A.
Perkembangan
Industri Keuangan Indonesia dalam Menghadapi
Pasar Bebas
Indonesia sejak dahulu telah banyak
mengalami permasalahan-permasalahan yang tentunya bertambah banyak dari hari ke
hari. Selain permasalahan di bidang politik-pemerintah, sosial kemasyarakatan,
hukum dan perundangan, pendidikan dan layanan kesehatan, Indonesia pun
mengalami problematika perekonomian.
Pada tahun 2015 dapat menjadi tahun yang
penuh tantangan bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Bagaimana tidak? ASEAN,
organisasi regional yang menyatukan negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini
mengumumkan bahwa Asean Economic Community (AEC) akan diberlakukan pada tahun
2015, ini menjadikan kawasan ASEAN sebagai pasar tunggal dan kesatuan yang
berbasis produksi, dimana mobilitas arus barang, jasa, investasi, modal dan
tenaga kerja terampil akan bergerak bebas antar negara-negara yang tergabung
dalam negara ASEAN. Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN memiliki
tingkat integritas yang tinggi di bidang elektronik dan keunggulan komparatif
pada sektor yang berbasis sumber daya alam. Permasalahan yang muncul adalah
masih lemahnya kesiapan Indonesia, antara lain dalam bidang infrastruktur, daya
saing barang dan jasa, belum optimalnya diplomasi dalam bidang ekonomi dan
perdagangan dan kebijakan dalam perdagangan yang belum mendukung. Untuk
mendukung peningkatan iklim investasi dan perdagangan serta meningkatkan daya
saing nasional, berbagai upaya telah dilakukan baik secara internal Indonesia
dengan diterbitkannya Inpres No. 11 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen
Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, maupun eksternal berkoordinasi dengan
negara ASEAN. Namun hal ini masih memerlukan suatu mekanisme pengawasan untuk
mengawal implementasi dari pada Inpres tersebut dalam rangka mendukung kesiapan
Indonesia secara optimal dalam menghadapi AEC 2015 dan menjamin kepastian
hukum. Dengan kondisi ini maka antisipasi kesiapan Indonesia menghadapi Asean
Economic Community 2015 diharapkan dapat dilaksanakan.
Inti dari AEC adalah membuka luas pasar
arus ekspor-import barang dan jasa ataupun investasi antarnegara ASEAN dimana
permasalahan tarif dan non tarif sudah tidak diberlakukan kembali. Dengan
diberikannya kemudahan untuk bertransaksi antar negara di Asia Tenggara,
diyakini dapat menjadi peluang ataupun tantangan bagi perekenonomian masyarakat
Indonesia. Itulah sebabnya mengapa dengan diberlakukannya MEA ini akan
mempengaruhi perekonomian Indonesia.
Asean Economic Community (AEC) merupakan
kesepakatan yang dibangun oleh sepuluh negara anggota ASEAN. Terutama di bidang
ekonomi dalam upaya meningkatkan perekonomian di kawasan dengan meningkatkan
daya saing di kancah internasional agar ekonomi bisa tumbuh merata, juga
meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan yang paling utama adalah mengurangi
kemiskinan. Konsekuensi dari kesepakatan itu membuka lebar pasar ekonomi di
kawasan regional Asean karenanya, jika ingin terlibat dan diperhitungkan,
Indonesia harus berbenah. Semua sector industry harus dilengkapi kemampuan
untuk bisa bersaing dengan negara ASEAN lainya.
AEC merupakan realisasi dari Visi ASEAN
2020 yaitu untuk melakukan integrasi terhadap ekonomi negara-negara ASEAN
dengan membentuk pasar tunggal dan basis produksi bersama. Menurut Prof
Hermanto Siregar terdapat beberapa konsep dalam AEC yaitu ASEAN Economic
Community, ASEAN Political Security Community, dan ASEAN Socio-Culture
Community.
Ketiga hal tersebut akan direalisasikan
di antara negara-negara anggota ASEAN secara bertahap. Untuk langkah pertama
yang akan direalisasikan adalah AEC pada 2015 mendatang, setidaknya terdapat 5
hal yang akan diimplementasikan yaitu arus bebas barang, arus bebas jasa, arus
bebas investasi, arus bebas modal, dan arus bebas tenaga kerja terampil.
Pada 2015 di antara 10 Negara ASEAN yang
terdiri dari Indonesia, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunai
Darussalam, Philipina, Laos, dan Kamboja, dan Vietnam harus membebaskan 5 hal
di atas untuk menerapkan aturan dari kesepakatan tersebut. Sebelumnya pada
2004, Indonesia bersama ASEAN telah menyepakati perjanjian dengan China yang
dikenal sebagai ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Dengan perjanjian
itu, negara-negara ASEAN dan China harus membebaskan barang-barang masuk.
Dalam pelaksanaan AEC, negara-negara
ASEAN harus memegang teguh prinsip pasar terbuka dan ekonomi yang digerakkan
oleh pasar. Dengan kata lain, konsekuensi diberlakukannya AEC adalah
liberalisasi perdagangan barang, jasa, dan tenaga terampil secara bebas dan tanpa
hambatan tarif dan nontarif.
Rencana pemberlakuan AEC tersebut
dicantumkan dalam Piagam ASEAN yang disahkan pada 2007. Pada tahun tersebut
pula disepakati bahwa pencapaian AEC akan dipercepat dari 2020 menjadi 2015.
Pengesahan AEC sendiri dicantumkan pada pasal 1 ayat 5 Piagam ASEAN dan
diperkuat dengan pembentukan Dewan Area Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free
Trade Council) yang tercantum dalam lampiran I Piagam ASEAN. Itulah dasar hukum
yang mengesahkan terbentuknya ASEAN Economic Community.
Tujuan yang ingin dicapai melalui MEA,
adalah adanya aliran bebas barang, jasa, dan tenaga kerja terlatih, serta
aliran investasi yang lebih bebas. Dalam penerapanya pada 2015, MEA akan
menerapkan 12 sektor prioritas yang disebut free flow of skilled labor (arus
bebas tenaga kerja terampil).
Ke-12 sektor terampil itu adalah untuk
perawatan kesehatan (health care), turisme (tourism), jasa logistic (logistic
services), e-ASEAN, jasa angkutan udara (air travel transport), produk berbasis
agro (agrobased products), barang-barang electronic (electronics), perikanan
(fisheris), produk berbasis karet (rubber based products), tetkil dan pakaian
(textiles and appareles), otomotif (otomotive) dan produk berbasis kayu (wood
based products).
Kesiapan Indonesia dalam menghadapi AEC
2015, antara peluang dan ancaman. Siap atau tidak siap sudah tidak perlu
diperdebatkan lagi karena AEC sudah menjadi keputusan dan ketetapan politik
yang harus dihadapi semua negara ASEAN.
Jika dilihat dari beberapa data tentang
kondisi Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, dalam banyak hal
Indonesia kalah oleh Thailand dan Philipina, apalagi Brunei, Malaysia, dan
Singapura masih tertinggal jauh. Indonesia hanya menang dari luas negara yang
begitu besar, jumlah penduduk yang banyak, dan sumberdaya yang melimpah.
Padahal, Peluang Indonesia untuk
bersaing di pasar bebas Asean 2015 nanti, sebenarnya cukup besar. Paling tidak
bagi Indonesia ada beberapa faktor yang mendukung seperti peringkat Indonesia
yang berada pada rangking 16 dunia dalam besaran skala ekonomi dengan 108 juta
penduduk. Dimana, jumlah penduduk ini merupakan kelompok menengah yang sedang
tumbuh. Sehingga berpotensi sebagai pembeli barang-barang impor (sekitar 43
juta penduduk).
Kemudian perbaikan peringkat investasi
Indonesia oleh lembaga pemeringkat dunia, dan masuknya Indonesia sebagai
peringkat ke 4 prospective destination berdasarkan UNCTAD world investement
report. Dan, pemerintah sendiri telah menerbitkan aturan (keputusan Presiden)
No.37/2014 yang memuat banyak indicator yang harus dicapai dalam upaya untuk
meningkatkan daya saing nasional dan kesiapan menghadapi MEA yang akan dimulai
2015 itu.
Dan awal September lalu diterbitkan juga
inpres No.6/2014, tentang peningkatan daya saing menghadapi Masyarakat Ekonomi
Asean, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan pengembangan sector industry, agar
bisa bersaing di pasar bebas ASEAN itu. Sebut saja upaya pengembangan industry
perbankan yang masuk dalam 10 pengembangan industry yang harus diantar
kegerbang pasar bebas dengan semua keunggulanya .
Setelah diberlakukannya AEC, Indonesia
akan “diserbu” barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil dari
negara ASEAN lainnya sehingga hal ini akan menjadi ancaman yang serius. Atau
sebaliknya Indonesia dapat “menyerbu” negara ASEAN lainnya dengan barang, jasa,
investasi dan tenaga kerja terampil sehingga hal ini menjadi peluang yang besar
bagi kita.
1.1.
Permasalahan yang dihadapi Indonesia
dalam menghadapi MEA
Berikut ini
adalah beberapa permasalah yang menyebabkan Indonesia belum optimal dalam
menghadapi MEA, yaitu :
1. Belum
Padunya Beberapa Peraturan Dalam Mendukung AEC (Regulasi):
a. Adanya
beberapa peraturan perundang-undangan yang belum harmonis, antara lain UU
kehutanan dan UU pertambangan ( masih tumpang tindih). Ketidak harmonisan UU
Kehutanan dan UU Pertambangan menimbulkan ketidak pastian hukum dan usaha,
sehingga para investor enggan untuk melakukan investasi di Indonesia.
b. Masih
terjadinya ketidakharmonisan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat
dalam hal perijinan. Pemerintah Daerah Kabupaten belum seluruhnya membuat
peraturan daerah tentang Wilayah Pertambangan sebagaimana diamanatkan
Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
sehingga setiap perijinan yang telah dikeluarkan baik oleh Pemerintah pusat dan
Pemerintah Daerah selalu terjadi tubrukan dan tidak sinkron.
c. Belum
adanya kepastian hukum yang dapat menjamin pelaksanaan kegiatan AEC. Pemerintah
Indonesia telah menerbitkan Inpres No. 11 tahun 2011 tentang Pelaksanaan
Komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, namun masih memerlukan suatu
mekanisme pengawasan untuk mengawal implementasi Inpres tersebut dalam rangka
mendukung kesiapan Indonesia guna menghadapi AEC 2015 dan menjamin kepastian
hukum. Kecenderungan regulasi antar negara akan mengarah kepada Universal,
sehingga dapat berimplikasi pada timbulnya ancaman dan peluang terhadap
kepentingan nasional.
d. UU
No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, memperluas kesempatan pihak asing
untuk menguasai sektor pertambangan. Dari tahun 1998 sampai 2009 kurang leboh
terdapat 474 UU telah disahkan. Namun dari sekian banyaknya UU, yang dirasakan
paling menyedihkan adalah UU terkait dengan bidang Ekonomi dan Sumber Daya Alam
yang dicirikan sebagai berikut:
1) Hilangnya
campur tangan negara dalam perekonomian diserahkan pada mekanisme pasar.
2) Penyerahan
kekuasaan pada modal besar/asing berkaitan dengan ekspansi dan eksploitasi
sumber daya alam di Indonesia.
3) Perlakuan
diskriminatif terhadap mayoritas usaha rakyat .
2. Belum
Tercapainya Pasar Tunggal dan Basis Produksi
a. Peningkatan
daya saing dan pemanfaatan komitmen AEC. Masih lemahnya daya saing produk dan
jasa dalam rangka menghadapi AEC 2015.
b. Komitmen
AEC untuk Arus barang. Kesiapan Indonesia belum optimal antara lain regulasi
dan pelayanan ( masih dalam penataan) yang disiapkan oleh Direktorat Jenderal
Bea Cukai.
c. Komitmen
AEC untuk arus jasa. Kesiapan Indonesia belum optimal antara lain Regulasi dan
SDM-nya khususnya dibidang jasa keuangan dan perbankan serta jasa non keuangan
dan perbankan (Jasa Profesi Akuntan, Jasa Profesi Penilai, Jasa Profesi
Kontruksi, Jasa Profesi Dokter, Jasa Profesi Hukum Dll).
d. Komitmen
AEC untuk Arus Investasi. Kesiapan Indonesia belum optimal antara lain Regulasi
dibidang investasi (sektor riil) masih ada yang membatasi kepemilikan asing
pada sektor-sektor tertentu.Selain itu kebijakan dalam penanaman modal belum
didukung dengan kebijakan di bidang pembangunan infrastruktur, keamanan dan
perburuhan yang memadai. Dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand yang
belomba-lomba menarik investasi asing dengan menyediakan berbagai infrastruktur
industri, jaminan keamanan dan tingkat upah buruh yang lebih murah, kesiapan
Indonesia masih kurang.
e. Komitmen
AEC untuk Arus Modal. Liberalisasi arus modal di ASEAN dapat mendorong arus
investasi dan perdagangan internasional, penempatan modal yang lebih tepat dan
lebih efisien dan mengembangakan pasar keuangan. Kesiapan Indonesia masih belum
optimal, karena proses regulasi maupun pengawasan masih dalam tahap persiapan
(misalnya pembentukan Otoritas Jasa Keuangan/OJK)
f. Priority
Integration Sectors. 12 Sektor prioritas Integrasi ASEAN meliputi: agro-based
product, air travel, Automotives, e-ASEAN, electronics, fisheries, healthcare,
rubber-based product, textile & apparels, tourism, wood-based products,
logistics. Peranan Indonesia dalam hal ini adalah sebagai koordinator bidang
automotive dan wood-based products.
g. Komitmen
AEC untuk Perdagangan Makanan, Pertanian, dan Kehutanan. Kesiapan Indonesia
belum optimal antara lain belum adanya swasembada pangan yang menyebabkan
Indonesia masih tergantung dengan negara Asean lainnya, padahal dari segi SDA,
luas lahan maupun tenaga kerja, Indonesia sebenarnya lebih unggul.
3. Belum
Tercapainya Wilayah Ekonomi Yang Berdaya Saing Tinggi.
a. Hak
atas kekayaan intelektual. Memperluas ruang lingkup kerjasama hak kekayaan
intelektual ASEAN, selain merek dagang dan paten, termasuk kerjasama pertukaran
informasi dan penegakan hak cipta. Masing-masing anggota ASEAN masih tertinggal
dalam pengembangan intellectual property dibandingkan dengan kawasan lainnya,
hanya Singapura yang Intellectual propertynya paling menonjol. Sedangkan untuk
pengembangan sendiri-sendiri membutuhkan biaya riset yang tinggi dan teknologi
khusus. ASEAN akan bekerjasama dalam bidang ini dengan melindunginya melalui
HAKI. Dengan adanya kerjasama dalam pengembangan hak atas kekayaan intelektual
diharapkan biaya lebih murah sehingga mampu bersaing dengan negara-negara di
belahan dunia lain. Kerjasama dalam pengembangan IPTEK selain merek dagang dan
paten, yaitu know how (metode baru yang belum dikenal publik dan dipatenkan).
1) Kerjasama
di bidang industri pertahanan
2) Kerjasama
di bidang industri farmasi dan fitofarmaka
3) Kerjasama
di bidang industri kimia
4) Kerjasama
di bidang industri logam
5) Kerjasama
di bidang energi
b. Pengembangan
infrastruktur. Kesiapan infrastruktur pendukung sesama negara ASEAN yang belum
seimbang. Negara-negara ASEAN, kecuali Singapura pada umumnya belum sepenuhnya
siap secara infrastruktur
c. Perpajakan.
Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan mengurangi ekonomi biaya tinggi.
Melakukan reformasi di berbagai bidang, seperti perpajakan, kepabeanan dan
birokrasi. Masing-masing anggota ASEAN memiliki kebijakan perpajakan yang
berbeda-beda sehingga tidak harmonis dan dapat mengganggu iklim usaha yang
kondusif. Hal ini dapat menyebabkan double taxation. Saat ini Indonesia telah
memiliki Tax treaty dengan 6 negara ASEAN, sedangkan sisanya belum (Laos,
Myanmar dan Kamboja).
d. Perdagangan
secara elektronik (e-commerce). Kesiapan dan ketersediaan infrastruktur negara
anggota belum mendukung. Negara-negara ASEAN, kecuali Singapura pada umumnya
belum sepenuhnya siap secara infrastruktur.
4. Belum
Tercapainya Kawasan dengan Pembangunan Ekonomi yang Seimbang, yang fokus kepada
Pengembangan Sektor Usaha Kecil dan Menengah. Pengembangan ekonomi yang merata
dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah. Sektor UKM sebagai tulang
punggung perekonomian di negara-negara ASEAN, namun belum sepenuhnya
mendapatkan prioritas dalam kegiatan perekonomian negara, antara lain minimnya
akses ke perbankan untuk mendapatkan kredit modal kerja, Kualitas SDM yang
masih rendah. Kondisi UKM di masing-masing negara anggota umumnya hampir sama.
Dari beberapa permasalahan tersebut,
maka dapat diberikan solusi yang dapat membantu Indonesia dalam menghadapi MEA,
yaitu dantaranya :
1. Memperkuat
dan melakukan harmonisasi regulasi antar sektor; perkebunan dengan badan
pertanahan, Kehutanan dengan pertambangan, Pajak pusat dengan pajak daerah
(Double Taxation), dan yang terkait dengan masalah perijinan.
2. Membuat
peraturan perundang-undangan guna mengawal Inpres tentang Pelaksanaan Komitmen
Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dapat menjamin pelaksanaan kegiatan
AEC.
3. Mengubah
‘mindset’ konsumtif menjadi produktif sehingga kita bisa mengurangi pengeluaran
dan memperbesar pemasukan bagi negara kita.
4. Meningkatkan
‘Competitiveness’ produk yang akan berpengaruh pada ketertarikan konsumen akan
produk yang kita hasilkan dengan kualitas terjamin dan harga yang terjangkau.
5. Diversifikasi
dan peningkatan nilai tambah bahan baku dari sumber daya alam yang melimpah
menjadi produk berorientasi ekspor.
6. ‘Competitiveness’
sumber daya manusia karena kunci dari kemajuan bangsa adalah bukan karena
kekayaan alamnya melainkan SDM yang ada di dalamnya.
7. Mempersiapkan
lulusan perguruan tinggi yang mampu berkompetisi minimal di tingkat ASEAN
(kedepan semua profesi harus memiliki sertifikasi tingkat ASEAN) dan tiap
tenaga profesional memiliki semangat yang tinggi.
8. Mengubah
‘mindset’ pegawai menjadi entrepreneur (pengusaha) sehingga diharapkan akan
muncul pengusaha-pengusaha baru yang dapat menciptakan lapangan kerja dan
memenuhi kebutuhan masyarakat indonesia secara mandiri sehingga tidak
bergantung terhadap negara lain.
Perlu diketahui bahwa pembentukan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 bukanlah sebuah proyek ”mercusuar” tanpa
roadmap yang jelas. MEA 2015 adalah proyek yang telah lama disiapkan seluruh
anggota ASEAN dengan visi yang kuat.
MEA 2015 hanyalah salah satu pilar dari
10 visi mewujudkan ASEAN Community. Kesepuluh pilar visi ASEAN Community tersebut
adalah outward looking, economic integration, harmonious environment,
prosperity, caring societies, common regional identity, living in peace,
stability, democratic, dan shared cultural heritage (Kementerian Luar Negeri,
2014). Dengan kata lain, keliru bila ada anggapan bahwa MEA 2015 adalah ambisi
Indonesia dari pemerintah yang tidak jelas arahnya. Sejak dulu Indonesia memang
sangat aktif memperjuangkan ASEAN sebagai masyarakat yang ”satu”. Ini antara
lain dapat diidentifikasi dari pidato Presiden Soeharto pada pembukaan Sidang
Umum MPR, 16 Agustus 1966 yang mengatakan, ”Indonesia perlu memperluas kerja
sama Maphilindo untuk menciptakan Asia Tenggara menjadi kawasan yang memiliki
kerja sama multisektor seperti ekonomi, teknologi, dan budaya. Dengan terintegrasinya
kawasan Asia Tenggara, kawasan ini akan mampu menghadapi tantangan dan
intervensi dari luar, baik secara ekonomi maupun militer,” CPF Luhulima,
Jakarta Post, 7 Februari 2013. Dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah inisiator
dari terbentuk integrasi kawasan ASEAN. Hanya, perjalanan setiap negara dalam
mempersiapkan diri untuk menghadapi ASEAN yang terintegrasi ini berbeda- beda.
Ada negara yang dengan cepat bisa mempersiapkan diri, namun ada juga negara
yang terlambat. Karakteristik, ukuran ekonomi, dan permasalahan yang dihadapi
setiap negara yang berbeda juga turut memengaruhi kecepatan setiap negara dalam
mempersiapkan diri menghadap MEA 2015. Singapura adalah negara ASEAN yang dapat
dikatakan paling siap menghadapi MEA 2015. Meski tidak yang paling tertinggal,
Indonesia masih perlu kerja ekstra untuk menghadapi MEA 2015 ini. Ini mengingat
dalam beberapa hal strategis, Indonesia relatif tertinggal.
Jika melihat daya saing Indonesia dengan
negara-negara ASEAN lainnya, negara kita termasuk tertinggal. Walaupun Indonesia
merupakan negara terbesar di ASEAN yang dilihat dari segi wilayahnya, jumlah
penduduk, maupun ukuran ekonominya. Akan tetapi dari segi kualitas, terutama
daya saing Indonesia tertinggal jauh khususnya dengan negara Singapura,
Malaysia dan Thailand. Contohnya adalah dalam bidang ekspor, Indonesia relative
tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lainnya, terutama kaitannya dengan
nilai tambah produk ekspor. Komposisi ekspor kita terbesar didominasi komoditas
(resource based) dan barang primer (primary product). Kondisi ini menyebabkan
ekspor Indonesia rentan dengan gejolak harga. Hal ini pula yang saat ini kita
rasakan, ekspor kita melemah akibat pelemahan perekonomian dunia yang
menyebabkan harga komoditas dunia juga ikut menurun. Berbeda dengan Singapura,
Malaysia, dan Thailand, sebagian besar ekspornya didominasi oleh produk-produk
yang telah disentuh teknologi (medium and high tech product). Kondisi
infrastruktur kita juga relatif tertinggal.
Posisi dan daya saing industri logistik
Indonesia bahkan kalah dibanding Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina dan
hanya unggul terhadap Myanmar dan Kamboja. Indonesia pasar ekonomi yang besar.
Kelas menengah Indonesia semakin bertambah. PDB per kapita Indonesia sudah
mendekati USD5.000, yang berarti daya beli masyarakat kita yang cukup tinggi.
Tingginya daya beli ini akan menjadi bumerang bagi ”neraca ekonomi” kita bila
daya saing dan kesiapan infrastruktur kita tidak segera dibenahi dalam
menghadapi MEA 2015 ini. Ekspor kita menjadi kurang bersaing karena nilai
tambahnya rendah. Di sisi lain, Indonesia akan menjadi pasar barang dan jasa
impor yang empuk, sementara nilai tambah dari barang dan jasa impor tersebut
bagi kita sangat kecil. Saat ini dampak dari rendahnya daya saing kita tersebut
sudah terasa. Sejak 2012 neraca perdagangan kita telah defisit. Sementara
neraca jasa kita sejak dulu tidak mengalami perbaikan, dalam arti selalu
defisit. Tingginya pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia dalam satu dekade
ini menyebabkan demand masyarakat kita meningkat. Sayangnya, karena lemah struktur
industri kita, demand masyarakat tersebut tidak bisa dipenuhi industri
domestik, melainkan harus diimpor. Ketika ekspor booming, kita juga tidak bisa
memaksimalkan nilai tambahnya. Ekspor komoditas dan barang primer harus
diangkut melalui pelabuhan dan menggunakan kapal. Sayangnya, karena
ketidaksiapan infrastruktur pelabuhan dan kapal kita, terpaksa ekspor tersebut
harus dilakukan di pelabuhan negara tetangga dan diangkut dengan kapal
berbendera asing. Tidak hanya itu, asuransi angkutannya pun harus dengan
perusahaan asuransi asing sehingga neraca jasa kita mengalami defisit.
Indonesia negara dengan penduduk yang besar. Kebutuhan energinya juga besar
seiring pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Pada 2012 kebutuhan minyak kita
mencapai 73 juta ton, terbesar kelima di Asia. Sayangnya, karena kapasitas
infrastruktur kilang minyak yang tidak cukup, setiap tahun impor BBM kita terus
meningkat. Indonesia kini telah menjadi importir premium (gasoline) terbesar di
dunia. Sekitar 30 persen kebutuhan BBM domestik harus dipenuhi dari impor.
Negara yang memiliki infrastruktur kilang minyak diuntungkan dengan posisi
Indonesia ini. Siapa itu? Salah satunya Singapura karena memiliki kilang minyak
dengan kapasitas yang besar sehingga bisa mengekspor BBM-nya, termasuk ke
Indonesia.
Saat ini kebijakan yang telah diambil
oleh Indonesia adalah dengan menghilangkan subsidi BBM dialihkan ke anggaran
investasi, infrastruktur, dan penguatan industri manufaktur. Semoga dengan
langkah tersebut dapat engejar ketertinggalan daya saing kita. Walaupun saat
ini kita telah memasuki MEA 2015, kita tidak tertinggal dan dapat bersaing
dalam MEA ini.
Pertanyaannya, apakah Indonesia akan
diuntungkan atau semakin dirugikan dengan kesepakatan dalam MEA? Mengapa
menguntungkan dan faktor apa saja yang menyebabkan Indonesia berpeluang
mendapat keuntungan? Apa dampak negatifnya dan bagaimana strategi untuk
meminimalkan dampak negatifnya? Tentunya hal ini penting untuk dijawab sebelum
Indonesia membuat berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi yang sampai saat
ini bahkan jauh lebih agresif dibanding negara-negara lain. Data menunjukkan
paska liberalisasi ASEAN dalam AFTA, ASEAN dengan China, maupun kerjasama
bilateral lainnya, Indonesia mengalami banyak kerugian. Dalam kesepakatan ASEAN
China FTA dan bilateral dengan Jepang misalnya, produk impor dari kedua negara
tersebut segera membanjiri pasar Indonesia sehingga terjadi pelebaran defisit
neraca perdagangan. Seharusnya hal tersebut dapat menjadi pengalaman berharga
bagi Indonesia dalam berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi, termasuk MEA.
Pemerintah telah menyatakan bahwa
Indonesia sudah 82 persen siap menghadapi MEA. Namun, klaim persentase kesiapan
tersebut ternyata hanya sebatas check list sejauh mana Indonesia telah
menjalankan kesepakatan-kesepakatanMEA. Padahal untuk memenangkan persaingan di
ASEAN yang makin kompetitif semestinya pemerintah menyiapkan strategi
komprehensif yang menjadi agenda bersama antara pemerintah (Pusat dan Daerah)
dengan dunia usaha. Negara ASEAN lain, Thailand misalnya, telah mempersiapkan
strategi komprehensif untuk meraih peluang saat ASEAN menjadi basis pasar dan
produksi. Namun, sampai saat ini persiapan Indonesia masih minimal. Sosialisasi
dilakukan tetapi baru sekadar“apa itu MEA”, bukan tentang “strategi bersama
menghadapi MEA”.
Implementasi MEA memang bukan
liberalisasi ekonomi yang pertama di kawasan ASEAN. Setelah tahun 1992 ASEAN
sepakat melakukan AFTA (Asean Free Trade Agreement), ASEAN juga membuat
berbagai kesepakatan dengan negara lain seperti India, Jepang dan Korea.
Indonesia pun banyak melakukan liberalisasi ekonomi secara bilateral misal
dengan Jepang atau Australia dan New Zealand. Meskipun implementasi MEA
sebenarnya implementasi liberalisasi di tengah lingkungan ekonomi ASEAN dan
ekonomi Indonesia yang sudah cukup liberal, namun CORE berkeyakinan bahwa
implementasi MEA justru sangat penting bagi Indonesia sebagai momentum untuk
menata ulang berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi yang telah disepakati,
agar potensi manfaat yang diperoleh maksimal dan potensi kerugian yang
ditimbulkan dapat diminimalkan. Dari kajian awal ini CORE berkesimpulan paling
tidak ada empat isu penting yang perlu kerja keras untuk segera diantisipasi:
1) Implementasi
MEA berpotensi menjadikan Indonesia sekadar pemasok energi dan bahan baku bagi
industrialisasi di kawasan ASEAN, sehingga manfaat yang diperoleh dari kekayaan
sumber daya alam minimal, tetapi beban defisit neraca perdagangan barang
Indonesia yang saat ini paling besar diantara negara-negara ASEAN semakin
bertambah. Salah satu yang harus dilakukan Indonesia adalah menyusun strategi
industri, perdagangan dan investasi secara terintegrasi, paling tidak dalam
konteks kerjasama MEA.
2) Implementasi
MEA akan semakin melebarkan defisit neraca perdagangan jasa seiring peningkatan
perdagangan barang. Indonesia harus segera mengimplementasikan rencana untuk
membangun dan mendukung industri transportasi yang menjadi sumber defisit
terbesar. Langkah lainnya, menetapkan sektor pariwisata sebagai prioritas
dengan menyusun strategi dan kebijakan baru, karena selama ini pariwisata telah
menjadi penyumbang surplus dalam neraca perdagangan jasa.
3) Implementasi
MEA akan membebaskan aliran tenaga kerja sehingga Indonesia harus
mengantisipasi dengan menyiapkan strategi karena potensi membanjirnya TKA akan
berdampak pada naiknya remitansi TKA yang saat ini pertumbuhannya lebih tinggi
daripada peningkatan remitansi TKI, akibatnya berpotensi menjadi tambahan beban
bagi Indonesia dalam menjaga neraca transaksi berjalan dan mengatasi masalah
pengangguran.
4) Implementasi
MEA akan mendorong masuknya investasi ke Indonesia dari dalam dan luar ASEAN.
Indonesia harus bergegas menyiapkan strategi dan kebijakan yang dapat memberi
insentif bagi partner ekonominya untuk ikut membangun industri hulu pengolah
sumber daya alam, sehingga manfaat ekonomi dari investasi lebih besar, baik
dari sisi nilai tambah, penciptaan lapangan kerja maupun terbangunnya industri
hulu. Tidak ada pilihan bagi Indonesia kecuali segera menyusun rencana
strategi, serta mensosialisasikan dan meng-implementasikan bersama dengan
pelaku usaha.
Peran Indonesia di
ASEAN
Posisi Tawar
yang Terabaikan Indonesia adalah the ASEAN giant yang lupa pada kekuatan yang
dimilikinya, sehingga belum mampu memanfaatkan posisi tawarnya yang sangat
besar untuk kepentingan nasional. Jika dilihat dari nilai Produk Domestik Bruto
(PDB), Indonesia merupakan penyumbang terbesar (lebih dari sepertiga) PDB ASEAN
yang mencapai1,2 triliun US$ (PPP). Dari jumlah populasi ASEAN (600 juta
orang), Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar, yang pada tahun
2013 diperkirakan mencapai 250 juta. Sekitar 60persen di antaranya adalah kelas
menengah dengan pertumbuhan relatif tinggi. Selain potensi sumber daya manusia,
ekonomi Indonesia juga didukung oleh sumber daya alam yang kaya dan beragam,
serta wilayah yang sangat luas baik wilayah daratan maupun lautan. Berbagai
faktor tersebut semestinya dapat dijadikan sebagai modal untuk meningkatkan posisi
tawar Indonesia dalam berbagai kerjasama ekonomi.
Demikian juga
dalam kerjasama MEA, seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan posisi tawarnya
untuk mendapatkan keuntungan maksimal saat ASEAN dijadikan sebagai pasar yang
terintegrasi dan basis produksi yang kompetitif. Namun ada keraguan besar
Indonesia akan dapat mewujudkan hal tersebut. Untuk kasus industri otomotif
misalnya, Malaysia mampu membuat kesepakatan dengan industri otomotif Jepang,
sehingga produk otomotif Jepang boleh masuk ke pasar Malaysia, tetapi dengan
syarat menggunakan merek nasional Malaysia dan perencanaan jelas untuk
pengalihan teknologi. Dengan kesepakatan kerjasama dan strategi industrialisasi
yang jelas, akhirnya Malaysia mampu membangun industri otomotif nasional dan
bahkan dapat memasarkan produknya ke luar negeri. Sedangkan Indonesia, meskipun
posisi tawar lebih besar dibanding Malaysia, baik dari potensi pasar maupun
faktor produksi, hingga saat ini Indonesia belum juga memiliki industri
otomotif nasional. Di sektor jasa perbankan, Indonesia juga belum mampu
memanfaatkan daya tarik pasar domestik dengan kebijakan yang dapat
menguntungkan kepentingan nasional.
Indonesia telah
membuka kepemilikan asing di bank lokal hingga 99 persen, aturan pembukaan
cabang dan ATM tidak terbatas, serta segmen pasar bank asing yang tidak
dibatasi. Sementara Singapura yang memiliki sektor jasa keuangan dan perbankan
yang jauh lebih kompetitif tetap membatasi kepemilikan asing di bank lokal
maksimal hanya 20 persen, ijin operasional diberikan berjenjang dan pembukaan
cabang dan ATM sangat terbatas. Demikian juga Malaysia dan Thailand yang
memiliki kebijakan jelas dalam mendukung daya saing sektor perbankan dalam
memanfaatkan pasar domestiknya.
Lemahnya posisi
tawar Indonesia terutama disebabkan oleh tidak adanya strategi dan kebijakan
industri yang komprehensif yang akan menjadi referensi bagi pemerintah. Bila
ada acuan yang jelas maka pada setiap perundingan kerjasama ekonomi baik
regional seperti MEA, kerjasama global seperti WTO maupun kerjasama-kerjasama
bilateral, Indonesia akan memiliki langkah yang jelas dan konsisten. Strategi
dan kebijakan industrialisasi nasional ini pula yang kemudian akan menjadi
acuan bagi kesepakatan pemangkasan tarif bea masuk, membuka atau membatasi
impor suatu produk, termasuk mempercepat atau menunda liberalisasi sektor
tertentu.
Saya kira, sektor perbankan Indonesia
harus siap untuk itu. Karenanya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu merancang
peta jalan atau roadmapperbankan Indonesia. Adapun pembuatan roadmap tersebut
secara terperinci dapat berupa arah yang lebih jelas dalam hal konsolidasi
perbankan dalam negeri, guna memperbesar Size suatu bank, baik secara alami
maupun secara market driven. Perbankan nasional, khususnya bank BUMN juga harus
berperan aktif mengantisipasi pemberlakuan MEA 2015.
Era bebas pasar ini, dipastikan akan
membuka alur lalu lintas barang dan jasa serta pasar semakin lebar. Karenanya,
pertumbuhan ekonomi regional harus terintegrasi dengan ekonomi global. Dengan
demikian, perbankan nasional memerlukan kesamaan pandang dalam melihat
pertumbuhan ekonomi regional. Dengan kesamaan pandang regional itu, diharapkan
perbankan Indonesia akan dapat menyelesaikan planning (rencana), strategi,
sasaran yang tepat bagi kemajuan ekonomi Indonesia.
Jika ingin terlibat aktif dan tidak
terlindas dalam era bebas pasar ASEAN, peran institusi seperti Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) juga penting guna meningkatkan Good corporate government (GCG)
pada industri perbankan di Indonesia. Selain itu perbankan nasional juga perlu
mengajak stake holder, seperti perhimpunan bank-bank nasional (PERBANAS)dan
institute bangkir Indonesia (IBI) untuk menstimulasi semakin baiknya GCG bank
menghadapi pasar bebas ekonomi ASEAN.
Bagaimanapun beratnya tanatangan
industry perbankan regional, upaya mendorong efisiensi sector perbankan yang
berdaya saing tinggi harus terus dilakukan. Hingga kini perbankan di Indonesia
masih dinilai boros di di biaya operasional. Audit terhadap tingkat efisiensi
bank terutama bank BUMN yang memimpin pasar di Industri keuangan nasional ini,
juga menjadi indicator keberhasilan perbankan dalam mengelola rasio beban
operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO)nya. Semakin rendah maka
kekuatan daya saingnya akan semakin tinggi.
Sebaliknya, semakin tinggi efektivitas
perbankan, semakin kuat juga perbankan nasional untuk menciptakan lingkungan
bisnis yang sehat, sehingga akan menambah kuat kemampuan diri dalam menyongsong
era pasar bebas ASEAN . kompetisi bisnis perbankan sangat ketat. Tidak hanya di
industry domestic, industri perbankan regional dan global jauh lebih menantang.
Perbankan di regional ASEAN memilki tingkat kesehatan yang sangat tinggi.
Dari sisi efisiensi, tingkat
prudentialnya, Indonesia masih jauh lebih rendah disbanding negara ASEAN
lainya. Untuk bisa mensejajarkan diri dengan kemampuan perbankan dilingkup regional
ASEAN, perbankan nasional harus bisa mengejar ketinggalanya mulai dari sisi
efisiensi dan efektifitas tadi hingga kemampuan berekspansi. Meskipun saat ini
sudah ada perbankan nasional yang beroprasi di negara ASEAN lainya, tidak
sepadan dengan jumlah bank asing (dari sama negara ASEAN lain) .
Untuk itu pemerintah yang baru nanti
harus bisa menyeimbankan kedudukan industry perbankan nasional dengan perbankan
regional dikawasan ini. dasr prinsip perbankan yang mengacu aturan terkini
dalam basel III sudah menjadi konsekuensi untuk diikuti semua industry
perbankan global. Dan, aturan itu harus sudah di adaptasi untuk bisa ikut
berkecimpung di kancah pasar global.
Kesiapan di Industri
Perbankan
Adapun CEO Bank BNI Gatot M Suwondo
menyampaikan Strategi Industri Perbankan Indonesia dalam Menghadapi MEA.
Menurutnya, industri perbankan Indonesia di bawah regulasi Bank Indonesia dan
OJK telah menyiapkan diri untuk menghadapi persaingan global termasuk MEA. Dari
sisi regulasi, sejatinya perbankan Indonesia termasuk terbuka, hal ini ditandai
dengan banyaknya bank-bank besar dunia yang beroperasi di Indonesia.
BNI sendiri mengambil posisioning
sebagai bank yang menjembatani masyarakat Indonesia dengan komunitas
internasional. Hal ini tampak dari komitmen BNI untuk terus memperluas
bisnisnya di luar negeri. “BNI adalah bank lokal yang paling luas jaringan
internasionalnya. Dengan lima cabang di luar negari yakni di Singapura, Jepang,
Amerika Serikat, Inggris, dan Hongkong. Dalam waktu dekat BNI juga sedang
memproses untuk mendirikan cabang di Myanmar, Jeddah, dan Korea Selatan,”
ujarnya.
Kini, bersama 15 BUMN seperti PT. Timah,
PT, Bukit Asam, PLN, Semen Indonesia, PT. Pupuk Indonesia, Bulog, Garuda
Maintenance Facilities, dan PT. Telkom, BNI akan memasuki pasar Myanmar. Dengan
berbagai ekspansi yang dilakukan, BNI berharap dapat terus berkembang seiring
diberlakukannya MEA akhir tahun ini.
Selain para pembicara di atas,
narasumber dari BUMN yang hadir dan menyampaikan presentasinya adalah Honesti
Basyir Chief Marketing Officer Wholesale & International Business PT.
Telkom Indonesia Tbk dan Benny Andrianto A Vice President Director PT Adhya
Tirta Batam. Mereka menyampaikan cerita sukses pengembangan bisnis
masing-masing perusahaannya.
Branchless Banking
Dalam menghadapi persaingan didalam
tingkat regional yaitu dengan adanya MEA dan juga dalam tingkat persaingan
pasar secara global maka perlu adanya langkah-langkah yang dapat membantu
peningkatan kualitas kita dalam daya saing. Salah satunya adalah membuat suatu
sistem yang membantu proses kelangsungan pasar global tersebut, salah satu
diantaranya adalah Branchless Banking.
Branchless Banking (BB) adalah layanan
perbankan tanpa perlu membuka kantor cabang. Tujuannya adalah untuk mengurangi
biaya layanan perbankan. Perluasan
jaringan perbankan, memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk menjangkau
lokasi yang terpencil di tanah air. BB menjadi salah satu pendekatan yang
potensial yang bersifat non-konvensional, hal ini disebabkan perbankan kita
saat ini masih bersifat konvensional. Masalah permodalan dalam sistem bank
konvensional merupakan hambatan utama dalam meningkatkan layanan jasa keuangan.
Pendekatan non-konvensional seperti perkembangan e-banking, SMS banking atau
mobile banking sudah diterapkan pada bank-bank besar namun terkendala pada saat
pembukaan rekening (diharapkan kedepannya bisa dilakukan secara elektronik). BB
merupakan terobosan yang bersifat non-konvensional dimana di beberapa negara
seperti Kenya-Afrika dan Meksiko sudah berhasil menerapkannya. Terobosan yang
harus dilakukan oleh perbankan melalui
pemanfaatan teknologi, khususnya telekomunikasi. Perkembangan industri
telekomunikasi yang baru berkembang 20 tahun terakhir di Indonesia ternyata
sudah memiliki penetrasi mencapai 250 juta pelanggan, apabila dibandingkan
dengan jumlah rekening tabungan yang
hanya 70 juta (tahun 2011).
Elemen yang terkait dengan BB adalah:
1. Banking
agent yang berfungsi sebagai unit terdepan Bentuk banking agent juga sangat
beragam bisa berbentuk koperasi, toko, dll atau lembaga keuangan selain bank.
Namun yang paling penting adalah dapat menimbulkan efek multiplier bagi perekonomian
masyarakat.
2. Provider
telekomunikasi dalam hal ini mobile banking ada di dalam teknologi ini.
3. Masyarakat
di luar nasabah perbankan melalui Financial Identity Number (FIN) yang
kedepannya akan disinergikan dengan Kartu Identitas Penduduk yang dikeluarkan
oleh Kemendagri.
Kebutuhan akan kas dalam masyarakat pedesaan
khususnya kebutuhan untuk transaksi sehari-hari dan kas untuk berjaga-jaga,
harus dipenuhi, sehingga pergerakan
barang juga akan berputar lebih cepat. Masyarakat di daerah umumnya memiliki
willingness to save lebih tinggi ketimbang willingness to get credit. Terutama
di daerah yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah.
Studi-studi yang dilakukan oleh berbagai
lembaga pemerintah, swasta, asosiasi, perusahaan keuangan maupun lembaga donor
menyimpulkan beberapa hal kenapa perlunya Branchless Banking. Berikut kami
sampaikan kenapa Branchless Banking :
1. Seperti
halnya dinegara negara berkembang Indonesia termasuk didalamnya, akses layanan
perbankan masyarakat bawah masih kurang bahkan beberapa negara dapat dikatakan
kurang sekali. Indonesia sendiri berdasarkan survey Bank Dunia tahun 2010 berkisar
49% dari populasi belum terlayani. Negara-negara lain seperti Pakistan 85%,
Filipina 75%, China 60% dan India 55%. Thailand dan Malaysia justru lebih
rendah dari Indonesia.
2. Pembukaan
kantor bank yang memerlukan investasi dan biaya operasional yang mahal. Sebagai
gambaran rata-rata biaya investasi yang dibutuhkan bisa sekitar 1,5 milyar
dengan biaya operasional tahunan sekitar 900 juta per kantor
3. Konsentrasi
lokasi perbankan banyak didaerah perkotaan atau urban yang padat. Hal ini
dikarenakan potensi bisnis yang secara kasat mata sudah jelas terlihat
menguntungkan bagi bank. Kalaupun ada di rural area, dapat dipastikan merupakan
area yang padat aktifitas ekonomi, berkembang sehingga secara ekonomis bank
melihat feasibility membuka bank didaerah tersebut menguntungkan.
4. Persepsi
masyarakat bawah terhadap layanan bank. Mereka melihat bank sebagai sesuatu
yang tidak untuk mereka (bank is not for me). Sejatinya mereka justru dalam
keseharian bersentuhan secara tidak langsung dengan layanan keuangan (financial
service) yang juga dilakukan bank. Namun karena persepsi, mereka cenderung
melakukannya dengan lembaga yang bukan bank antara lain koperasi dan
perorangan. Persepsi yang mereka miliki bahwa :
a.
Berhubungan dengan bank harus punya uang
banyak dan hanya untuk orang kelas atas berduit
b.
Harus meluangkan waktu khusus ke bank
karena jarak yang jauh dari tempat aktifitasnya sehari hari
c.
Prosedur berhubungan dengan bank
berbelit belit, banyak aturan dan wajib diikuti
d.
Harus antre untuk bertransaksi yang hanya untuk kebutuhan
sederhana seperti setor atrau tarik dengan jumlah kecil misalnya Rp. 10.000,--
e.
Biaya transaksi yang mahal, misalnya
kirim uang kena biaya Rp. 25.000,--
f.
Produk atau layanan bank tidak dirancang
untuk mereka dengan kondisi keuangan yang tidak tetap
g.
Ada kecenderungan diskriminasi dalam
pelayanan terhadap mereka, menganggap mereka tidak punya uang sehingga layanan
yang diterima berbeda.
5. Potensi
besar segmen bawah yang belum tergarap. Jujur kita akui bahwa aktifitas ekonomi
sebagian besar digerakkan oleh sektor ekonomi kelas bawah seperti usaha-usaha
mikro yang masih dilaksanakan melalui mekanisme tunai. Berdasarkan data kurang
lebih sebesar Rp. 300 triliun uang tunai ditransaksikan lewat segment ini.
Apabila jumlah tersebut masuk ke sistem perbankan dan disalurkan bank kembali
dalam bentuk kredit ke meraka, tentunya akan menjadi stimulus penggerak
perekonomian yang sangat besar. Efisiensi dalam pengeloaan uang tunai oleh BI
pun akan dapat ditingkatkan dengan adanya penggunaan transaksi melalui
branchless banking.
6. Kemajuan
teknologi khusus dalam berkomunikasi. Adanya tingkat penetrasi yang tinggi
perusahaan telco ke masyarakat bawah melalui penggunaan telepon seluler,
menyebabkan timbulnya pemikiran bagaimana memanfatkan kemajuan cara
berkomunikasi ini untuk menembus layanan keuangan ke segmen dimaksud dengan
memanfatkan keunggulan - keunggulan yang dimiliki perusahaan telco.
Hal-hal tersebut diatas, mengkondisikan
perlunya BB dan saat ini sedang berkembang di negara-negara Asia Pasific,
Africa dan Amerika Latin. Asia merupakan emerging market termasuk Indonesia
yang baru mulai memasuki era ini, meskipun aturan terkait penerapannya masih
dalam persiapan oleh BI.
Dari berbagai penjelasan diatas, maka
kita sudah dapat menyimpulkan bahwa masih banyak yang perlu kita lakukan dalam
meghadapi pasar bebas khususnya dalam wilayah regional kita yaitu di ASEAN. Saat
ini memang kita masih tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya, tapi dengan
kesungguhan kita,yaitu dengan mendukung segala program pemerintahan saat ini
yang berusaha untuk meningkatkan kualitas kita agar mampu bersaing salah
satunya dengan mengurangi pola pikir kita yang konsumtif menjadi produktif. Kita
harus memulai untuk menciptakan sesuatu yang memiliki nilai jual, selain itu
kita dapat meingkatkan produk-produk dalam negeri dengan bangga untuk menggunakannya.
Selain itu kita juga harus meningkatkan kemampuan teknologi, agar dapat
bersaing dengan negara-negara lain yang sudah banyak menggunakan
teknologi-teknologi yang terkomputerisasi dalam kehidupan sehari-hari.
Sumber :