Minggu, 30 Desember 2012

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 4


REVIEW 6
PENGKAJIAN PEMUSATAN PENGEMBANGAN KOPERASI
BIDANG PEMBIAYAAN PADA TINGKAT KABUPATEN/KOTA
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2  TAHUN I - 2006

III. METODE

1. Lokasi Penelitian
    Lokasi penelitian meliputi 20 propinsi yaitu : Sumut, Jatim, Bali, Sulut, Sumbar,
Sultra, Kalteng, Kaltim, Sumsel, Bengkulu, Riau, NTT, NTB, Babel, Sulsel, Kalbar,
Sulteng, Jabar, Jateng, Kalsel.

2. Metode dan Analisis Pengkajian
    Metode pengkajian berupa studi pustaka dan pengumpulan data primer maupun
sekunder yang berkaitan dengan potensi daerah yang dapat ditangani koperasi, sentrasentra
produksi rakyat yang dapat dikembangkan, ketersediaan lembaga keuangan,
lembaga-lembaga pendukung pengembangan KSP/USP dan perkembangan KSP/USP,
serta model-model pemusatan koperasi di masing-masing Kabupaten/Kota.
Kerangka pemikirannya dapat digambarkan sebagai berikut :



Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengkajian Pemusatan Pengembangan
Koperasi Bidang Pembiayaan


      Analisis pengkajian dilakukan dengan beberapa cara, baik melalui induksi data,
deduksi berdasarkan teori-teori yang relevan, maupun dengan validasi experties. Dengan
demikian, analisis pengkajian lebih bersifat pendalaman berpikir kualitatif sesuai dengan
keperluan untuk merumuskan model-model yang dipandang optimal bagi pengembangan
pemusatan koperasi di bidang pembiayaan.
Perumusan model meliputi beberapa substansi pokok dan penting sebagai solusi
pengkajian yaitu : (1) perumusan pemusatan kegiatan di bidang jasa keuangan, (2)
perumusan pemusatan kegiatan di bidang jasa non keuangan, dan (3) kelembagaan
pemusatannya.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kasus Kelompok Koperasi Bhakti di Kabupaten Pati, Jawa Tengah
Sampai dengan bulan Juni 2004 jumlah KSP/USP di Kabupaten Pati sebanyak
75 unit dengan anggota 59.160 orang. Dua puluh tujuh unit diantaranya termasuk
dalam klasifikasi unit papan atas, 11 unit papan tengah dan 37 unit papan bawah.
Bhakti Group adalah kumpulan dari beberapa koperasi yang menghimpun dirinya
menjadi kelompok dengan tujuan memudahkan pengaturan likuiditas dana yang dikelola
oleh masing-masing koperasi anggotanya. Bhakti Group dipimpin oleh Bapak
Abdurahman Saleh dan 7 orang rekannya dalam 24 tahun berkembang dan berhasil
menghimpun aset sebesar Rp. 126 milyar, sedangkan anggota yang berhasil dihimpun
143.674 orang dengan karyawan 5.000 karyawan tetap.
Adapun beberapa kiat yang dijalankan manajemen Bhakti Group untuk mencapai
keberhasilannya adalah :

  • Komitmen yang kuat di tingkat top manajemen untuk membangun sebuah koperasi sesuai dengan hakekat utamanya yaitu dari anggota untuk anggota,membangun koperasi yang dilandasi dengan kejujuran dan kemajuan bersama,baik anggota maupun pengurus.
  • Sistem prekrutan tenaga kerja dilakukan secara terpusat dan ketat baik ditinjaudari kemampuan teknis maupun non teknis.
  • Prestasi karyawan dihargai dengan baik, dimana manajemen menganut falsafah pengurus/karyawan tidak boleh miskin tapi juga tidak boleh kaya.
  • Untuk menghindari benih kecurangan, maka setiap periode tertentu diadakan rotasi antar cabang bagi karyawan, setiap karyawan baru akan .dibaiat. (disumpah) untuk mau bekerja dengan jujur, jika ditemukan kecurangan, manajemen tidak akan segan-segan memecat bahkan kasusnya diajukan ke pengadilan.
  • Untuk mencegah pindahnya anggota, maka tiap anggota tidak boleh keluar masuk seenaknya. Anggota hanya diperbolehkan keluar satu kali.
  • Dana yang dikelola secara profesional sehingga anggota dapat mengambil kapan saja.
  • Manajemen menganut falsafah .mudah, cepat dan meriah., Mudah dalam arti prosedur menabung maupun meminjam dilakukan dengan semudah mungkin, bahkan dengan sistem jemput bola. Cepat dalam arti proses administrasi diusahakan tidak bertele-tele. Meriah dalam arti jumlah tabungan pada kisaran kecil sampai menengah.


2. Kasus KSP BTM (Baitul Tamwil Muhammadiyah) di Kabupaten Pekalongan
Di Kabupaten Pekalongan terdapat koperasi yang layak dinyatakan berhasil
dalam bidang KSP, bahkan telah melebarkan sayapnya ke daerah lain. Koperasi Simpan
Pinjam tersebut berbentuk Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM). Didirikan tanggal 5
Januari 1996 dengan modal awal sebesar Rp. 25 juta, kelembagaan awalnya berbentuk
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di bawah Yayasan Binaan Baitul Maal
Muhammdiyah (YBBMM) sebagai partisipan Proyek Hubungan Bank Indonesia dan
Kelompok Swadaya masyarakat (PHBK). Dengan adanya UU Nomor 29 tahun 1999
yang antara lain mengahapus PHBK, maka kelembagaannya berubah menjadi Badan
Hukum Koperasi, tepatnya Koperasi Simpan Pinjam dan dikelola dengan menggunakan
sistem syariah yang berbasis pada prinsip bagi hasil. Pendirian BTM Wiradesa ini
dilatarbelakangi oleh terbatasnya akses permodalan bagi usaha mikro di Kabupaten
Pekalongan. Sampai dengan September 2004, dana masyarakat yang berhasil mencapai
Rp. 2 milyar lebih dengan total aset Rp. 3 milyar lebih, sedangkan jumlah pinjaman
yang diberikan pada periode yang sama sebesar Rp. 2,5 milyar lebih.
Untuk mempermudah pengelolaan dana dan sebagai penyangga likuiditas, maka
dari beberapa BTM membentuk koperasi sekunder berupa berupa Pusat KSP BTM
Wiradesa. Untuk menghindari perebutan nasabah (anggota) maka ada klasifikasi ukuran
pinjaman. Untuk pinjaman sampai dengan 30 juta hanya dapat dilayani di koperasi
primer dan Rp. 30 Juta ke atas dilayani di koperasi sekunder. Sistem peminjaman
dana dari koperasi sekunder ke koperasi primer ada dua yaitu : sistem channeling dan
sistem sindikasi. Perbedaannya adalah sistem channeling 100% dana pinjaman berasal
dari koperasi sekunder dengan bagi hasil 20% bagi hasil keuntungan untuk koperasi
primer dan 80% untuk koperasi sekunder, sedangkan sistem sindikasi dana pinjaman
tidak 100% dari koperasi sekunder, namun terbagi antara koperasi sekunder dan koperasi
primer dengan proporsi pinjaman tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama.
Pembagian keuntungan diberikan sesuai dengan besarnya proporsi jumlah pinjaman .

3. Kasus Pemusatan Kerjasama Koppontren Al-Ishlah dengan Bank di
Kabupaten Cirebon
USP Swamitra adalah lembaga keuangan mikro yang didirikan atas kerjasama
saling menguntungkan antara Bank Bukopin dengan koperasi untuk mengembangkan
usaha kecil dan menengah. Melalui kerjasama ini USP atau KSP dapat beroperasi
secara modern dengan memanfaatkan jaringan teknologi dan dukungan sistem
manajemen yang telah dikembangkan oleh Bank Bukopin.
Swamitra Al-Ishlah dibentuk pada Desember 1998 sebagai hasil kerjasama antara
Koppontren Al-Ishlah dengan Bank Bukopin Cabang Cirebon. Swamitra Al-Ishlah berada
di desa Dukupuntang, Bobos, Cirebon dan melayani nasabah-nasabah di wilayah
Palimanan, Sumber hingga Rajagaluh yang radiusnya sekitar 17 km dari pusat kegiatan
di Pasar Kramat, Bobos. Kemudian pada pertengan 1999, Swamitra Al-Ishlah resmi
beroperasi. Pada saat itu dana yang disalurkan untuk Kredit Koperasi Kepada Anggota
(KPPA) sebesar Rp. 350 juta. Pinjaman tersebut berjangka satu tahun dan berbunga
16% setahun dan harus disalurkan kepada anggota koperasi tanpa bunga. Sebagai
penyalur, Swamitra Al-Ishlah juga tidak mengenakan bunga, tetapi menarik biaya sebesar
3% yang dipungut saat pencairan kredit. Sumber dana Swamitra A-Ishlah yang lain
adalah modal tidak tetap dari Bank Bukopin dengan alokasi sebesar Rp. 500 juta.
Sumber dana yang lainnya adalah simpanan masyarakat yang jumlahnya dalam tahun
pertama saja melebihi alokasi dari Bank Bukopin. Ini menunjukkan keberhasilan
Swamitra Al-Ishlah dalam menggalang dana masyarakat. Keberhasilan ini berkat
kerjasama antara pengelola Swamitra, pengurus Koppontren dan Bank Bukopin dalam
mempromosikan Swamitra di Majlis Taklim.

4. Alternatif Model Pemusatan
Dengan memperhatikan perkembangan koperasi di lapangan, model kelembagaan
pemusatan koperasi dapat berupa kerjasama antar koperasi primer dengan pola waralaba
(franchising), koperasi sekunder, kerjasama koperasi sekunder dengan bank, kerjasama
koperasi primer dengan bank dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).


1) Model Kerjasama antar Koperasi Primer dengan Pola Waralaba
Model pengembangan koperasi seperti yang terjadi pada kelompok Koperasi
Bhakti di Kabupaten Pati merupakan suatu pola kerjasama antar koperasi primer.
Walaupun merupakan suatu pola kerjasama yang menjadikan kelompok koperasi bhakti
dikembangkan dan dikelola secara tertib dan terkoordinasi, namun antar koperasi dalam
kelompok koperasi bhakti tidak memiliki kontrak kerjasama secara eksplisit. Koordinasi
pengelolaan dan pengembangan terjadi berkat adanya standarisasi dan sinkronisasi
pengelolaan dan bahkan terdapat suatu kesatuan komando dalam pengelolaan dan
pengembangan koperasi.
Potensi keunggulan model kerjasama antar Koperasi seperti Kelompok Koperasi
Bhakti sebagai suatu pola atau kelembagaan pemusatan pengembangan pembiayaan
antara lain sebagai berikut :
(1) Standarisasi dan sinkronisasi dapat lebih mudah dilakukan dengan
standarisasi karyawan dan standarisasi sistem dan prosedur, serta
sinkronisasi atau kesatuan komando manajemen.
(2) Pengembangan koperasi baru relatif lebih mudah dilakukan dengan adanya
karyawan terlatih yang siap ditugaskan pada koperasi baru.
(3) Dengan karyawan yang terlatih dan aktif jemput bola maka memungkinkan
penetrasi perluasan anggota yang berarti perluasan pasar dan peningkatan
pangsa pasar.
(4) Walaupun antar Koperasi Bhakti terdapat standarisasi dan sinkronisasi
manajemen, masing-masing koperasi sepenuhnya dimiliki oleh anggotanya
yang sebagian besar berada pada sekitar koperasi berada.
(5) Keterbatasan Bhakti menganut keanggotaan secara terbuka dan sukarela
sehingga memungkinkan loyalitas anggota secara alami dan berkelanjutan
serta sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip koperasi.
(6) Mengingat memiliki catatan kinerja baik (track record) yang cukup panjang
dan memiliki brand name yang cukup dikenal, pola koperasi bhakti memiliki
peluang sebagai suatu sistem waralaba manajemen koperasi simpan pinjam
yang dapat diaplikasikan pada pengembangan koperasi simpan pinjam.

2) Model Koperasi Sekunder
Dengan pola koperasi sekunder pada dasarnya seluruh kegiatan yang diperlukan
untuk mendukung pengembangan koperasi primer dilakukan oleh koperasi sekunder
secara berjenjang dari tingkat daerah, wilayah, nasional dan internasional. Fungsifungsi
kegiatan pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan meliputi bidang
keuangan yang terdiri atas penghimpunan dan penyaluran dana melalui silang pinjam
(interlanding) dan pengelolaan resiko maupun bidang non jasa keuangan yang terdiri
atas konsultasi manajemen simpan pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan
audit, pengadaan sarana usaha dan audit.
Keungulan koperasi sekunder sebagai model pemusatan pengembangan koperasi
adalah :
(1) Struktur dan sistemnya telah tersedia, baik secara lokal, nasional maupun
internasional sehingga tinggal masalah penerapan.
(2) Penerapan koperasi sekunder sebagai model pemusatan lebih menjamin
penerapan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, sehingga lebih menjamin
terwujudnya cita-cita koperasi yaitu peningkatan kesejahteraan dan
kemandirian ekonomi anggota koperasi.

3) Model Bank Perkreditan Rakyat
Pemusatan pengembangan koperasi dengan model Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) terutama dimaksudkan agar memiliki kemampuan atau keleluasaan yang lebih
besar dalam penghimpunan dana masyarakat dan sekaligus keleluasaan dalam
penyaluran dana. Dengan bentuk BPR, sebagai bank, memiliki kewenangan untuk
menghimpun dana ke masyarakat, tidak hanya kepada anggotanya.
Keunggulan BPR sebagai model pemusatan pengembangan koperasi antara
lain adalah :
(1) Memiliki kepercayaaan kemampuan yang efektif dan dalam menghimpun dana
baik dana dari masyarakat, maupun dana dari lembaga keuangan sebagai
konsekuensi bentuknya berupa bank.
(2) Merupakan sarana yang legal dan sehat untuk menyalurkan dana kepada
masyarakat, terutama apabila koperasi anggota atau pemegang saham dalam
keadaan kelebihan dana.
(3) BPR yang harus mengikuti ketentuan perbankan yang ketat dapat menjadi
referensi yang baik dalam mengembangkan tata kelola yang baik (good
corporate governance) bagi koperasi yang dikembangkan.

4) Model Kerjasama Koperasi Sekunder dangan Bank
Model kerjasama koperasi sekunder dengan bank umum adalah sebagaimana
yang terjadi pada koperasi-koperasi di lingkungan pegawai negeri, Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan Bank Kesejahteraan
Ekonomi. Dalam hal ini induk-induk koperasi tersebut sperti KPRI, Inkopad, Inkopau,
Inkopal, dan Inkopol mengadakan kerjasama dalam penyaluran dana dari Bank
Kesejahteraan Ekonomi untuk anggota-anggota koperasi.
Keunggulan model ini adalah :
(1) Ketersediaan dana yang diperlukan oleh anggota koperasi dari Bank
Kesejahteraan Ekonomi.
(2) Kemampuan penghimpunan dana masyarakat maupun dana dari lembaga
keuangan lain melalui Bank Kesejahteraan Ekonomi.

5) Model Kerjasama Koperasi Primer dengan Bank Pola Swamitra
Kerjasama koperasi primer dengan bank Bukopin dalam bentuk pola Swamitra
merupakan model pemusatan kegiatan pengembangan koperasi dengan kerjasama
koperasi primer dengan bank. Dengan pola ini, Bukopin menyediakan sistem dan
aplikasi manajemen simpan pinjam koperasi, termasuk pengadaan dan pelatihan
sumberdaya manusia, aplikasi teknologi informasi, sistem manajemen operasi simpan
pinjam, pendampingan dan supervisi simpan pinjam dan standarisasi produk simpanan
dan pinjaman, serta cadangan likuiditas koperasi simpan pinjam.
Keunggulan pemusatan pengembangan koperasi dengan model kerjasama antar
koperasi primer dan bank pola Swamitra, antara lain :
(1) Terdapat paket dukungan pengembangan KSP/USP secara lengkap sehingga
memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.
(2) Terdapat sistem supervisi dan pengendalian secara seketika (on line) oleh
bank.
(3) Terdapat jaminan cadangan likuiditas yang disediakan secara bertingkat, baik
di koperasi maupun di bank.
(4) Terdapat standarisasi sistem dan produk sehingga lebih memungkinkan
dikembangkan jaringan kerjasama.
(5) Memiliki kredibilitas yang tinggi dalam penghimpunan dana berkat dukungan
citra bank pendukungnya.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
(1) Sentra-sentra usaha yang dipandang perlu sebagai sentra usaha unggulan
adalah berupa sentra usaha yang bergerak di bidang pertanian, industri
makanan dan minuman, industri kerajinan, industri kerajinan tekstil dan
konveksi rakyat. Sebagian dari pengusaha dalam sentra tersebut berupa
usaha mikro, yang memiliki kesamaan bahan baku atau teknologi dan tidak
melakukan kegiatan pemasaran bersama atau pengadaan bahan baku
bersama.
(2) Kebutuhan pembiayaan usaha dalam sentra pada dasarnya lebih tepat
dipenuhi oleh lembaga keuangan mikro seperti koperasi simpan pinjam, karena
kebutuhan dana berskala kecil dan sendiri-sendiri.
(3) Kegiatan pemusatan pengembangan koperasi dalam bidang pembiayaan
meliputi jasa keuangan dan jasa non keuangan meliputi konsultasi manajemen
simpan pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan audit, pengadaan
sarana usaha dan advokasi.
(4) Alternatif model pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan pada
tingkat Kabupaten/Kota adalah : (a) kerjasama antar koperasi dengan pola
waralaba, (b) koperasi sekunder, (c) kerjasama koperasi sekunder dengan
bank, (d) Bank Perkreditan Rakyat, (e) kerjasama koperasi primer dan bank
dengan pola Swamitra.

2. Saran
Model pemusatan pengembangan koperasi di suatu Kabupaten/Kota tidak harus
dalam bentuk satu model, dapat terdiri atas dua model tersebut diatas dengan maksud
agar dapat mempertahankan ciri masing-masing keunggulannya.



NAMA             : SARAH ALIFAH
KELAS/NPM    : 2EB09/27211891
TAHUN            : 2011-2012

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI


REVIEW 5
PENGKAJIAN PEMUSATAN PENGEMBANGAN KOPERASI
BIDANG PEMBIAYAAN PADA TINGKAT KABUPATEN/KOTA*)
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I - 2006


Abstract
The purpose of this study : (1) to draw up a cooperative development center regental
budgetary domain, (2) to give input to the regental administrator in its effort to create a
condusive slimate for cooperative development. This study was conducted in 20
provinces. Its study method consists of library study, primary and secondary data
collection, study analysis was conducted in various ways, namely : teoris, and exepertise
validity. Based on study result, we can conclude that alternative model for cooperative
development center in regental budegetary domain are : (1) cooperation model among
cooperatives is by operating waralaba (non profit shop), (2) secondary cooperative model,
(3) model of cooperation between secondary cooperative and bank, (4) people crediting
bank, (5) cooperation of primary bank and swamitra/partnership bank.


I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
    Krisis ekonomi nasional tahun 1997 masih menyisakan dampak negatif hingga
kini, termasuk bagi UKM dan usaha mikro, yaitu menyebabkan antara lain : (1) turunnya
daya beli konsumen, dikarenakan semakin berkurangnya/langkanya usaha-usaha yang
dimiliki konsumen sebagai sumber pendanaan; (2) menurunnya kualitas produk-produk
UKM dan usaha mikro sebagai akibat rendahnya kualitas SDM serta berkurangnya
sumber-sumber pendanaan yang dimiliki pengusaha kecil dan menengah dan mikro.
Salah satu permasalahan yang dihadapi pengusaha kecil menengah dan mikro
dalam mengembangkan usahanya adalah kecilnya modal usaha yang dimiliki dan
rendahnya kemampuan untuk mengakses ke lembaga keuangan, baik lembaga
keuangan perbankan (BRI, BPR, dll) maupun lembaga keuangan non bank (KSP/USP
Koperasi, penggadaian, lembaga keuangan non formal, dll).
    Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, sebagai upaya pengembangan
UKM dan usaha mikro, maka pengembangan lembaga keuangan mikro seperti KSP/
USP Koperasi melalui pemberdayaan dan berbagai regulasi peraturan merupakan
konsekuensi logis yang harus dilakukan, sehingga tercipta iklim kondusif yang
memungkinkan kemudahan bagi para pengusaha UKM dan usaha mikro mampu
mengakses atau memanfaatkan dana dan berbagai lembaga keuangan mikro tersebut.
*) Hasil Kajian Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK bekerjasama dengan Pengembangan
Pengelolaan Wirausaha-Universitas Indonesia (BPPWI-UI) Tahun 2004 (diringkas oleh : Triyono
dan Siti Aedah)

2. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
a. Identifikasi
    Kegiatan ini memfokuskan pada pengembangan kerangka berfikir untuk mencari
alternatif pengembangan koperasi dalam era otonomi daerah, dikaitkan dengan
penyusunan model-model pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan
dilakukan terhadap beberapa potensi daerah yang dapat dilayani koperasi dibidang
pembiayaan, sentra-sentra produksi rakyat yang dapat dikembangkan dan analisis
terhadap daya dukung SDM, modal, lembaga keuangan dan teknologi. Berbagai
hambatan dan kebijakan pendorong diantisipasi untuk menjadi dukungan dalam
menkonstruksi model alternatif yang dihasilkan. Model pemusatan alternatif merupakan
solusi-solusi yang dipertimbangkan dan direkomendasikan dalam rangka membangun
sistem pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
b. Batasan Penelitian
    Pada prinsipnya, pengkajian dilakukan untuk memperoleh konstruksi model
pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan secara nasional. Mengingat
dinamika otonomi daerah yang terjadi dan berbagai kondisi masing-masing daerah
mempunyai variabilitas dan heterogenitas dalam pengembangan koperasi, khususnya
koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam pada koperasi-koperasi, maka modelmodel
yang direkonstruksikan secara substantif mengungkapkan kekuatan dan
kelemahan masing-masing.
c. Rumusan Masalah
    Program-program pembantuan bagi permodalan koperasi dan usaha kecil dan
menengah relatif telah banyak dilaksanakan melalui pengembangan sistem keuangan,
baik yang berbasis sisi kultural seperti arisan, gotong royong maupun pembentukkannya
diprakarsai pemerintah seperti kredit program, serta kebijaksanaan perbankan seperti
Kredit Investasi Kecil (KIK). Dalam banyak hal, walaupun menunjukkan hasil-hasil
yang relatif baik, akan tetapi belum dapat dikatakan optimal. Untuk itu, diperlukan
pemikiran dan pertimbangan untuk membangun model-model kelembagaan keuangan
dalam bentuk pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan di daerah
yang mencakup kepentingan baik anggota-anggotanya dan lembaga keuangan.

3. Tujuan dan Manfaat
1) Tujuan
    Secara umum, kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan alternatif kebijakan
dalam rangka pengembangan koperasi di bidang pembiayaan di tingkat Kabupaten/
Kota, sesuai dengan otonomi daerah yang berlangsung saat ini. Secara khusus tujuan
kajian ini adalah : (1) menyusun model pemusatan pengembangan koperasi di bidang
pembiayaan tingkat Kabupaten/Kota; (2) memberikan masukan kepada Pemda
Kabupaten/Kota dalam upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi pembangunan
perkoperasian.
2) Manfaat
    Hasil penelitian ini diharpkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
pimpinan dan instansi terkait dalam merumuskan kebijakan pemberdayaan Koperasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
1. Landasan Kebijakan
    Usaha kecil dan menengah (UKM) dan usaha mikro merupakan sumber kegiatan
perekonomian sebagian besar dari rakyat Indonesia baik di wilayah pedesaan maupun
perkotaan yang mencakup berbagai jenis lapangan usaha, baik pertanian, perdagangan,
industri dan jasa-jasa. Data BPS tahun 2002 menunjukkan bahwa jumlah usaha kecil
dan menengah di Indonesia berjumlah lebih dari 41 juta unit usaha atau mencapai
99,99% dari jumlah unit usaha di Indonesia dan telah mampu menyerap tenaga kerja
lebih dari 76 juta pekerja atau mencapai 99,46.
    Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka mendukung UKM dan
pengembangan ekonomi lokal telah melaksanakan berbagai program antara lain program
pengembangan sentra UKM dukungan MAP dan BDS, program pengembangan
keuangan mikro melalui kompensasi subsidi BBM, serta program pengembangan di
bidang peternakan, perkebunan dan sebagainya. Program-program tersebut merupakan
stimulasi pembelanjaan bagi daerah, dan sisi lain sebagai upaya triggering bagi
pengembanganeconomic and social capital di daerah melalui pengembangan ekonomi
kerakyatan, yaitu koperasi dan UKM.
2. Kerangka Pemikiran
    Pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan pada tingkat Kabupaten/
Kota pada dasarnya merupakan upaya mengkonstruksi model dalam rangka upaya
dan layanan untuk mendukung pengembangan, pengendalian dan operasi KSP/USP
pada tingkat Kabupaten/Kota pada suatu pusat agar diperoleh efektivitas dan efisiensi
dalam pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
    Pemusatan pengembangan koperasi diperlukan karena beberapa pertimbangan yang
merupakan faktor penentu, antara lain:
(1) Kinerja KSP/USP sebagai koperasi sangat tergantung pada keberhasilannya
dalam melaksanakan prinsip koperasi, yaitu kerjasama antar koperasi.
Keberhasilan kerjasama antar koperasi memerlukan koordinasi, pendidikan dan
pelatihan, pembagian kerja, dinamisasi, promosi dan kerjasama usaha yang
dapat merupakan bagian dari fungsi daripada pemusatan pengembangan koperasi.
(2) KSP/USP sebagai lembaga keuangan memerlukan adanya fungsi pengawasan,
pengembangan jaringan pelayanan dan pengembangan produk yang menjadi
salah satu fungsi pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan.


NAMA            : SARAH ALIFAH
KELAS/NPM   : 2EB09/27211891
TAHUN           : 2011-2012

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 3


REVIEW 4
ANALISIS KESEHATAN KOPERASI SIMPAN PINJAM DI KOTA DENPASAR
Oleh: Ni Ketut Sukasih

III. PEMBAHASAN
a. Analisa Kuantitatif
1. Permodalan
        Dalam penelitian aspek  permodalan rumus yang digunakan untuk menghitung yang dipergunakan untuk menghitung adalah Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Republik Indonesia No. 194/KEP/M/IX/1998 di dalamnya terdapat dua hal yang harus dinilai yaitu rasio modal sendiri terhadap pinjaman diberikan beresiko dan dari rasio ttiga hal yaituersebut kemudian diberikan kredit dikalikan dengan bobot diperoleh angka skor pada (tabel1).
2. Kualitas Aktiva Produktif
        Penilaian kualitas aktif produktif menurut KEPMEN diatas terdiri dari tiga hal yaitu rasio volume pinjaman anggota terhadap  total volume pinjaman diberikan, rasio resiko pinjaman bermasalah terhadap pinjaman diberikan, dan rasio cadangan resiko terhadap resiko pinjaman bermasalah dan rasio dari rsio tersebutkemudian diberikan kredit dikalikan dengan bobot diperoleh angka skor pada (tabel1).
3. Manajemen
        Penilitian manajemen menurut KEPMEN diatas terdiri dari lima aspek yaitu permodalan, kualitas aktifa produktif, pengelolaan, rentabilitas dan likuiditas. Perhitungan yang dikalikan berdasarkan data-data yang dikumpulkan diperoleh hasil seperti pada tabel 1.
4. Rentabilitas
        Penilitian rentabilitas menurut KEPMEN diatas terdiri dari tiga aspek yaitu rasio SHU sebelum pajak tehadap pendapatan operasional, rasio SHU sebelum pajak terhadap total asset, dan rasio beban operasional. Perhitungan yang dilakukan berdasarkan data-data yang dikumpulkan diperoleh hasil seperti pada tabel 1
5. Likuiditas
        Penilaian likuiditas KSP menurut KEPMEN adalah menyangkut rasio pinjaman yang diberikan terhadap dana yang diterima dan hasil yang diperoleh berdasarkan atas data-data adalah sebagai berikut :




R = Rentabilitas
LK = Likuiditas
JML = Jumlah

b. Analisa Kualitatif
1. Permodalan
        Dari aspek permodalan trlihat bahwa skor terendah 14. Menurut KEPMEN Republik Indonesia No. 194/KEP/M/IX/1998 skor maksimum adalah 20 dan dari 30 sampel yang dipilih, diperoleh 6 sampel dengan skor dibawah 16 dan 24 sampel yang memperoleh skor diatas atau sama dengan 16. Secara umum aspek permodalan dari KSP adalah baik karena skor rata-ratanya 18.
2. Kualitas Aktiva Produktis
        Kualitas aktifa produktif dari KSP secara umum cukup baik karena skor rata-rata sebesar 21. Skor terendah 9 dan skor tertinggi sebesar 29, nilai maksimum untuk ini menurut aturan 30.
3. Manajemen
        Aspek manajemen yang dinilai meliputi permodalan, kualitas aktifa produktif, pengelolaan, rentabilitas dan likuiditas. Berdasarkan atas hasil yang diperoleh pada tabel 1 dapat dijelaskan bahwa, skor aspek manajemen tertinggi adalah 25, skor terendah adalah 22. Sehingga ini dapat diartikan bahwa secara umum aspek manajemen dari KSP sangat baik.
4. Rentabilitas
        Aspek rentabilitas yang dinilai meliputi rasio SHU sebelum pajak terhadap pendapatan operasional, rasio SHU sebelum pajak terhadap total asset, dan rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada tabel 1 dapat dijelaskan bahwa, skor rata-rata sebesar  12, skor  terendah  sebesar 5, dan skor tertinggi sebesar 15. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa rentabilitas dari KSP sangat baik.
5. Likuiditas
        Aspek yang dinilai menyangkut rasio pinjaman  yang diberikan terhadap dana yang diterima. Berdasarkan atas tabel 1 dapat dijelaskan bahwa rasio yang baik adalah 100 dengan skor 10. Sebaliknya bila rasio kredit yang diperoleh adalah 0 (nol) dengan skor yang diperoleh 10. KSP yang mendapatkan skor 10 sebanyak 15 buah (50 persen) dan sebaliknya. Sehingga secara umum aspek likuiditas dari KSP dapat dikatakan baik.

IV. SIMPULAN DAN SARAN
a. Simpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi kesehatan KSP di Kota Denpasar berdasarkan 30 sampel yang diambil adalah  sebagai berikut :
1. KSP yang tergolong sehat berjumlah 13 buah atau 34%
KSP yang tergolong sehat yaitu KSP kelompok A= 1 buah, KSP kelompok B=2buah, KSP kelompok C= 3 buah, KSP kelompok D = 4 buah, KSP kelompok E = 2 buah, dan KSP kelompok F = 1 buah.
2. KSP yang  tergolong cukup sehat berjumlah 14 buah atau 47%
KSP yang tergolong cukup sehat yaitu KSP kelompok A = 3 buah, KSP kelompok B = 3 buah, KSP kelompok C= 2 buah, KSP kelompok D = 1 buah, KSP kelompok E = 3 buah, KSp kelompok F = 2 buah.
3. KSP yang tergolong kurang sehat berjumlah 3 atau 10%
KSP yang tergolong kurang sehat yaitu KSP kelompok A = 1 buah, dan KSP kelompok F = 2 buah.

b. Saran
Melihat kesimpulan seperti diatas maka dapat diberikan saran bahwa perlu diberikan  pembinaan melalui program pelatihan kepada para pengurus dan pengelola KSP , sehingga semua KSP yang ada berada dalam kondisi sehat.


NAMA                 : SARAH ALIFAH
KELAS/NPM        : 2EB09/27211891
TAHUN                : 2011-2012

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 3


REVIEW 3
ANALISIS KESEHATAN KOPERASI SIMPAN PINJAM DI KOTA DENPASAR
Oleh: Ni Ketut Sukasih

Abstract
Koperasi simpan pinjam and koperasi unit simpan pinjam are a financial institution which organize public fund receive funds from the people and distribute them back to the public. In Managing public funds, the management should work professionally to ensure the sustain operation of the cooperation.
Based on data received from small and Medium Scale Enterprises Coperation In Denpasar there are 373 units ofsimpan pinjam cooperation. In order to analyze the health of the cooperation, samples is collectd by using starifield random sampling,  because the characteristic of each population is not.
kata kunci: koperasi, simpan pinjam dan predikat kesehatan


I. PENDAHULUAN 
        Sesuai dengan pasal 33 ayat 1 dari Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun berdasarkan atas azaz kekeluargaan, sehingga dari pernyataan diatas berarti bahwa jeniss usaha yang cocok/sesuai adalah koperasi. Karena koperasi merupakan kumpulan dari oramg-orang yang mempunyai tujuan yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya di harapkan koperai sebagai sokoguru perekonomian Indonesia yang mampu mensejahterakan tertama anggotanya dan masyarakat pada umumnya. Dalam rangka pembinaan untuk memajukan koperasi, dalam cabinet gotong royong relah di bentuk department khusus yaitu dengan adanya Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah.
        Khususnya di bali perkembangan koperasi sangat pesat dan dari data yang di peroleh dari Dinas Koperasi Prop. Bali bahw pertumbujhan koperasi cukup pesat yatu mengakami kenaikan sebesar 6,11% pada tahun 2011. Mengalami kenaikan 8,14% pada tahun 2002 dan mengalami kenaikan sekitar 44,96% pada tahun 2003.
        Perkembangan koperasi di kota Denpasar dari tahun 2002 sampai pada tahun 2003 perkembangan cukup pesat dengan peningkatan sebesar 29 unit usaha atau dengan pertumbuhan sebesar 8% sdangkan perkembangan untuk tahun sebelumnya yaitu 2002 hanya betambah sebesar 4 unit usaha. Kalau di bandinngkan dengan kabupaten lain, Kota Denpasar memiliki jumlah kopeasi yang palng besar untuk usaha yang bergerak dalam simpan pinjam.
       Jumlah Sisa Hasil Usaha(SHU) yang diperoleh untuk Daerah Bali(data dari dinas Privinsi Bali) cukup menggembirakan dengan peningkatan sebesar22,6% pada tahun 2001, 40,73% pada tahun 2002 dan 9,83% pada tahun 2003, untuk kota Denpasar jumlah (SHU) yang d peroleh menjadi Rp. 6.540.000,- dan pada tahun 2001 SHU yang di peroleh menjadi Rp. 6.891.480.000,- atau meningkat sebesar 5,4% sdangkan untuk tahun 2002 SHU yang di peroleh menjadi Rp. 17.361.010.000,- ata meningkat sebesar 156% dan pada tahun 2003 SHU nya menjadi Rp. 15.185.100.000,- atau menurun sebesar 13,9%. Walaupun Koperasi simpan pinjam pada setiap operasinya selalu di laporkan mendaptkan SHU yang positif(untung) maka ini bukan berarti Koperasi simpan pinjam tersebut berada dalam kondisi sehat. Dan oleh karena itu untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi kesehatan koepasi simpa pinjam yang ada di kta Denpasar di perlukan analisa lebih lanjut mengenai aspek-aspek yang lain.
      Dariapa yang telah di paparkan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu bagaimana kondisi kesehatan koperasi Simpan Pinjam pada tahun 2003 yang ada Dikota Denpasar.
Penelitiian ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada pihak yang berkepentinhga tentang kondisi kesehatan Koperasi Simpan Pinjam pada tahun 2003 yang ada di kota Denpasar.
Penelitian ini berlokasi dikota Denpasar yaitu mengenai Koperasi Simpan Pinjam dengan mengambil obyek tentang Laporan Keuangan KSP untuk tahun 2003. Untuk membahas permasalan yang telah dirumuskan maka data yang diperlukan dikumpoulkan dengan cara wawancar, observasi dan surat-menyurat. Sedangkan jenis data yang di kumpulkan adalah data kualitatif dan kuantitatif. Mengingat keterbatasan waktu dan jumlah populasi 185 buah untuk koperasi pinjam dan 188 buah untuk unit simpan pinjam, maka untuk menentkan jumlah sample yang akan di ambil maka di gunakan metode Statifield Random Sampel, dimana populasi akan dibagi/digolongkan menjaadi 6(enam) kelompok yang didasrkan atas modal sendiri yang dimiliki oleh koperasi tersebut yaitu, kelompok Rp. 15.000.000,- sampai dengan Rp. 100.000.000,- kelompok B dengan modal sendiri diaras Rp. 100.000.000,- sampai dengan Rp. 200.000.000,- kelompok modal sendiri di atas Rp.200.000.000 sampai dengan p.300.000.000,- kelompok D dengan modal sendiri diats Rp.300.000.000,- sampai dengan Rp.400.000.000,- Kelompok E dengan modal sendiri diats Rp.400.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,- dan Kelompok F dengan modal sendiri diatas Rp. 500.000.000,- dan populasi yang telah di golongkan tadi tersebut stratum. Penggolongan ini dimaksudkan agar elemen-elemen dalam stratum relative homogin sedangkan proses penggolongan inin di sebut Stratifikasi. Karena adanya elative homogin maka jumlah sample yang d ambil dalam stratum sebanyak 5 buah untuk masing masing stratum sehingga jumlah sample keseluruhannya adalah 30 buah. Sedangkan cara pengumpulan datanya disebut dengan Stratifield Random Samplng. Data yang dikumpulkan akan di analisa dengan menggunakan analisa kualitatif dan analisa kuantitatif yang mampu mengacu ppada surat Keputusan Menteri Koperasi, Pngusaha Kecil dan Menengah nomor: 194/KEP/M/IX 1998 tentang Petunjuk Pelaksaan Penilaian Lesehatan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam, di sebutkan bahwa terdapat 5 aspek yang perlu dinilai pada koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam yaitu: Permodalan, Kualitas Aktiva produktif, Rentabilitas fan Likuiditas.

II. LANDASAN TEORI
        Koperasi  berasal dari bahasa Inggris yaitu co-operation yang artinya bekerja sama. Bekerja sama dimaksud disini adalah bekerja secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama karena adanya kesamaan latar belakang ekonomi.
        Dalam perekonomian Indonesia koperasi mempunyai peranan penting, Karena bentuk usaha ini sangat dicita-citakan oleh bangsa Indonesia sebagai banghun usaha yang paling cocok.Hal ini dengan jelas dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kehidupan koperasi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.12 tahun 1967 tanggal 18 Desember 1967 dan selanjutnya diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992. Menurut Undang-Undang ini yang dimaksud dengan koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan berlandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
      Ciri-ciri koperasi seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang adalah: (1). Koperasi merupakan kumpulan dari orang-orang , bukan kumpulan modal. Sehingga keanggotaan seseorang dalam koperasi bukan dilihat dari modal yang ditanamkan. Keanggotaan lebih dititikberatkan pada kemauannya bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Faham ini nantinya akan tercermin daam cara pembagian sisa hasil usaha, (2) Koperasi merupakan usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Tujuan utama koperasi adalah kesejahteraan seluruh anggota. Ini dapat dicapai dengan bekerja sama melakukan usaha. Anggota diwajibkan secara aktif berpartisipasi memajukan koperasi sehingga hasilnya bisa dinikmati bersama, (3) Setiap anggota koperasi mempunyai hak yang sama tanpa memandang pada besar kecilnya modal yang ditanam serta jasa yang diberikan. Dalam bentuk usaha yang lain hak suara biasanya tergantung pada modal yang ditanam atau jasa yang diberikan, (4) Keanggotaan dalam koperasi tidak dapat dipindahkan pada orang lain. Ia hanya dapat “ menjadi anggota” atau “tidak sama sekali” ini berbeda dengan kebanyakan bentuk usaha lain dimana pemilikan biasanya dipindahkan, dan (5) Tanggung Jawab anggota terhadap kerugian yang diderita baik yang timbul pada pembubaran koperasi dapat ditentukan terbatas atau tidak terbatas. Tanggung jawab terbatas pada umumnya dinyatakan dengan menetapkan suatu jumlah uang yang beberapa kali dari jumlah simpanan pokok.Apabila tanggung jawab dinyatakan tidak terbatas maka harta milik pribadi anggota dapat digunakan untuk menutupi kerugian yang terjadi.Tanggung jawab menanggung kerugian ini tidak lepas walaupun anggota yang bersangkutan telah keluar dari koperasi yaitu sepanjang kerugian tadi timbul sebagai akibat dari salah satu kejadian dimana yang bersangkutan masih menjadi anggota.Tanggung jawab terhadap kerugian tersebut setelah 12 bulan sejak anggota yang bersangkutan keluar dari koperasi.
       Kesehatan suatu lembaga keuangan termasuk didalamnya koperasi  simpan pinjam dan unit usaha simpan pinjam merupakan kepentingan semua pihak yang terkait baik pemilik modal dan pengusaha ataupun pengguna jasa. Dalam upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan memudahkan dalam pembinaannya maka koperasi itu perlu dinilai tentang kesehatannya.Penilaian dilakukan dengan melihat kepada aspek-aspek tertentu.Yang dimaksud dengan kesehatan suatu lembaga keuangan adalah suatu keadaan atau kondisi dimana lembaga keuangan tersebut setelah dilakukan penilaian terhadap aspek-aspek tertentu dapat dinyatakan dalam keadaan sehat, cukup sehat, kurang sehat dan tidak sehat.
       Tingkat kesehatan KSP/USP dapat diketahui dari jumlah skor pada masing-masing aspek yang dinilai seperti: Permodalan, Kualitas Aktiva produktif. Manajemen, Rentabilitas dan Likuiditas begitupun dengan BPR setelah dinilai CAMEL (Capital Adequacy Ratio, ssets, Manajemen, Earning Ratio dan Likuiditas). Predikat kesehatan adalah sebagai berikut:
Predikat sehat bila skornya 81-100
Predikat cukup sehat bila skornya 66-<81
Predikat kurang sehat bila skornya 51-<51
Predikat tidak sehat bila skornya --<51
        Penilaian kesehatan koperasi simpan pinjam/unit simpan pinjam didasarkan atas surat keputusan menteri koperasi, pengusaha kecil dan menengah Nomor: 194/KEP/M/IX/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Kesehatan Koperasi simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam disebutkan bahwa terdapat 5 aspek yang perlu dinilai pada Koperasi simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam yaitu: (1) Permodalan yang meliputi (bobot penilaian 20%); (a) Rasio Modal sendiri terhadap total asset, dam (b) Rasio modal sendiri terhadap pinjaman diberikan beresiko, (2) Kualitas Aktiva produktif yang meliputi (bobot penilaian 30%); (a) Rasio volume pinjaman pada anggota terhadap total volume pinjaman diberikan (bobot 10%), (b) Rasio resiko pinjaman bermasalah terhadap pinjaman diberikan (bobot 10%), (3) Manajemen yang meliputi (bobot penilaian 25%); (a) Permodalan (bobot penilaian 5%), (b) Kualitas Aktiva Produktif (bobot penilaian 5%), (c) Pengelolaan (bobot penilaian 5%), (d) Rentabilitas (bobot penilaian 5%) dan (e) Likuiditas (bobot penilaian 5%). (4) Rentabilitas yang meliputi;(bobot penilaian 15%) Penilaian kuantitatif terhadap rentabilitas didasarkan pada 3(tiga) rasio yaitu: (a) Rasio SHU sebelum pajak terhadap pendapatan operasional )bobot penilaian 5%), (b) Rasio SHU sebelum pajak terhadap total asset (bobot penilaian 5%) dan (c) Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (bobot penilaian 5%) dan (5) Likuiditas yaitu rasio pinjaman yang diberikan terhadap dana yang diterima (bobot penilaian 10%).
Setelah dilakukan penilaian terhadap semua komponen yang ada maka selanjutnya akan diperoleh skor secara keseluruhan. Skor dimaksud dipergunakan untuk menetapkan predikat tingkat kesehatan KSP/USP yang dibagi dalam 4 (empat) golongan yaitu sehat, cukup sehat, kurang sehat, dan tidak sehat.


NAMA             : SARAH ALIFAH
KELAS/NPM    : 2EB09/27211891
TAHUN            : 2011-2012

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 2



REVIEW 2
PENGUATAN USAHA KECIL MENENGAH DAN KOPERASI (UKMK) MELALUI PENDEKATAN KLASTER BISNIS
OLEH : H. ABDUL RASUL


Abstract
Cluster business approach is expected will be formed by a community in developed of UKMK, in the form of association group or in the organization. Three pillars of efficacy of supporting of dynamics cluster is the existence of support non financial (BDS), support financial for the activator of KSP/USP, and existence of association or instate becoming their representative. All the things will work in cluster, what is supported  by networkof information system becoming important instrument in existing activity. Development UKMK will work well if continuing to become the pure private sector organization with the market approach. This matter conducted function of to organization of construction UKMK in cluster function in more efficient and effective by running principle is profiting each other. As for development here in after can be conducted by replication centralwhich there have.

I. Pendahuluan 
Potensi yang sangat penting dan strategis dalam perekonomian nasional adalah sektor UKMK yang menyebar hingga keplosok pedesaan kontribusi UKMK juga amat  jelas. Usaha kecil dan Menengah yang jumlahnya dominan tersebut, mampu menyediakan ± 85,03persen lapangan kerja.hal ini berarti pada sektor dimana terbuka bagi masyarakat luas UKMK mempunyai sumbangan yang nyata. Sehingga kemampuan untuk melahirkan percepatan pemulihan ekonomi akan ikut  ditentukan oleh kemampuan menggerakkan UKMK.
Namun UKMK juga menghadapi berbagai permasalahan yang cukup krusial, setidaknya terdapat tiga permasalahan internal dan delapan permasalahan eksternal, yang merupakan problem klasik yang dihadapi UKMK.ktiga permasalahn internal tersebut adalah : (1) rendahnya kemampuan SDM; (2) ditinjau dari kosentrasi pekerjaan sumberdayanya; (3) kelembagaan usaha belum berkembang secara optimal dalam penyediaan fasilitas bagi kegiatan ekonomi rakyat.
Sementara kedelapan eksternal yang dimaksud adalah : (1) terbatasnya pengakuan dan jaminan keberadaan UKMK ; (2) kesulitan mendapatkan data yang jelas dan pasti tentang jumlah dan penyebaran UKMK; (3) Alokasi Kredit sebagai aspek pembiayaan masih sangat timpang, baik antar golongan, antar wilayah, dan antar desa-kota; (4) sebagian besar produk industri kecil memliki cirri atau karakteristik sebagai produk  fashion dan kerajinan dengan lifetime yang pendek; (5) rendahnya nilai tukar komoditi yang dihasilkan; (6) terbatasnya akses pasar; (7) terdapatnya pungutan-pungutan atau biaya siluman yang tidak proporsional; (8) munculnya krisis ekonomi denga berbagai implikasinya.
Beberapa problem lain yang juga tak kalah seriusnya antara lain, mekanisme perencanaan dari atas kebawah yang tidak efektif untuk mengatasi detail-detail problematika factual yang dihadapi UKMK; perumusan program yang tidak terkait dengan pra kondisi dasar pemberdayaan ekonomi rakyat (yakni mentalitas entrepreneurship), masih adanya kelompok-kelompok kepentingan dilingkaran kekuasaan; sehingga jaringan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang masih kuat.
Sejak krisis moneter muncul, dan kemudian diikuti krisis ekonomi lebih luas, dampak tidak menyenangkan dialami pula di sektor UKMK.hal-hal yang tidak menyenangkan  tersebut antara lain: (1) tingginya bunga kredit, sehingga suplay kredit berkurang, berakibat pada kurangnya sektor produksi; (2) tingginya biaya impor bahan baku dan suku cadang, yang mengakibatkan meningkatnya biaya produksi, sehingga keperluan modal kerja meningkat; (3) tingginya biaya untuk peresmian, peralatan dan suku cadang, yang berakitan dengan teknologi; (4) Cash flow terganggu akibat lambatnya pembayaran utang; (5) nilai tukar mata uang asing yang masih volatile, meningkatkan resiko transaksi antar Negara.

II. LANDASAN KEBIJAKAN
Pengembangan Pendekatan Pemberdayaan
Pemerintah selalu mendukung UKMK. Mengingat kontribusinya yang signifikan atas lapangan kerja, inovasi dan pertumbuhan. Dukungan pemerintah tersebut bertujuan memajukan sektor UKMK, agar bergairah dan tmbuh secara dinamis. Namun demikian biasanya dukungan pemerintah terhadap UKMK tersebut, tidak berjalan secara optimal.
Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan peran pemerintah kurang memuaskan dalam pemberdayaan UKMK. Pertama, relevansi pembinaan terhadap UKMK terbatas. Maksudnya penyediaan jasa berlandaskan pandangan sempit tentang kebutuhan UKMK, yaitu lebih banyak di tentukan dari sisi pemberian layanan (supply driven) dan bukan karena pengetahuan tentang apa yang di perlukan UKMK. Kedua, jangkauan sasaran terbatas hal ini di sebabkan oleh ketergantungan pada subsidi da ketentuan jenis banrtuan pemerintah terhadap UKMK. Akibatnya jumlah perusahaan yang menerima bantuan menjadi terbatas, terutama oleh jumlah dana yang di anggarkan pemerintah. Ketiga, kesinmbungan yang lemah. Kemacetan program yang tengah di jalankan terjadi akibat ketergantungannya pada dana pemerintah dan sifat mekanisme pemberian bantuan, akibatnya fatal ketika antuan dana di berhentikan atau seringkali hanya berlaku sekali saja.
Berdasarkan dari beberapa hal diatas, kni telah di kembangkan wacana praktek terbaik. (bst practice) dalam konteks perkembangn UKMK yang dapat di terapkan diberbagai Negara. Pengembangan UKMK di bedakan kedalam dua aspek: financial dan non financial.
Meskipun Indonesia telah lama memiliki program pengembangan usaha kecil/industry kecil namun dirasakan masih belum efektif dan berkelanjutan. Untuk itu ada satu persyaratan penting yang selama ini kita baikan yaitu: Focused, Strategic dan Colective approach. Untuk emungkinkan pendekatan yang cost effective dan Demand driven maka hanya dapat dilakukan bila “Cluster of Small Buseness” dapat beroperasi dalam kawasan yang dekat antara satu dengan yang lainnya serta memiliki keterkaitan yang kuat sebagai suatu system yang produktif. Cluster adaumumnya merupakan kecenderungan spontan dari usaha sejenis untuk melakukan kegiatan yang salneg mendekati. Meskipun terdapat berbgai macam bentuk cluster yng dkembangkan seperti Pusat Inkubasi Teknologi, Teknologi Park, Lingkungan Industri Kecil, Kawasan Berikat dan lain-lain Maupin sifatnya embrional seperti sentra industry yang menjadi focus adlah membangun dinamika klaster sehingga kegiatan UKMK yang ada di dalamnya dapat mencapai kemajuan.

Dukungan Non-Finansial
Dukungan non-finansial terdapat tiga hal: menciptakan business development service(BDS) atau jasa pngembangan usaha yang efektif penggunaan teknologi secara tepat vbagi pegembangan UKMK: fasilitas akses teknologi informasi dan telekomunikasi. Pendektan best practices pemenuhan pelayanan aspek non-finansial, setidaknya harus mempertibangkan prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Orientasi demand-side dan penyesuian terhadap kebutuhan pengguna ; (2) Subsidiarit (siapa dapat bekerja menghasilkan apa yang terbaik); (3) Terfokus, dengan pendekatan kolektis dan srategis; (4) Orintasi pasar dan bisnis; (5) Pengembalian ongkos (cost recovery); (6) subsidi silang dala pelayanan dan rekaan; (7) Brkesinambungan (financial dan kelembagaan) dan (8) Monitoring dan performance measurement.
Dalam rangka pengembangan BDS itu sendiri, di perlukan intervensi secra langsung, terutama dari pemerintah dan donor, sebgai upaya menghadapi kendala Institusional-Fundamental dan guna mengmbangkan pasar secara efektif.hal ini terkait dengan hambatan khas UKMK dan respon interpreneurshipnya secara tepat.
Penyedia BDS umumnya merupakan lembaga bisnis cari laba (for profit business) yang menyediakan jasa usaha secara langsung ke klien dengan suatu bayaran, atau d gabung dengan trasaksi komersial lainnya. Sedankan fasilitator BDS adalah lembaga internasional atau local yang menetapkan tujuan utamanya untuk mempromosikan pengembanganpasar local BDS. Cakupannya antara lain, beraneka ragam bagi penyedia BDS (misalnya, informasi, pendidikan mengenai potensi pembelia BDS). Fasilitator cari untung, tetapi prinsipnya harus dekat dan memahami car kerja pasar dan perusahaan meskpun mereka sendiri bukan pelaku langsung dalam pasar. Fasilitator BDS haruslah berada di luar pemerintah dan donor, meskipun harus bertanggung jawab kepada mereka, agar bisa berinteraksi secaa wajar dengan pelaku pasar.
Indicator pengembangan pasar, merupakan salah satu hal untuk mengukur kierja inervensi BDS di tingkt perusahaan, dan indicator pengukuran kinerja pada tingkat penyedia komersil BDS. Indicator pengembangan pasar, terkait dengan tiga dimensi pasar yang menjadi focus khusus dalam proses riset: ukuran, diversitas dan kemampuan bersaing, serta akses oleh kelompok yang kurang mendapat BDS.

Tipe Indikator Kunci Pengembangan Pasar
Strategi pengembangan BDS dalam konteks pengembangan UKMK, sebagaiman di uraikan di atas, sesungguhya merupakan embrio atas konsep klaster bisnis. Konsep klaster bisnis yang dimaksud dalam hal ini, setidaknya merupakan pendekatan baru, yang membedakan dengan dengan kebijakan-kebijakan  lama (controversial). Dengan demikian, ssungguhnya klaster bisnis bisa berkemang dengan tidak harus melibatkan intervensi langung pemerintah dan lembaga donor alam konteks pengembangan UKMK yang memang sudah seharusnya berorientasi bisnis.

Teknologi Pengembangan UKMK
Globalisasi dan Liberalisasi ekonomi dunia telah membuka kesempatanbagi perusahaan di seantero dunia, terutama Negara sedang berkembang, dengan memanfaatkan teknologi untuk meningkstjsn tingkat kompetitifnya. Namun demikian, agaknya bagi UKMK masih terdapat kesulitan untuk mengakses, memanaatkan dan menguasai teknologi. Padahal dengan penguasaan atau akuisisi teknologi secara baik, akan di dapatkan efektifitas dan efisiensi dalam soal waktu, biya dan resiko, teruatam dalam mengembangkan perusahaan UKMK yeng professional.
Akuisisi merentang dalam berbagai bentuk, mulai ari aspek pembelanjaan (purchases), Franchising, Licensing hingga aliansi strategi antara perusahaan dengan pihak yang menguasai program-program teknologi dlam konteks transfer teknologi.
Penguasaan teknologi terkait dengan segala aspe yang menyertainya pengembangan UKMK, dari mulai pengadaan bahan baku, pengolahan dan peningkatan mutu produ, distribusi dan kelayakan atas komoditi pasar yang ada. Dengan demikian, diharapkan UKMK akan semakin efektif dan efesien, memenuhi kebutuhan skala local, bahkan jika memungkinkan kebutuhan dalam skala international.
Rintangan klasik dalam upaya penguasaan teknologi adalah kurangnya kapasitas local dan keahlian untuk menyeleksi, memperoleh, meghadapi dan mengasimilasi teknologi, seiring dengan keterbatasan dan ekurangan sarana financial, sebagaimana pula dalam penguasaan informasi secara baik. Padahal, biasanya UKMK bisa menentang kehadiran resiko lebih parah, bila mereka mampu melakukan inovasi yang didasarkan pada teknologi baru.
Walaupun memliki keterbatasan, formt baru yang dikmbangkan denga memakai teknologi yang tepat, merupakan awal yang baik bagi tumbuhnya pendapatan yang akan di peroleh perusahaan, baik dalam jangka panjang, maupun jangka pendek. Gambaran umum atas format baru yang dimaksud, terkait dengan kemampuan untuk mengambangkan produk baru, dengan melibatkan teknologi dan proses yang terkait dengannya, aau dengan memproduksi dan memasarkan produk baru tersebut.
Sedah menjadi catatan umum bahwa transfer teknologi menjadi proses penting dan merupakan kunci bagi perusahaan UKMK, dalam konteks penguatan dn pengembangan inovasi, serta kabilitas perusahaan dalam menumbuhkan industry dan kompetisi internasional. Dengan mempelajari teknologi, bagaimanapun, tidak akan menempatkan mereka dalam isolasi atau ketetutupan dengan yang lain. Lebih dari tiu, perspektif novasi teknologi membuat mereka mampu berinteraksi dalam dan antar perusahaan, dengan para supplier, para rekanan (clients), serta struktur pendukung local (Local Support Structures), seperti lembaga litbang dan produktivitas, lembaga kredit, universitas dan para pembuat kebijakan (Policy Maker).
Peran pemerintah dalam hal ini matlah signifikan. Pemerintah sebagai fasilitator, mengkinkan untuk menciptakan situasi kondusif bagi pengembangan dan penguasaan teknologi, seta merangsang berbagai inovasi atas penguasaan teknologi, yang utama adalah menumbuhkan semangat belajar untuk menguasai teknologi baru yang berkembang demikian cepat. Kendalanya, selama ini berbagai perusahaan dengan tingkat yang berbeda-beda mencoba mempelajari sendiri penguasaan teknologi sehingga hasilnya adalah kesulitan untuk mendapatkan strategi inovasi. Alam konteks ini unsure fleksibilitas memang penting, teruatam dalam konteks kebijakan dinamis. Dibutuhkan interaks antara penentuan kebijakan dengan actor UKMK dalam mengembangkan proses pengembangan UKMK berbasis teknologi ang terkait dengan investasi dan peasarn.
Pengembangan kapabilitas local untuk mentransfer teknologi dan invasi, di butuhkan kolaborasi, jaringan dan klaster. Hal ini memungkinkan perusahaan UKMK untuk memperhitungkan tingkat resiko dan biaya, dalam megakses pasar, baik yang terkait dengan perusahaan kecil, sedang (menegah) dan besar, juga dalam konteks tukar menukar informasi (sebagai contoh, dalam hal pengembangan teknologi dan pemasaran produk-produk alami) serta hubungan komersial.
Pendukung teknis dan komersial semisal, laboratorium litbang, pusat transfer teknologi, fasilitas control kualitas, dan agensi promosi ekspor, haruslah di kembangkan secara seksama. Demikian pula menyoal penciptaan desain dlam memperoleh dan memanfatkan informasi atas jasa teknologi, kaitannya dengan pengembangan UKMK. Dukungan atas dasar struktur teknis dan komersial di atas memerlukan identiikasi atas kebutuhan, kesesuaian, adaptasi dan aspek follow-up-nya dalam kontek post-transper teknologi. Dalam hal ni, masing-masing Negara berkembang berkesmptan untuk mengembangkan UKMK dengan selalu memperhatikan perkembangan teknologi ang ada, tentu saja, bila tak mau ketinggalan dengan yang lain.

Fasilitas Akses Teknologi dan Telekomunikasi.
Teknologi informasi dan telekomunikasi telah merambah ke sektor ekonomi, termasuk di dalamnya komoditi primer, manufaktur, dan jasa. Pentingnya penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi makin dirasakan manfaatnya, terutama dalam mengantisipasi perkembangan dan kompetisi usaha yang makin dinamis. Teknologi informasi dan telekomunikasi memberi kesempatan pada perusahaan untuk memperoleh informasi yg signifikan bagi upaya mengembangkan usahanya, dan sebagai akibatnya bisa di capai optimalisasi efektiftas dan efisiensi usaha. Diakui perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, memicu upaya-upaya efektifitas dan efisieni usaha dan dengan demikian manfaatnya bagi perusahaan, tak saja mereka tetap eksis dan bertahan, melainkan di harapkan mampu melakukan inovasi dan langkah-langkah maju.
Dengan penguasaan dan pemanfaatan yang optimal akan teknolgi informasi dan telekomunikasi. UKMK berkesempatan untuk “memenangkan” kompetisi ekonomi global, terutama dari sudut penguasaan informasi. Mereka terpacu untuk mengembangkan kualitas produk berdasarkan standar internasional, serta membangun aliansi strategi dan hubunan kerjasama saling (cossbordrer partnership) antara perusahaan d berbagai Negara. Pemanfaatan internet secara optimal juga mampu menekan biaya yang signifikan bagi UKMK, terutama dalam mengiklankan (advertises) dan mempromosikan produk-produk dan kontrak antara buyer an suppliers dan berbagai tingkatan.
Penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi amat bermanfaat bagi pengembangan internal perusahaan, serta keperluan interconnections dengan pasar dan Supplier. Penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi, sesnungguhnya tidak anya terbatas pada kapabilitas teknis tetapi juga, yang lebih penting lagi adalah kaitannya dengan efektifitas perencanaan da kemampua organisasional. Pemerintah sebagai pihak fasilitator sudah selayaknya membantu mengembangkan infra-struktur teknologi informasi dan telekomunikasi, dan juga menciptakan berbagai aturan kebijakan yang konstruktif dan meransang inofasi serta berkepentingan untuk memasyratkan penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi pegembangan UKMK.

Dukungan Finansial  
Diatas telah di paparkan aspek non-finansial dalam pendekatan praktek terbaik pengembangan UKMK. Kini saatnya menyimak pendekatan praktek terbaik pada aspek financial. Dalam kontek ini di bahas hambatan utama pembiayaan UKMK dan eksitensi financial keterbtasannya.
1. Hambatan Utama Pembiayaan UKMK
Keterbatasan pembiayaan bagi pengembangan UKMK, merupakan persoalan klasik yang banyak di jumpai di Negara sedang berkembang. Hal itu mempengaruhi tingkat produksi dan pertumbuhannya. Dana –dana public yang disedikan Negara untuk mengembangkan UKMK di salurkan melalui lembaga financial khusus seperti misalnya bank pembangunan industry dan agrobisnis. Bank-bank komersial di harapkan mampu mendorong patisipasinya di sektor ini melalui kuota penjaminan, subsidi, pemasukan pajak, dan penjaminan terhadap kegagalan. Bank-bank pembangunan milik pemerintah di Negara-negara sedang berkembang telah menunjukan sedikit banyak kesuksesannyadalam memfasilitasi perkembangan UKMK. Bayak lembaga-lembaga pengembangan financial telah memungkinkan operasinya berorientasi profit untuk di terapkan pada UKMK. Banyak ahli menilai bahwa kegagalan program pemberian kreditangsung, disebabkan antara lain oleh keterbatasan pengaruh mereka ats kekuatan pasar yang tergantung pada tingkat suku bunga dan juga kurangnya mobilisasi tabungan dalam desain program kredit mereka. Ditambah lagi, dingara-negara yangkurang aktif dalam mengembangkan pasar capital mereka pun menggunakan modal amat terbatas yang dimilikinya untuk memulai dan menyambung usahanya.

2. Eksistensi Jasa Finansial dan Keterbatasannya
Berikut ini dijelaskan scara sinkat hal-hal berkaitan dengan jenis-jenis jasa financial serta beberapa hal yang meligkupinya antara lain:
a. Sektor Jasa Finansial 
Sektor jasa financial formal, terutama bank – bank komersial, menujukkan kesukaran dalam menumbuhkan UKMK dalam akses penguasaan modal kaital :
Laba yang sedikit atau tak ada sama sekali, bila berurusan dengan sektor IKMK.
Merupakan pasar yang tidak komplit (inclomete market ) untuk instrument financial, khususnya untuk utang jangka panjang
Membutuhkan waktu lama ], darilamanya negosiasi dan prosesnya hingga diseetuju 9approval)
Respon yang lambat dalam merubah kebutuhan ha k – hak dalam lingkungan yang berubah
Produk – produk financial yang berorientasi non pelanggan (non – custimezed) dan
Jasa jasa untuk kebutuhan individual
Halangan – halangan itu makin membuat kondisi lebih buruk di Negara – Negara sedang berkembang yang pasar modal finansialnya lemah, keahlian pengelola financial yang terbatas dn regulasi serta iklim politik yang tidak stabil.
b. Sektor – sektor jasa financial informal
Pembiayaan informal ternyata telah memainkanperan dan pengaruhnya yng luas dlam soal fiansial bagi UKMK di Negara – Negara sedang berkembang. Termasuk dalam hal ini ntara lain modal dari para pemberi hutang individual (individual moneylenders), dan asosiasi pemberi pinjaman dan perusahaan – perusahan mitra (partnership firm) sektor jasa financial dicirikan oleh :
Adanya fleksibilitas (keluwesan) da kecepatan (speed)
Memerlukan biaya – biaya tranksaksi yang inggi atau bersifat high transaction cost
Tingkat bunga yang melebihi rata – rata
Pinjaman berskala kecil dalam jangka waktu pendek
Pengembalian utang yang tinggi bagi peminjam yang mengandalkan prosedur tertutup, ketelitian dalam memonitor para peminjam, mengandalkan kedekatan dengan para peminjam dan adanya tekanan pada unsure ketelitian.
c. Pemisahan atas lembaga financial dana bank – bank pembangunan (development banks)
Banyak Negara yang telah mapan (established) memisahkan lembaga finansia mereka, dlam menyediaan kredit khusus bagi UKMK. Enampilan dari lembaga financial khusus bagi UKMK dan bank pembangunan dicirikan ole :
Kecilnya kemampuan menghasilkan lba (profitability)
Biaya administrasi yang tinggi
Ekspansi horizontal atas jasa ;jasa, termasuk asistensi teknikal, pelatihan dna sebagainya.
Ekspansi jasa jasa termasuk pinjaman dari perusahaa besar
Ketergantungan pada subsidi pemerintah, pembubaran (dissolution) atau likuidasi (liquidation)
d. Skema penjaminan
Beberapa lembaga financial internasional dan pemerintah yang memiliki skema garansi (penjmian) yang mapan (established) telah mampu mendorong bank – bank komersial meminjamkan danannya unruk pembangunan UKMK. Dengan remi 1 sampai dengan 3 persen akan tergransi hingga diatas 80%. Pengalaman atas skema penjaminan bagi UKM, menunjukkan masih banyak yang gagal dan sedikit yang sukses. Salah satu problem utamanya adalah persoalan kesinambungan aktivitas yang dijalankan, ang memakan waktu lama, apa lagi setelah memperoleh dana dari pemerintah dan lembaga donor. Dalam banyak kasus UKMK yang telah memperoleh dana pinjaman unuk investasi, ternyata tiak bisa memafaatkannya dengan baik.\, dengan demikian hal ini menumbuhkan tingkat resiko yang tinggi bagi penjaminnya.
e. Leasing
Leasing financial adalah sebuah persetujuan kontrak dimana UKMK dapat memanfaatkan asset yang ad dengan membayar sewa yang ditetapkan. Biasanya karena perusahaan leasing yang memiliki asset, maka uang sewa yang diberikan lebih dianggap sebagai biaya operasi ketimbang financing charge. Perusahaan leasing biasanya pula menekankan agar UKMK mampu mengelola cashflow-nya. Biasanya mereka mencadangkan 10% untuk biaya keamanan, dan akan berakhir setelah 3 hingga 5 tahun. Leasing, bagaimanapun merupakan salah satu cara bagi UKMK untuk memecahkan problema kebutuhan modal jangka menengah. Biasanya UKMK di Negara – Negara sedang berkembang menggantungkan keuntungan mereka pada penggunaan (atas manfaat ) transper teknologi yang ada, sehingga banyak membutuhkan kebutuhan financial jangka menengah.
f. Dana  Modal Ventura
Dna modal ventura adalah sebuah mekanime investai yang teriri dari modal equity dan asisteni manajerial untuk membutuhkan perusahaan. Sebagai target perusahaan untuk mengembangka produk dan jasa baru, penyedia modal ventura melakukan tugasnya dengan mengatasi kendala – kendala biaya UKMK.
Dalam rangka memperkuat perodalan UKMK terutama di permodalan UKMK, maka perlu dilaksanakan program perkuatan permodalan dan lembaga keuangan bagi UKMK melalui penyediaan Modal Awal dan Pendanaan (MAP). Tujuannya adalah untuk menstimulasi pengembangan permodlan UKMK melalui koperasi serta menggalang partisipasi sebagai pihak dalam pegembanga basis permodalan UKMK. Meliha pengalaman dan catatan – catatan keberhasilan atas fenomena klaster UKMK, maka tidak ada salahnya dan telah menjadi suatu yang tepat bila, strategi clustering bagi UKMK diterapkan di Indonesia. Apalagi dalam setahun dijalankannya konsep ini telah memperlihatkan bukti – bukti dan perkembangan yang cukup menggembirakan  dengan menggambungkannya dengan strategi best practices pengembangan UKMK yang telah diakui keunggulannya secara internasional, maka diharapkan dapat ditemukan strategi lusering yang tepat , rasional, eektif dan efsien.
Tentu saja, penerapan strategi klaster bisnis, memerlukan peran pemerintah, terutama dalam mendukung pihak – pihak yang menyediakan jasa pelayanan pengembangan sentra – sentra UKMK terpilih. Disadari bahwa perkembangan klaster sangat ditentukan oleh potensi pertumbuhan produksi klaster. Untuk menilai potensi pertumbuhan digunakan dua factor utama yaitu factor kesempatan bagi pertumbuhan klaster yang dapat dilihat dari kondisi permintaan dan penawaran, pesaing dan keterikatan industry, sementara disisi lain untuk tujuan pengembangan kemampuan perencanaan dan tindakan utuk menyambut (ation taking capacity) yang menilai kesiapan klaster untuk memeperoleh sentuhan dari luar.

PENUTUP
Dengan pendekatan ini dharapkan akan terbentuk sebuah komunitas dalam pengembangan UKMK, dalam bentuk asosiasi, perhimpunan atau dalam bentuk organisasi lain. Karna sifatnya Pembinaan maka lembaga ini merupakan lembaga non rofit yang terdiri dari para stakeholder. UKMK yang melakukan pengembangan secara mandiri .
Perlu diingat bahwa tiga pilar keberhasilan penopang dinamika adalah adanya dukungn non financial(BDS), dukungn financial unuk penggerak (KSP/USP), dan adanya asosiasi atau lembaga yang menjadi representasi/perwakilan mereka. Kesemuanya itu akan bekerja dalam klaster, yang didukung oelh jaringa system informasi yang menjadi instrument peting dalam penyelesaian kegiatan-kegiatan yang ada.
Karena itu proses pengembangan akan berjalan baik apabila berlanjut menjadi lembaga swasta murni, dengan pendekatan pasar. Hal ini dilakukan agar fungsi kelembagaan pembinaan UKMK did lam Klaster berfungsi secara lebih efisien dan efektif dengan menjalankan prinsip saling menguntungkan. Adapun pengembangan selanjutnya dapat dilakukan dengan replikasi terhadap sentra-sentra yang telah ada.

NAMA          : Sarah Alifah
KELAS/NPM : 2EB09/27211891
TAHUN         : 2011-2012

Sabtu, 29 Desember 2012

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 5



REVIEW 9
EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN DAN LATIHAN PADA KOPERASI PONDOK PESANTREN
Diringkas oleh : Burhanuddin R.



V. Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1.    Kesimpulan

  1. Pesantren memiliki landasan ideal dan praktis yakni sebagai bagian dari upaya kegiatan pengembangan dalam proses belajar mengajar di lingkungan warga pesantren. Kopontren juga berfungsi sebagai faktor penopang bagi penumbuhan ekonomi Pesantren yang berakar pada santri dan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Berdasarkan pemikiran ini Diklat Perkoperasian akan menjadi salah satu aktivitas yang dapat membantu pengembangan ekonomi pesantren.
  2. Tingkat akselerasi pertumbuhan dan perkembangan Kopontren terkait erat dengan partisipasi masyarakat sekitarnya dalam mendukung kegiatan usahanya. Hal ini berarti Diklat Perkoperasian selayaknya mengarah pada jenis-jenis pelatihan yang menopang program usaha Kopontren.
  3. Dalam prakteknya Diklat Perkoperasian yang pernah diselenggarakan oleh berbagai penylenggara, masih memiliki celah-celah kekurangan. Dari sisi internal adalah kurikulum berupa materi pealtihan kurang sesuai dengan ushaa Kopontren, ketidakseimbangan antara penyampaian teori dan praktek lapangan, kompetensi pelatih/instruktur yang belum sepadan dengan kepentingan usaha koperasi pesantren, rentang waktu pelatihan yang belum sejalan dengan harapan peserta. Selanjutnya, dari sisi eksternal adalah kurangnya pemupukan modal usaha Kopontren pasca Diklat serta minimnya program pendampingan dalam hal pemasaran, dan penguatan jaringan kemitraan Kopontren terhadap sentra industry di sekitar Pesantren. Disamping itu pihak peserta dan pelatih/instruktur mengeluhkan minimnya insentif selama pelatihan berlangsung. Sementara pihak manajer dan pejabat dinas mengeluhkan hal yang sama yakni minimnya anggaran biaya pelatihan.
  4. Kecenderungan ekonomi masyarakt di Indonesia sekarang ini mengarah kepada pola syariah. Pihak koperasi pesantren membutuhkan pengayaan konsep Koperasi Pola Syariah yang lebih mendalam sehingga tidak ketinggalan dari pola perbankan konvensional.
  5. Pelatihan Koperasi di masa mendatang sepatuhnya merupakan hasil pilihan yang kompromi diantara berbagai kalangan mulai dari pihak penyelenggara/instansi terkait, peserta dan pengelola koperasi pesantren, perguruan tinggi, LSM dan lembaga keuangan terkait. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa elemen yang berhubungan dengan input, proses, output, outcome dan impact merupakan tahapan-tahapan yang tidak boleh lepas dari semua stakeholders.
  6. Jaringan asosiasi Kopontren merupakan satu kekuatan organisasi yang dapat digerakkan sebagai wadah yang mampu mendukung sinergi pengembangan Kopontren dalam mengatasi segala permasalahan Kopontren di tingkat nasional, regional danlokal.
  7. Indikator keberhasilan dan kekurangberhasilan pelatihan bagi Kopontren tidak saja ditentukan oleh tingkat pengorganisasian pelatihan selama proses belajar-mengajar dalam pelatihan. Akan tetapi juga oleh hasil pembinaan pasca pelatihan. Oleh karena itu Diklat Perkopersian yang selama ini dilaksanakan oleh berbagai pihak patut diteruskan dengan melakukan berbagai penyesuaian dan perbaikan.


5.2.    Rekomendasi
          Beberapa rekomendasi sebagai bahan pertimbangan Kementrian KUKM adalah sebagai berikut :

  1. Kementrian KUKM perlu mengupayakan kerjasama pembinaan Pesantren dengan Departemen Agama dalam hal pengembangan modal dan saran KOpontren. Dengan kata lain pasca pelatihan, KOpontren secara selektif patut diberi suntikan modal untuk peningkatan diri(self sustaining growth) untuk aktivitas  usahanya.
  2. Cakupan peserta Diklat Perkoperasian perlu diperluas dan tidak terfokus pada Pengurus Kopontren dan Pengelola Pesantren saja, kemudian secara khusus atau periodic ditujukan kepada kalangan sendiri.
  3. Agar berhasil pelatihan koperasi secara intensif diefektifkan oleh alumni peserta Diklat dalam mengembangkan Kopontren, maka diperlukan upaya perumusan strategi system monitoring dan penyuluhan yang berkesinambungan dari pihak Kementrian KUKM pasca pelatihan.
  4. Perlu penelitian lanjutan tentang respons masyarakat terhadap Kopontren untuk mendapatkan perspektif Kopontren di tengah masyarakat.
  5. Pembinaan Kopontren harus diupayakan secara berimbang antara Pesantren wilayah pertanian, perikanan, Aneka jasa, kerajinan dan ketrampilan teknis, dan lain-lain. Diperlukan pula fasilitas pembentukan jaringan kemitraan dengan sentre-sentra industry di sekitar pesantren. Sehingga konsep koperasi dapat dituangkan kedalam wilayah usaha yang lebih luas. Dengan demikian Kopontren dapat lebih berperan dalam mengantisipasi tengkuak atau praktek ijon pada masyarakat sekitar Pesan tren.
  6. Secara periodic ada baiknya diadakan pertemuan antara pihak Kementrian KUKM, Pihak Manajemen Industri dengan Kyai dan PEngelola Kopontren untuk member penguatan yang berkelanjutan tentang urgensi koperasi di Pesantren. Dengan demikian sebahagian ekonomi tidak tergantung pada system moneter tapi pada mekanisme produksi serta pasar local.

NAMA          : Sarah Alifah
KELAS/NPM : 2EB09/27211891
TAHUN         : 2011-2012

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 5


Review 8
EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN DAN LATIHAN PADA KOPERASI PONDOK PESANTREN
Diringkas oleh : Burhanuddin R.


VII. Hasil dan Pembahasan Kajian 
Profil Kopontren di Lokasi Sampel
Dari hasil sego setting wilayah penelitian, data kajian diperoleh wilayah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, dan secara keseluruhan meliputi beberapa daerah tingkat dua yaitu, Kabupaten Sukabumi, Tasikmalaya, Subang, Cirebon, Bekasi, Madiun, Kediri, Malang, Situbondo dan Jombang. Dari segi kualitas, jumlah Kopontren di Indonesia menurut data Proyek Peningkatan Ponpes Departemen Agama terdapat sekitar 1.400 unit dan tidak kurang dari 30 persen berada di Provinsi Jawa Timur, kemudian sekitar 17 persen diantaranya berlokasi di Jawa Barat. Khusus di provinsi Jawa Timur, sebanyak 53 persen ponpes berada di lokasi pemukiman, sekitar 23 persen berlokasi di daerah pertanian, 15 persen di daerah pegunungan, masing-masing sekitar lima persen di daerah tepian sungai dan di kawasan pantaidua persen didaerah industri dan kurang dari satu persen berada di daerah pedalaman. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat, sekitar 47 persen berdekatan dengan lokasi pemukiman, 32 persen berlokasi di daerah pertanian, kemudian disusul 17 persen didaerah pegunungan, masing-masing sekitar 3 persen di daerah tepian sungai dan si kawasan pantai, dua persen di daerah industry dan kurang dari satu persen berlokasi di daerah pedalaman. Hal ini mengindikasikan potensi Kopontren untuk berinteraski dengan masyarakat di sekitarnya ternyata cukup besar.

Aspek Jenis Pelatihan
Kategori Diklat yang diselenggarakan untuk Kopontren terbagi atas dua, yakni pelatihan untuk Pengurus Kopontren dan Pimpinan Ponpes, kemudian pelatihan untuk Pengurus Kopontren dan Pimpinan Ponpes, kemudian pelatihan untuk Pelatih Manajer, dan Pejabat Dinas/Pembina. Sedangkan jenis pelatihan yang telah dilaksanakan Kementrian KUKM adalah sebagaimana tercantum dalam tabel berikut.

Tabel 1. Jenis-jenis pelatihan yang telah diselenggarakan


Jenis Pelatihan ini adalah akumulasi dari Diklat yang pernah diikuti, dan tidak semua responden mengikuti seluruh jenis pelatihan tersebut.
Berdasarkan sebaran data untuk jenis pelatihan yang pernah diikuti diperoleh gambaran sebagai berikut :
Diklat Kewirausahaan diikuti oleh 65 orang anggota kopontren (40,1 persen), Pelatihan untuk Pengelola Koperasi sejumlah 54 orang (33 persen), Manajemen Simpan PinjamPola Syariah 52 orang (32,1 persen), selebihnya frekuensi intensitasnya kurang dari 10 persen.
Pimpina Ponpes yang mengikuti jenis pelatihan Kewirausahaan sejumlah 18 orang(56,3 persen), MAnajemen Simpan Pinjam POla Syariah 16 orang(50,0 persen), selebihnya frekuensi intensitas keikutsertaannya kurang dari 20 persen.
Pengurus Kopontren yang mengikuti jenis Pelatihan Manajemen Keuangan Koperasi sebanyak 36 orang(49 persen), Kewirausahaan sejumlah 32 orang (43,2 persen), Pelatihan Usaha Simpan Pinjam 54 orang(33 persen), Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 52 orang(32,1 persen), selebihnya frekuensi intensitas keikutsertaannya kurang dari lima persen.
Pelatih yang menyatakan jenis pelatihan yang pernah dilaksanakan Manajemen Keuangan Koperasi dan Kewirausahaan sejumlah 18 orang(62,1 persen), Bisnis/Strategi Pengembangan Usaha sejumlah 15 orang (51,7 persen), Pelatihan untuk Pengelolaan Koperasi 13 orang(44,8 persen), selebihnya frekuensi intesitas pelaksanaannya kurang dari 10 persen.
Manajer Pelatihan seluruhnya telah melaksanakn jenis pelatihan Manajemen Keuangan Koperasi sejumlah 12 orang(100 persen), Kewirausahaan sejumlah 8 orang(66,7 persen), Bisnis/Strategi Pengembangan Usaha dan Pelatihan untuk Pengelola Koperasi sejumlah 7 orang (58,3 persen).

Asepek Jenis Pelatihan yang Mendukung Usaha Kopontren
         Berdasarkan sebaran data dari hasil penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut :

  1. Peserta Pelatihan yang menyatakn jenis pelatihan yang mendukung usaha Kopontren: Kewirausahaan sejumlah 54 dari 162 orang (33.3 persen), Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 52 orang (32,1 persen), selebihnya menyatakn kurang mendukung usaha Kopontren.
  2. Pimpinan Ponppes yang menyatakan jenis pelatihan yang mendukung usaha Kopontren : Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 19 orang (59,4 persen), Kewirausahaan 16 orang (50 persen), selebihnya menyatakan kurang mendukung.
  3. Pengurus Kopontren yang menyatakan jenis pelatihan yang mendukung usaha Kopontren : Manajemen Keuangan Koperasi sejumlah 42 orang (56,8 persen), Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 32 orang(43,2 persen), selebihnya menyatakan kurang mendukung.
  4. Pelatih yang menyatak jenis pelatihan yang pernah dilaksanakan dan mendukung usaha Kopontren : Pelatihan Perkoperasian sejumlah 19 orang (65,5 persen), Kewirausahaan sejumlah 17 orang (58,6 persen), selebihnya frekuensi intesitas jawabannya kurang.
  5. Manajer Pelatihan : yang menyatakan jenis pelatihan yang pernah dilaksanakan dan mendukung usaha Kopontren : Manajemen Keuangan Koperasi sejumlah 8 orang (66,7 persen), Kewirausahaan sejumlah 7 orang (58,3 persen)
  6. Rata-rata PEjabat Dinas menyatakan jenis pelatihan yang mendukung usaha Kopontren adalah : Manajemen Simpan Pinjam POla Syariah sejulah 8 orang (57,1 persen), Bisnis Plan/Strategi Pengembangan dan Manajemen Keuangan Koperasi sejumlah 7 orang (50 persen)


Aspek Kendala Pelatihan
         Intensitas jawaban responden dalam menjawab kendala dari segi input yang pernah mereka alami selama mengikuti pelatihan dapat dinarasikan bahwa sebagian besar responden menjawab sebagai berikut :
Tidak seimbangnya antara Penyampaian Teori dan Praktik Lapangan sejumlah 158 orang (48,9 persen)
Tugas Praktik Lapangan Kurang Diperhatikan, sejumlah 147 orang (45,5 persen)
Materi Kurang Mengarah Pada Pengembangan Usaha Kopontren sejumlah 115 orang (35,5 persen)


Aspek Penyelenggaraan Pelatihan
Menurut responden dari kalangan pesantren, penyelenggara pelatihan koperasi yang pernah mereka ikuti adalah : Dinas Koperasi tingkat Provinsi, Balatkop, Pemda Provinsi, Kementrian KUKM, LSm Perguruan Tinggi dan Pengurus Kopontren itu sendiri. Berdasarkan sebaran data yang diperoleh dapat dideskripsikan sebagai berikut.

  • Dilakssanakan oleh Balatkop, sejumlah 146 orang (45,2 persen)
  • Dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten/Kotamadya, sejumlah 131 orang (40,6 persen)


Aspek Penyelenggaraan Pelatihan Terbaik
Intesitas jawaban responden dalam menjawab penyelenggaraan pelatihan terbaik dinarasikan sebagai berikut :

  • Dilaksanakan oleh Baltkop, sejumlah 162 orang (50,2 persen)
  • Dilaksanakn oleh Pemda kabupaten/Kotamadya, sejumlah 65 orang (20,1 persen)


Aspek Dampak Pelatihan
Dampak pelatihan bagi Kopontren dapat dinilai oleh responden dari sisi pelaksanaan tugas atau pekerjaan yang paling terlaksana dengan lebih baik di lingkungan Kopontren. Dari hasil penilaian ini ternyata sebagian besar reesponden menjawab :
Pengelolaan Usaha Sipan Pinjam menjadi lebih baik, sejumlah 113 orang (35 persen)
Pengeloalaan Administrasi/Tata Usaha Kopontren menjadi lebih baik, sejumlah 63 orang(19,5 persen)

Aspek Saran dan Harapan Terhadap Pelatihan
Dari hasil penelitian ini diperoleh rata-rata terbesar jawaban responden yang menilai bahwa pihak yang dianggap mampu meningkatkan ketrampilan dan pengembangan bagi Kopontren adalah yang dilaksanakan dalam bentuk kerjasama antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Otonomi Daerah setempat. Sedangkan dari sisi penyelenggara diklat non pemerintah sejumlah 216 orang (66,9 persen) member jawaban bahwa yang diharapkan memberikan pelatihan bagi Kopontren adalah Dekopin dan Perguruan Tinggi (83 orang atau 2,7 persen). Terkait dengan Program Pelatihan, tanggapan responden terhadap perbaikan atau penyempurnaan yang perlu di antisipasi adalah sebagai berikut :

  1. Mutu Pelatih, dari sejumlah 164 responden ( 50,8 persen)
  2. Uang saku PElatihan, sejumlah 161 orang (49,8 persen)
  3. Anggaran Biaya, sejumlah 154 orang (47,7 persen)
  4. Kurikulum Pelatihan, sejumlah 140 orang (44 persen)
  5. Metode Pelatihan, sejumlah 140 orang (43,3 persen)
  6. Kelengkapan Peralatan Pelatihan, sejumlah 130 orang (40,2 persen)
  7. Bahan-bahan Pelatihan, 109 orang (33,7 persen)
  8. Waktu Pelatihan, 105 orang (32,5 persen)

         Mengenai waktu atau lama pelaksanaan Diklat bagi Kopontren, rata-rata responden (147 orang atau 45,5 persen) menjawab lama pelaksanaan pelatihan yang efektif dan diinginkan adalah tidak lebih dari tujuh hari(1 minggu).

Analisis Hubungan antara Input Pelatihan dengan Hasil Pelatihan Ditinjau dari Kinerja Kopontren
Pengukuran dilakukan dengan probabilitas uji Vhi-Square dan hasil uji menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan kinerja Kopontren. Input pelatihan dimaksud adalah materi, metode, teori, praktek lapangan, sarana dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan pengembangan wacana koperasi yang berhubungan dengan kemapuan peserta, mudah menyelesaikan tugas dan tanggung jawab serta menyesuaikan diri dengan lingkungan usaha Kopontren atau instasi lain
        Tingkat keeratan Hubungan Input Pelatihan dengan Hasil Pelatihan daeri segi kinerja Kopontren, diperoleh dari nilai koefisien kontingensi diantara dua variable sebesar 0,476 yang berarti hubungan anatara kedua variable memiliki tingkat keberlakuan ini menyatakan bahwa kemungkinan (probabilita) keberlakuan hubungan dengan nilai 0,476 adalah sebesar 99,99 persen.
        Analisis Hubungan Antara Input Pelatihan dengan Pengetahuan Perkoperasian Pasca Pelatihan, dilakukan melalui uji Chi-square. Hasil analisis menyajikan kesimpulan bahwa terdapat hubungan anatara input pelatihan yang diterima dengan pengetahuan Perkoperasian Rsponden PAsca Paltihan. Artinya, Materi, metode, teori, praktek lapangan, sarana dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan pengembangan wacana koperasi berhubugan dengan pengelolaan usaha jasa dan barang, simpan pinjam, penjualan/pemasaran pengelolaan bahan baku, pendidikan dan latihananggota Kopontren, administrasi dan tata usaha, pengelolaan teknik produksi, keuangan dan pergudangan.
        Tingkat keeratan kedua variable tersebut diperoleh dari nilai koefisien kontingensisebesar 0,458 yang berarti hubungan anatara kedua variable me iliki tingkat yang cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,001. Tingkat keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probabilita) keberlakuan hubungan dengan nilai sebesar 0,459 adalah 99,99 persen.
Nalisi Hubungan Antara Input Pelatihan dengan Sosialisasi Pengetahuan Perkoperasian Pasca Pelatihan, berakhir pada kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan Sosialisasi responden terhadap Pengetahuan Perkoperasian yang telah diterima. Artinya materi, metode, teori, praktek lapangan, sarana dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan pengembangan wacana koperasi tidak berpengaruh terhadap upaya penerapan hasil pelatihan perkoperasian bagi warga peasantren lainnya.
         Tingkat keeratan kedua variable ini diperoleh dari nilai koefisien kontingensi yakni sebesar 0,309 yang berarti hubungan antara kedua variable memiliki kekuatan cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,456. Tingkat keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probabilita) keberlakuan hubungan dengan nilai sebesar 0,456 adalah 54,5 persen
         Analisi Input Pelatihan dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat (kemitraan Koperasi) memberikan kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara input yang diterima dengan Partisipasi Masyarakat terhadap Kopontren (Kemitraan Kopontren). Artinya materi, metode, teori, praktek lapangan, sarana dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dang pengembangan wacana koperasi berpengaruh terhadap upaya perluasan mitra kerja usaha (partisipasi masyarakat) Kopontren.
         Tingkat keeratan kedua variable ini diperoleh dari nilai koefisien kontingensi yakni sebesar 0,015 yang berarti hubungan antara kedua variable memiliki kekuatan cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,015. Tingkat keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probabilita) keberlakuan hubungan dengan nilai sebesar 0,015 adalah 98,5 persen.
Analisis Input Pelatihan dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat (kemitraan Koperasi) memberikan kesimpulan bahwa adanya hubungan antara input yang diterima dengan proses belajar mengajar selama pelatihan perkoperasian berlangsung. Artinya materi, metode, teori, praktek lapangan, sarana dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dang pengembangan wacana koperasi berpengaruh terhadap kesempurnaan proses belajar mengajar yang dialami peserta selama pelatihan berlangsung (training on going process).
        Tingkat keeratan kedua variable ini diperoleh dari nilai koefisien kontingensi yakni sebesar 0,710 yang berarti hubungan antara kedua variable memiliki kekuatan cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,001. Tingkat keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probabilita) keberlakuan hubungan dengan nilai sebesar 0,000 adalah 99,99 persen.
        Analisis Input Pelatihan dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat (kemitraan Koperasi) memberikan kesimpulan bahwa tidaka ada hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan pembinaan hasilpelatihan perkoperasian yang ada. Artinya materi, metode, teori, praktek lapangan, sarana dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan pengembangan wacana koperasi tidak gigih mengupayakan pembinaan hasil penyuntikan modal usaha bagi Kopontren yang mengalami kesulitan, pembinaan mutu hasil usaha, jaringan pemasaran dan kedisplinan.
        Tingkat keeratan kedua variable ini diperoleh dari nilai koefisien kontingensi yakni sebesar 0,628 yang berarti hubungan antara kedua variable memiliki kekuatan cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,053. Tingkat keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probabilita) keberlakuan hubungan dengan nilai sebesar 0,628 adalah 94,7 persen.
        Analisis terhadap hubungan anatara Input Pelatihan dengan Sikpa Untuk Pelatihan Mendatang, memberikan suatu kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan sikap untuk pelatihan yang diterima dengan sikap untuk platihan perkoperasian mendatang. artinya materi, metode, teori, prkatek lapangan, sarana dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan pengembangan wacana koperasi tidak memiliki perbedaan yang mendasar diantara sesama responden dari pelbagai pihak tentang memandang urgennya pelatihan sejenis dilanjutkan untuk masa yang akan datang. dengan kata lain umumnya responden memandang pelatihan perkoperasian masih perlu dlanjutkan dengan banyak perbaikan.
         Adapun nilai koefisien yang menjadi indikator tingkat keeratan kedua variabel tersebut adalah sebesar 0,264 yang berarti hubungan antara kedua variabel memiliki tingkat kekuatan yang rendah, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,310. Tingkat keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probabilita) keberlakuan hubungan dengan niali sebesar 0,264 adalah 69 persen pada populasi responden penelitian.
         Dinilai dari hubungan variabel-variabel dan tingkat ketepatan hipotesis tersebut, terdapat makna bahwa input tercapai manakala peserta, pelatih, materi sesuai dengan persyaratan kompetensi dasar. Sementara itu proses akan menopang program apabila metode, alat bantu (media), penggunaan waktu serta sarana relevan. output melukiskan penguasaaan pengetahuan dari peserta pelatihan. Outcome diperlihatkan oleh ketrampilan peserta mengeloal pesantren, impact terlihat dari perkembangannya dan peningkatan peran masyarakat sekitar terhadap kehidupan koperasi.
         Dalam Penyusunan Program sebaiknya terlebih dahulu diselenggarakan semiloka bersama stakeholder (Kopontren) dan perguruan tinggi terkait sehingga program menyentuh kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelatihan (Botton Up Oriented). Tempat pelatihan sebaiknya diadakan secara bergilir di pesantren-pesantren yang meiliki Kopontren dengan perkembangan positif dan memiliki fasilitas untuk penginapan bagi sejumlah peserta. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan Diklat tidak terkesan terlalu formal dan penuh keakraban. Di sisi lain pendekatan tersebut memungkikan pengenalan dari dekat terhadap kegiatan Kopontren setempat sehingga dapat menjadi pendorongan serta acuan bagi peserta dari Pesantren lain.
         Bagi peserta pelatihan yang breprestasi hendaknya diberikan semcam rewards seperti pembinaan dan bantuan untuk pemupukan modal usaha serta perluasan jaringan kemitraan dan pemasaran. Pelatihan perkoperasian memerlukan perbaikan program pelatihan dengan focus pada perbaikan kurikulum pelatihan, mutu atau kopotensi pelatih/instruktur, seta rentang waktu pelatihan sekita tujuh hari (satu minggu). Pihak Kementrian KUKM hendaknya mensponsori efektifitas jaringan keorganisasian Kopontren sehingga terdapat peluang untuk meningkatkan sinergi pengembangan Kopontren dengan saling member informasi tentang potensi pengembangan masing-masing anggota.


NAMA             : Sarah Alifah
KELAS/NPM    : 2EB09/27211891
TAHUN            : 2011-2012