CHANNEL
Disudut pinggir jalan
sekitar bundaran HI sedang duduk seorang pria yang berperawakan kurus dengan wajah
yang lesu. Pria itu berkemeja biru langit membawa sebuah map cokelat. Wajahnya
berkeringat, menandakan kelelahan yang teramat mendalam. Dia juga memegang
sebuah plastik yang berisi es teh manis yang sudah hampir habis. Pria itu
bernama Ibra.
Ibra
Hari
ini aku bersiap-siap untuk wawancara disebuah perusahaan akuntan publik yang
sudah terkenal di Indonesia. Aku mepersiapkan diriku semaksimal mungkin agar
lebih terlihat menarik. Telah kupersiapkan kemeja biru ini dengan sepatu
pantofel. Aku semir sepatu ini sampai mengkilat. Hari ini aku siap untuk
menghadapi wawancara kali ini.
Wawancara
ini bukan pertama kalinya bagiku. Penolakkan pertama itu sudah menajadikan
pelajaran yang teramat berharga. Aku terlalu menyepelakan sehingga aku ditolak.
Penolakkan itu membuat aku sangat sakit hati, apalagi dengan perkataan pihak
HRD-nya. Saat itu ia mengatakan, “apa yang kau punya? Apa latar pendidikkan
anda? Siapakah yang membawa anda kesini?”. Pertanyaannya yang terakhir itu yang
membuat aku sakit hati. Aku hanya menjawab dengan tenang “tidak ada pak, saya
melamar kerja disini karena keinginan saya sendiri. Karena saya merasa saya
memiliki kemampuan untuk bergabung di perusahaan ini”. Pihak HRD hanya mempersilakan saya untuk
keluar sambil menunggu kabar pengumuman penerimaan.
Aku
duduk di kursi pajang dengan beberapa orang pelamar. Disana aku berkenalan
dengan seorang pria. Dia menanyakan hal yang sama dengan pihak HRD, siapa yng
membawa saya kesini. Tapi dengan penuh percaya diri yang tinggi saya mengatakan
tidak ada yang membawa saya. Lalu dia mengatakan bahwa diterima di perusahaan
ini tanpa ada “channel” itu hal yang sangat tidak mungkin. Kemungkinan besar
saya tidak akan diterima. Saya tidak
terlalu memperdulikan hal itu, bagi saya bekal pendidikan yang saya dapatkan
sudah cukup dan saya optimis pasti saya akan diterima.
Seorang
wanita paruh baya keluar dari ruangan HRD, dia keluar dengan membawa map
berwarna biru. Dia keluar dengan wajah yang sedikit agak menyeramkan, bagiku.
Tapi batin ku tetap optimis aku pasti
akan diterima. Dia mengatakan bahwa dari 50 orang pelamar hanya 10 orang yang
hanya diterima. Aku tetap yakin dalam hati pasti akan diterima. Tetapi sampai
nama ke-9 nama ku belum disebut juga. Nama yang terakhir disebut, kali ini rasa
percaya diriku runtuh, jantung ku berdebar kencang, keringatku mengalir deras,
kaki ku semakin kaku. Tibalah nama ke-10 disebutkan, tapi nama ku tak juga
disebut. Kali aku serasa dunia seakan runtuh, petir serasa menyambar ku di
siang hari bolong. Aku duduk terkulai lemas. Tapi aku sangat terkejut saat
mengetahui teman yang tadi berkenalan denganku diterima. Dia memang punya
“channel” di perusahaan ini. Padahal latar pendidikkan dia jauh dari diriku.
Aku merasa hidup ini tak adil, kenapa dunia ini sangat tidak berpihak kepadaku.
Tapi aku masih tidak putus asa, pasti masih ada perusahaan yang memiliki
keadilan. Lain kali aku pasti bisa membuat mereka kagum dengan kemampuan yang
aku miliki.
Dengan
setelan kemeja biru dan sepatu pantofel yang telah aku semir, aku mantap
memasuki kantor akuntan publik ini. Aku tetap melamar pekerjaan walaupun tak
memliki “channel” lagi. Aku tidak setuju dengan pola penerimaan kerja di
Indonesia, yang masih saja menerapkan pola KKN. Didalam hati aku selalu
berpikir kenapa di zaman yang modern ini masih saja menerapkan praktek
kecurangan. Untuk apa kita bersekolah setinggi-tingginya kalau ternyata saat
melamar pekerjaan kita harus juga ditentukan oleh “orang dalam”.
Gedung
akuntan publik ini berada disekitar kawasan bundaran Hotel Indonosia. Sebuah
kawasan yang tergolong elite di kawasan Jakarta. Gedung ini berlantai 25,
tempat pelamaran bagi karyawan baru berada di lantai 5. Tempatnya berada di
ujung lorong lantai 5 ini. Di sekitar lorong terdapat beberapa lukisan yang
terlihat sangat artistik dan pohon- pohon hias yang disusun rapi sepanjang
koridor. Saat memasuki ruangan tersebut ada meja dan kursi yang ditempati oleh
seorang wanita cantik yang mengenakan kemeja berwana merah dilengkapi dengan
blazer dan rok hitam. Wanita itu terlihat sangat ramah, dia mempersilakan kami
untuk duduk mengantri di bangku panjang tersebut sambil menunggu giliran untuk
dipanggil. Aku saat itu mendapat giliran ke 8. Mengetahui mendapat urutan ke-8
aku sangat senang, karena terus terang sangat senang mendengarnya. Karena nomor
itu adalah angka hoki bagiku, walaupun sebenarnya aku tidak terlalu mempercayai
mengenai mitos-mitos. Tapi selama ini aku selalu beruntung dengan angka
tersebut.
Aku
kembali mendapat kenalan disana. Seorang wanita yang berpenampilan menarik,
kami berbincang-bincang mengenai pengalaman yang telah kami miliki. Ternyata
dia adalah seorang akuntan lulusan universitas negeri dengan lulus sebagai Cum Laude. Pegalaman yang kami miliki
hampir sama, aku pun juga lulusan dari universitas negeri ternama di Indonesia,
juga Cum
Laude. Aku adalah mahasiswa dengan lulusan terbaik di unversitas ku. Hal
itu yang membuat kepercayaan diriku semakin tinggi. Dia lalu bertanya padaku,
hal yang sama pernah ditanyakan oleh pihak HRD dan lelaki yang aku temui pada
saat wawancara pertama ku, “siapa yang mebawa anda kesini?”. Aku sudah terlalu
muak dengan pertanyaan itu, rasanya aku ingin menutup telingaku saat mendengar
pertanyaan itu. Tapi dengan mantap aku mengatakan “aku membawa latar
pendidikkan ku kesini”. Wanita itu hanya tersenyum mendengar ucapanku. Dia lalu
beranjak pergi, karena nama nya sudah dipanggil untuk di wawancara. Aku duduk
sambil membolak-balik berkas yang aku masukkan ke amplop cokelat ini. Aku
tersenyum sendiri dan berkata dalam hati “aku
bisa membuat kalian terkagum-kagum padaku”.
Kini
tiba giliranku dipanggil untuk wawancara. Aku berdiri tegak memegang amplop
cokelat ini dengan erat. Aku tersenyum kepada wanita berkemeja merah yang
memanggilku. Saat memasuki ruangan aku mengetuk pintu, lalu membuka perlahan
sambil memberikan salam kepada dua orang yang duduk di kursi dan meja panjang dihadapannya. Mereka
berpenampilan rapi, sambil memegang sebuah kertas dan pulpen. Salah satu dari
mereka adalah seorang lelaki paruh baya yang memiliki wajah teduh dan sangat
berwibawa, beliau mengenakan kacamata yang sepertinya sengaja ditaruh dibawah
hidungnya. Dengan melihat sambil menundukkan kepala dia tersenyum dan
mepersilakan aku masuk. Tahap pertama beliau menanyakan nama dan latar belakang
pendidikkan ku. Dia sangat terkesan dengan prestasi yang aku raih. Beliau juga
terkagum-kagum dengan nilai Indeks Prestasi yang aku miliki dan berkata,
“ternyata kau sangat jenius”. Mendengar ucapan itu aku sangat merasa tinggi,
aku percaya pasti aku akan diterima. Lalu dia bertanya “ apakah kau punya
kenalan disini? Maksud saya apa ada yang membawa anda kesini? Lalu apa
kemampuan yang anda miliki?”. Lagi dan lagi aku harus mendengar ucapan itu
untuk kesekian kalinya, akhirnya aku geram dan berkata, “saya disini datang
dengan membawa latar pendidikkan yang saya miliki, saya hanya membawa otak yang
saya miliki dan segudang prestasi”, bentakku. Belum sempat aku melanjutkan
ucapanku, lelaki tua itu menyela pembicaraanku, “baik saya sudah dapat
mengambil kesimpulan dari sedikit pertanyaan yang saya ajukan. Sebenarnya saya
hanya ingin mengetes anda. Tidak ada maksud apa-apa dari pertanyaan ‘siapa yang
membawa anda’ saya ingin mengetes kepribadian anda, sopan santun anda. Saya
sangat tertarik dengan prestasi anda dibidang pendidikkan. Awalnya saya merasa
kalau anda adalah orang yang tepat ntuk mengisi jabatan di kantor kami. Akan
tetapi yang kami perlukan bukanlah sekedar orang yang pintar, melainkan orang
yang juga pintar dalam memposisikan dirinya dan memiliki kepribadian yang baik.
Apalah arti pendidikkan yang tinggi, nilai yang mengagumkan, prestasi yang
banyak, jika kepribadian kurang, apalagi tidak dapat mengontrol emosi. Baik
saya rasa cukup wawancara anda kali ini, silakan tinggalkan ruangan ini, terima
kasih.” Lelaki paruh baya itu mempersilakan saya keluar sambil menyunggingkan
senyum tipisnya yang terasa agak sinis bagiku.
Aku
keluar dari ruangan itu, perasaanku sangat campur aduk saat itu. Rasa emosi
lebih mempengaruhi pikiranku saat itu. Aku tidak habis pikir kenapa dia berkata
seperti itu. Apa yang salah dengan ucapanku, toh benar untuk apa memiliki
‘orang dalam’ kalau ternyata aku memiliki otak diatas rata-rata. Sumpah serapah
keluar dari bibirku, “perusahaan macam apa ini? Apa ini yang disebut perusahaan
terbaik? Kalian pikir aku tida bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari
tempat ini. Aku punya otak diatas rata-rata, prestasiku banyak”, aku sedikit
berteriak. Dan tak terasa. Bruuk. Aku
menabrak wanita tua yang sedang membawa tas lumayan agak besar. Karena sedang
dipengaruhi rasa emosi aku memarahi wanita tua itu. Tapi apa yang aku dapatkan,
wanita itu balik menasehatiku, “Hei anak muda yang pintar, yang memliki
prestasi yang tinggi, begini cara kau memperlakukan orang yang lebih tua,
walaupun aku tau bukan sepenuhnya diriku yang bersalah tapi aku meminta maaf.
Pantas saja sampai sekarang kau sulit mendapat pekerjaan, bahkan pekerjaanpun
tak mau menerima kau. Sopan santun kau tidak ada, kepribadian kau minus. Kau
pertahankan saja sikapmu angkuhmu itu anak muda”. Wanita itu berlalu begitu
saja, aku hanya berdiri diam menatap nya pergi dan hanya melihat punggungya
yang semakin jauh pergi menyusuri jalan. Kakiku lemas, seperti ada tamparan
keras dipipiku saat ini. Aku berjalan lemas menuju pedagang di ujung jalan
dekat halte Trans Jakarta. Disana aku duduk sambil sedikit menyeruput minuman
yang baru saja aku beli, kata-kata wanita tua seperti sebuah tamparan yang
teramat keras dan menyadarkan diriku atas kesalahan yang telah aku perbuat. Tak
terasa aku hampir menghabiskan minumanku, mungkin karena terlalu terkejut
sehingga aku merasa sangat dehidrasi. Aku tertegun menatap orang-orang yang
berlalu lalang dihadapanku. Perkataan wanita tadi menyadarkan ku akan sebuah
arti kesabaran, menyadarkan aku mengenai sopan santun. Kali ini aku sadar
pendidikkan yang tinggi dan prestasi yang banyak bukanlah satu-satunya hal yang
penting atau tolak ukur kau didalam masyarakat. Hal itu hanyalah sebuah status,
harusnya aku yang mengaku orang yang berpendidikkan lebih dapat mengontrol
emosiku, menjaga tutur kataku. Mungkin mereka yang mudah mendapat pekerjaan,
bukan karena pendidikkan mereka yang tinggi atau hanya karena mereka memiliki
‘channel’ di perusahaan itu. Tapi mereka memiliki sebuah faktor keberuntungan
dan juga memiliki kepribadian yang menarik. Aku menyadari jika kita memiliki
kepribadian yang menarik msyarakat pun akan menerima kita dengan baik pula,
diriku terlalu dipenuhi dengan kesombongan. Aku tersadar dan sangat berterima
kasih pada Tuhan karena lewat wanita itu aku menyadari akan pentingnya rendah
hati dan kesabaran. Tekadku kembali bulat, aku akan kembali melamar pekerjaan,
kali ini aku memperbaiki diriku kembali.