntan manajemen merupakan sebuah profesi akuntansi yang biasa
bertugas atau bekerja di perusahaan-perusahaan. Akuntan manajemen bertugas
untuk membuat laporan keuangan di perusahaan
3. Akuntan
Pendidik Akuntan pendidik merupakan sebuah profesi akuntansi yang biasa
bertugas atau bekerja di lembaga-lembaga pendidikan, seperti pada sebuh
Universitas, atau lembaga pendidikan lainnya. Akuntan manajemen bertugas
memberikan pengajaran tentang akuntansi pada pihak – pihak yang membutuhkan.
4. Akuntan
Internal Auditor internal adalah auditor yang bekerja pada suatu perusahaan dan
oleh karenanya berstatus sebagai pegawai pada perusahaan tersebut. Tugas audit
yang dilakukannya terutama ditujukan untuk membantu manajemen perusahaan tempat
dimana ia bekerja.
5. Konsultan
SIA / SIM Salah satu profesi atau pekerjaan yang bisa dilakukan oleh akuntan
diluar pekerjaan utamanya adalah memberikan konsultasi mengenai berbagai hal
yang berkaitan dengan sistem informasi dalam sebuah perusahaan.Seorang
Konsultan SIA/SIM dituntut harus mampu menguasai sistem teknologi komputerisasi
disamping menguasai ilmu akuntansi yang menjadi makanan sehari-harinya.
Biasanya jasa yang disediakan oleh Konsultan SIA/SIM hanya pihak-pihak tertentu
saja yang menggunakan jasanya ini.
6. Akuntan
Pemerintah Akuntan pemerintah adalah akuntan profesional yang bekerja di
instansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan pemeriksaan terhadap
pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi dalam
pemerintah atau pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit
organisasi dalam pemerintah atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan
kepada pemerintah. Meskipun terdapat banyak akuntan yang bekerja di instansi
pemerintah, namun umumnya yang disebut akuntan pemerintah adalah akuntan yang
bekerja di Badan Pengawas Keuangan dan Pembagian (BPKP) dan Badan Pemeriksa
Keuangan (BAPEKA), dan instansi pajak.
VII.
Kasus
Pelanggaran Etika Profesi Akuntansi
Kasus
Mulyana W Kusuma
Kasus ini
terjadi sekitar tahun 2004. Mulyana W Kusuma sebagai seorang anggota KPU diduga
menyuap anggota BPK yang saat itu akan melakukan audit keuangan berkaitan
dengan pengadaan logistic pemilu. Logistic untuk pemilu yang dimaksud yaitu
kotak suara, surat suara, amplop suara, tinta, dan teknologi informasi. Setelah
dilakukan pemeriksaan, badan dan BPK
meminta dilakukan penyempurnaan laporan. Setelah dilakukan penyempurnaan laporan, BPK sepakat bahwa
laporan tersebut lebih baik daripada sebelumnya, kecuali untuk teknologi
informasi. Untuk itu, maka disepakati bahwa laporan akan diperiksa kembali satu
bulan setelahnya. Setelah lewat satu bulan, ternyata laporan tersebut belum
selesai dan disepakati pemberian waktu tambahan. Di saat inilah terdengar kabar
penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana ditangkap karena dituduh hendak melakukan
penyuapan kepada anggota tim auditor BPK, yakni Salman Khairiansyah. Dalam
penangkapan tersebut, tim intelijen KPK bekerja sama dengan auditor BPK.
Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama dengan KPK memerangkap upaya
penyuapan oleh saudara Mulyana dengan menggunakan alat perekam gambar pada dua
kali pertemuan mereka. Penangkapan ini menimbulkan pro dan kontra. Salah satu
pihak berpendapat auditor yang
bersangkutan, yakni Salman telah berjasa mengungkap kasus ini, sedangkan
pihak lain berpendapat bahwa Salman
tidak seharusnya melakukan perbuatan tersebut karena hal tersebut telah
melanggar kode etik akuntan.
Analisis :
Dalam
kasus Mulyana W Kusuma, tindakan kedua
belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu
KPU, dapat dinyatakan bahwa tidak etis. Karena, pada kasus tersebut seorang
auditor melakukan komunikasi terhadap pihak yang diperiksa atau pihak penerima
kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada
kasus Mulyana W Kusuma, walaupun hal terbeut dimaksudkan untuk tujuan mulia
seperti yang disebutkan, yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi
di tubuh KPU. Melalui sudut pandang etika profesi, auditor tersebut tampak
tidak bertanggungjawab, yaitu dengan menggunakan jebakan imbalan uang untuk
menjalankan profesinya. Auditor juga tidak punya integritas ketika dalam
benaknya sudah ada pemihakan pada salah satu pihak, yaitu pemberi kerja dengan
berkesimpulan bahwa telah terjadi
korupsi. Melalui sisi independensi dan objektivitas, auditor BPK dapat
dikatakan meragukan karena berdasarkan pada
prinsip hati-hati, auditor BPK telah secara serampangan menjalankan
profesinya. Sebagai seorang auditor BPK seharusnya yang dilakukan adalah bahwa
dengan standar teknik dan prosedur pemeriksaan, auditor BPK harus bisa secara
cermat, objektif, dan benar mengungkapkan bagaimana aliran dana tersebut masuk
ke KPU dan bagaimana dana tersebut dikeluarkan atau dibelanjakan.
Sebenarnya
apabila pihak-pihak yang bersangkutan menggunakan teknik-teknik dan
prosedur-prosedur yang telah diatur oleh profesi akuntan, maka hal-hal yang
dianggap negatif seperti contoh terjadi tindak korupsi pun akan mudah untuk
terungkap dengan sendirinya. Dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa pihak BPK
tampak tidak percaya terhadap kemampuan profesionalnya, sehingga dapat
melakukan cara-cara yang tidak etis.
Dengan
melihat kepada kasus tersebut, maka dapat dijadikan pelajaran bagi seluruh
auditor di Indonesia termasuk BPK agar lebih bertanggung jawab, karena tugas
auditor tersebut khususnya BPK sangatlah berat.
Sumber :
Integritas adalah suatu elemen
karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional, integritas
mengharuskan seorang anggota untuk antara lain bersikap jujur dan berterus
terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa Obyektivitas adalah suatu
kualitas yag memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota, prinsip obyektivitas mengharuskan anggota
bersikap adil, tidak memihak, jujur, secara intelektual, tidak berprasangka,
serta bebas dari benturan kepentingan atau berada dibawah pengaruh pihak lain.
4. Kasus Mulyana W Kusuma
Kasus ini terjadi sekitar tahun 2004. Mulyana
W Kusuma sebagai seorang anggota KPU diduga menyuap anggota BPK yang saat itu
akan melakukan audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic pemilu.
Logistic untuk pemilu yang dimaksud yaitu kotak suara, surat suara, amplop
suara, tinta, dan teknologi informasi. Setelah dilakukan pemeriksaan, badan dan BPK meminta dilakukan penyempurnaan
laporan. Setelah dilakukan penyempurnaan
laporan, BPK sepakat bahwa laporan tersebut lebih baik daripada sebelumnya,
kecuali untuk teknologi informasi. Untuk itu, maka disepakati bahwa laporan
akan diperiksa kembali satu bulan setelahnya. Setelah lewat satu bulan,
ternyata laporan tersebut belum selesai dan disepakati pemberian waktu tambahan.
Di saat inilah terdengar kabar penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana ditangkap
karena dituduh hendak melakukan penyuapan kepada anggota tim auditor BPK, yakni
Salman Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut, tim intelijen KPK bekerja sama
dengan auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama dengan KPK
memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana dengan menggunakan alat
perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka. Penangkapan ini menimbulkan pro
dan kontra. Salah satu pihak berpendapat auditor yang bersangkutan, yakni Salman telah berjasa
mengungkap kasus ini, sedangkan pihak lain
berpendapat bahwa Salman tidak seharusnya melakukan perbuatan tersebut
karena hal tersebut telah melanggar kode etik akuntan.
Sumber: